Sudah Divaksin? Protokol Kesehatan Tidak Boleh Kendor!

Jangan sampai bernasib sama seperti India

Berapa jumlah masyarakat Indonesia yang telah divaksinasi? Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan RI, per 2 Mei 2021 pukul 18.00 WIB, jumlah masyarakat yang sudah divaksinasi dosis pertama adalah 12.469.406 orang dan 7.703.110 orang sudah mendapatkan dosis kedua.

Disadari atau tidak, sebagian orang mulai lengah dan abai terhadap protokol kesehatan setelah divaksinasi. Ini adalah dampak dari false security, di mana vaksin dianggap memberikan kekebalan. Padahal, vaksin bukan untuk mencegah penularan, melainkan mencegah agar tidak mengalami gejala berat.

Berangkat dari fenomena ini, SOHO Global Health mengadakan diskusi kesehatan virtual dengan tema "Pentingnya Menjaga Imunitas Tubuh Meski Sudah Divaksinasi" pada Rabu (28/4/2021). Ada tiga narasumber yang dihadirkan, yaitu Dr. dr. Erlina Burhan, M.Sc, Sp.P(K), dokter spesialis paru RSUP Persahabatan, Dr. dr. Gatot Soegiarto, Sp.PD-KAI, FINASIM, dokter spesialis penyakit dalam RS Husada Utama, dan Dr. Raphael Aswin Susilowidodo, M.Si, VP Research and Development SOHO Global Health. Simak, yuk!

1. Varian baru akibat mutasi virus ada di sekeliling kita

Sudah Divaksin? Protokol Kesehatan Tidak Boleh Kendor!ilustrasi virus corona (unsplash.com/CDC)

Dokter Erlina memulai sesinya dengan memaparkan tentang mutasi virus SARS-CoV-2. Ia menegaskan bahwa mutasi virus merupakan sesuatu yang normal dan tidak semua mutasi perlu dikhawatirkan. Terlebih, SARS-CoV-2 adalah virus mRNA, di mana mutasi merupakan hal yang lazim.

Namun, jika mutasinya terlalu sering dan menimbulkan perubahan, akan dinamai sebagai varian baru. Ketika variasi yang terbentuk meningkatkan risiko pada manusia, baik dari transmisi, virulensi, hingga efektivitas tata laksana serta vaksin, akan disebut sebagai variants of concern.

Ada beberapa varian baru yang menjadi variants of concern atau perlu perhatian khusus, yakni B.1.1.7, B.1.351, dan P.1. Menurut Dr. Erlina, varian B.1.1.7 pertama kali ditemukan di Inggris pada September 2020 dan dianggap lebih menular serta kemungkinan meningkatkan keparahan.

Selanjutnya adalah B.1.351 yang pertama kali terdeteksi di Afrika Selatan pada Oktober 2020. Varian ini memiliki kemampuan menular yang lebih tinggi dan berpotensi menurunkan efektivitas vaksin.

Dan yang terakhir adalah varian P.1 yang ditemukan di Brasil pada Desember 2020. Sama seperti B.1.351, varian ini memiliki tingkat transmisi yang tinggi dan berpotensi menurunkan efektivitas vaksin.

"Khusus mengenai B.1.1.7, (varian) ini sudah ditemukan di Indonesia sejak bulan Maret 2021 dari pekerja yang datang ke Indonesia," Dr. Erlina mewanti-wanti.

Mutasi lainnya yang perlu diwaspadai adalah E484 (EEK). Spike protein-nya mengalami mutasi yang bisa memengaruhi efektivitas antibodi terhadap variasi virus. Ada pula mutasi N439K yang terdeteksi di Indonesia sejak November 2020. Mutasi ini bisa menghindari respons imun poliklonal dan berpengaruh terhadap keberhasilan vaksin.

Intinya, Dr. Erlina menekankan bahwa mutasi merupakan kejadian normal pada virus yang tak perlu terlalu dihebohkan. Namun, yang terpenting adalah kita harus transparan dan memberikan edukasi tentang apa itu mutasi, apa dampaknya terhadap kesehatan masyarakat, hingga sifat-sifatnya.

2. Jangan terlena dengan euforia vaksin dan lengah terhadap protokol kesehatan

Sudah Divaksin? Protokol Kesehatan Tidak Boleh Kendor!ilustrasi vaksin COVID-19 (unsplash.com/Mufid Majnun)

Terkait pembahasan sebelumnya, varian baru dikatakan memiliki kemampuan untuk menghindari sistem imun, baik dari vaksin maupun infeksi sebelumnya. Namun, datanya belum cukup sehingga efeknya belum diketahui secara pasti, ujar Dr. Erlina.

Berbicara soal vaksin, India, negara tetangga yang sedang dilanda "tsunami" COVID-19, 130 juta penduduknya telah divaksinasi. Kasus COVID-19 di India pun sempat melandai pada akhir tahun 2020. Mengapa sekarang bisa meledak?

"Di India pada akhir tahun 2020 terjadi penurunan kasus yang sangat drastis. Jauh turunnya sampai mereka mengatakan telah keluar dari pandemi, sehingga pemerintah dan masyarakatnya terlena. Euforia dengan penurunan (kasus) yang luar biasa sampai 10 kali lipat penurunannya," ungkap Dr. Erlina.

Akhirnya, mereka mulai abai, ditambah lagi di awal tahun ada persiapan kampanye, pertandingan olahraga dengan penonton yang banyak, hanya sedikit orang yang memakai masker, hingga mal dan tempat hiburan yang penuh. Belum lagi, festival keagamaan berskala besar pada bulan Maret-April yang dihadiri oleh jutaan orang.

"Oleh karena itu, saya kira seluruh dunia, bukan hanya Indonesia, harus belajar dari India. Salah satu hal yang harus kita petik adalah membatasi diri untuk kumpul-kumpul. Apalagi, akan ada acara keagamaan terbesar, yaitu Idulfitri. Baiknya Idulfitri tahun ini kita tidak saling berkunjung dan cukup melakukan silaturahmi atau bermaaf-maafan via Zoom," Dr. Erlina menyarankan.

3. Selain itu, bahaya long COVID juga mengintai kita

Sudah Divaksin? Protokol Kesehatan Tidak Boleh Kendor!ilustrasi batuk atau bersin (pexels.com/cottonbro)

Hal lain yang perlu diwaspadai adalah long COVID, post COVID, sindroma pasca COVID, atau istilah medis barunya sekarang adalah post-acute sequelae of COVID-19 (PASC). Long COVID dibagi menjadi dua, yaitu akut (kurang dari 4 minggu) dan kronis (lebih dari 12 minggu).

Menurut Dr. Erlina, pada umumnya pasien COVID-19 pulih dalam waktu 2-6 minggu. Jika belum pulih dan masih bergejala, walaupun PCR-nya sudah negatif, maka disebut sebagai long COVID.

"Ini bisa terjadi pada 10-15 persen populasi pasien yang kemudian (bergejala) berat. Bahkan, 5 persen menjadi kritis kondisinya," tuturnya.

Berdasarkan laporan dari Badan Kesehatan Dunia (WHO), gejala terbanyaknya adalah kelelahan, batuk, sesak, nyeri kepala, demam, diare, mual, nyeri dada, ruam kulit, dan anosmia (kehilangan kemampuan untuk mencium bau). Bahkan, ada yang merasa bingung, linglung, amnesia, susah berkonsentrasi, dan sulit tidur.

"Long COVID juga menyebabkan gangguan psikologis dan psikiatris, seperti depresi dan ansietas. Dan yang terbaru, ternyata long COVID juga berdampak pada telinga, hidung, dan tenggorokan (THT), seperti keluhan suara berdenging di telinga, nyeri telinga, dan nyeri tenggorokan," ujar dr. Erlina.

Berapa lama sindroma pasca COVID bertahan? Berdasarkan penelitian di Wuhan, dalam waktu 6 bulan, pasien masih mengalami kelelahan (fatigue), batuk, kelemahan otot, dan kesulitan tidur.

Karena long COVID memengaruhi banyak organ, maka penatalaksanaannya harus dengan pendekatan multidisiplin. Selain mengobati gejala dan mengatasi komorbid (bila ada), masyarakat perlu diedukasi untuk memonitor sendiri kondisinya.

Misalnya, memantau saturasi oksigen, mencatat pola tidur, istirahat yang cukup, rutin berolahraga, makan makanan sehat, menghindari alkohol dan kafein, berhenti merokok, dan meningkatkan imunitas secara keseluruhan. Tak lupa, menerapkan 5M secara disiplin dalam skala individu dan mendorong pemerintah untuk terus melakukan 3T.

Baca Juga: Membedah Mitos dan Fakta seputar Vaksinasi COVID-19

Topik:

  • Nurulia

Berita Terkini Lainnya