Komitmen GSK, PDPI, dan Kemenkes untuk Mengatasi PPOK

Lewat peresmian platform EducAIR dan kampanye Peduli Paru OK

Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan penyakit yang sering ditemukan pada orang berusia di atas 40 tahun. Ini merupakan penyakit radang paru-paru kronis yang menyebabkan aliran udara terhambat dari paru-paru.

PPOK saat ini menjadi salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia dengan beban ekonomi dan sosial yang substansial dan makin meningkat. Hal-hal seperti edukasi masyarakat akan risiko PPOK, inovasi dalam deteksi dini PPOK, dan pengoptimalan tata laksana PPOK menjadi makin penting untuk mengatasi kasus PPOK.

Berangkat dari situ, GSK bersama Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes) dan Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PP PDPI) berkomitmen untuk meningkatkan literasi kesehatan masyarakat dan untuk melengkapi kompetensi tenaga kesehatan menggunakan platform pendidikan kesehatan paru berbasis digital, dalam rangka mendukung program prioritas dari Kemenkes untuk mengatasi PPOK.

Diperlukan deteksi lebih dini serta optimalisasi terapi PPOK

“PPOK sejatinya dapat dicegah dan diobati, tetapi saat ini masih menjadi masalah utama pada kesehatan masyarakat di dunia maupun di Indonesia, karena sebagian besar pasien tidak menyadari gejalanya, belum terdiagnosis dengan tepat, atau mendapatkan pengobatan yang belum optimal. Untuk itu diperlukan deteksi PPOK lebih dini bagi masyarakat serta optimalisasi terapi untuk mencegah eksaserbasi dan rawat inap. Upaya ini dapat dilakukan melalui kegiatan skrining dan diagnosis PPOK secara terintegrasi. Pemerintah melalui Kemenkes berkomitmen untuk memperluas akses skrining, dan pembaruan edukasi PPOK bagi nakes dan awam," kata Juru Bicara Kemenkes, dr. Mohammad Syahril, SpP, MPH dalam acara "Media Briefing Kenali PPOK, Lindungi Parumu" di Hotel Raffles Jakarta, Senin (29/5/2023).

Acara ini turut dihadiri Prof. Paul Jones, MD, Ph.D., salah satu ahli kesehatan paru dari Universitas London St. George, Inggris. Ia telah mengembangkan beberapa modalitas penilaian PPOK, seperti St. George's Respiratory Questionnaire (SGRQ), COPD Assessment Test (CAT), Exacerbations of Chronic Pulmonary Disease Tool (EXACT), dan COPD Exacerbation Recognition Tools (CERT) yang mendukung ketepatan penilaian awal dan eksaserbasi pasien PPOK.

Ia juga berperan aktif dalam banyak studi mengenai PPOK, dan menjadi salah satu anggota komite ilmiah Inisiatif Global untuk Penyakit Paru Obstruktif Kronis (GOLD) dalam 10 tahun terakhir.

Skrining sudah menjadi program prioritas Kemenkes

Komitmen GSK, PDPI, dan Kemenkes untuk Mengatasi PPOKMedia Briefing Kenali PPOK, Lindungi Parumu, Senin, 29 Mei 2023. (Dok. GlaxoSmithKline Pharmaceuticals)

Dikatakan oleh dr. Syahril, saat ini skrining PPOK sudah menjadi program prioritas Kemenkes, yang mana keterbatasan modalitas spirometri merupakan salah satu kendala skrining dan diagnosis PPOK.

Ia juga mengatakan bahwa momen berbagi pengalaman ilmiah dari Prof. Paul terutama berhubungan dengan penerapan aplikasi kuesioner CAT, SGRQ, dan CERT dalam praktik klinis sehari-hari dapat menambah pengetahuan para nakes mengenai skrining dan penilaian pasien PPOK.

"Kami mengapresiasi inisiatif pihak GSK dan PDPI dalam mendukung cita-cita pemerintah memperkuat edukasi kesehatan di masyarakat dan nakes, sehingga penguatan ekosistem kesehatan bisa segera terwujud, salah satunya terkait upaya pencegahan dan pengendalian PPOK di Indonesia," kata dr. Syahril.

Baca Juga: Adakah Pengobatan Herbal dan Alternatif untuk PPOK?

PPOK tidak boleh diremehkan

PPOK adalah penyakit pernapasan kronis yang disebabkan oleh paparan jangka panjang zat-zat berbahaya seperti asap rokok dan polusi udara. Penyakit ini menyebabkan gangguan serius pada fungsi kesehatan paru dan menyebabkan keluhan sesak napas, batuk kronis, produksi dahak berlebihan, kelelahan yang menurunkan ambang aktivitas fisik, dan peningkatan risiko infeksi paru.

Faktor risiko utama PPOK adalah merokok, baik aktif maupun pasif, dan paparan polutan udara, termasuk asap dan zat berbahaya di lingkungan sekitar.

Di Indonesia, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan prevalensi PPOK mencapai 3,7 persen, sedangkan data dari Diagnosis dan Penatalaksanaan PPOK PDPI Edisi 2016 menyebutkan bahwa prevalensi PPOK di Indonesia mencapai 5,6 persen, atau sekitar 8,5 juta jiwa.

GOLD 2023 memperkirakan angka prevalensi PPOK hingga 2060 akan terus meningkat karena peningkatan jumlah perokok. Selain pengaruhnya pada kesehatan, PPOK juga berdampak signifikan terhadap ekonomi, baik akibat biaya perawatan atau karena hilangnya produktivitas pasien yang mencapai miliaran dolar setiap tahunnya.

Perwakilan Kelompok Kerja Asma dan PPOK, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), dr. Triya Damayanti, SpP(K), Ph.D, mengungkapkan, bahwa perburukan PPOK umumnya berkembang secara bertahap dan sering kali tidak terdiagnosis atau tertangani dengan optimal.

Untuk mencegah perburukan dan eksaserbasi serta mencapai hasil pengobatan PPOK sesuai yang diharapkan, diperlukan kesadaran bersama untuk memahami sifat dan perjalanan PPOK, juga untuk mengawali pengobatan PPOK yang tepat lebih dini. Kepatuhan pengobatan pasien ikut mengambil peran penting.

“Kerjasama platform edukasi berbasis digital EducAIR antara PDPI dan GSK harapannya dapat terus membarui pemahaman PPOK pada dokter umum dan dokter paru," kata dr. Triya.

Tantangan pengobatan PPOK

Komitmen GSK, PDPI, dan Kemenkes untuk Mengatasi PPOKilustrasi seseorang dengan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) (pexels.com/Edward Jenner)

Guru Besar Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof. dr. Wiwien Heru Wiyono, PhD, SpP(K) menekankan pentingnya menjawab tantangan pengobatan PPOK di Indonesia.

Menurutnya, eksaserbasi mempercepat penurunan fungsi paru yang menjadi ciri utama perburukan PPOK. Ini mengakibatkan berkurangnya aktivitas fisik, kualitas hidup yang lebih buruk, dan peningkatan risiko kematian pada kasus yang lebih berat.

"Setiap kali eksaserbasi PPOK terjadi, mungkin meninggalkan kerusakan paru permanen dan ireversibel, sehingga lebih sulit bagi pasien untuk bernapas dan meningkatkan perkembangan gejala yang lebih buruk kedepannya. Ditambah lagi, pasien PPOK umumnya enggan mengunjungi fasilitas kesehatan, sehingga keadaan ini sukar ditangani akibat kondisi pasien yang terlanjur memburuk," terang Prof. Wiwien.

Edukasi PPOK berkelanjutan untuk masyarakat dan nakes sangat penting

Edukasi PPOK berkelanjutan untuk masyarakat dan nakes demi menjawab tantangan diagnosis dan penatalaksanaan PPOK sangat penting. Dokter Triya berharap bahwa kerja sama lintas stakeholder mampu bersama-sama menciptakan ekosistem penatalaksanaan PPOK yang lebih baik, melalui perluasan akses informasi dan edukasi, pendekatan diagnosis yang lebih tepat, dan pengobatan yang lebih optimal.

Penandatanganan kerja sama antara PDPI dan GSK untuk platform EducAIR dan kampanye Peduli Paru OK ini disaksikan dan didukung oleh perwakilan Direktorat Tenaga Kesehatan Kemenkes dan perwakilan dari Digital Transformation Office Kemenkes. Kerja sama kampanye Peduli Paru OK antara PDPI dan GSK untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang PPOK ini dapat membantu awam memahami risiko penyakit ini.

President Director & General Manager GSK Indonesia, Manish Munot, membagikan pendekatan yang dilakukan GSK dalam mendukung PDPI dan Kemenkes untuk mengatasi PPOK.

“Sebagai salah satu perusahaan biofarmasi global yang memimpin dalam portofolio pernapasan, serta dengan lebih dari 50 tahun pengalaman di portofolio pernapasan, GSK berkomitmen untuk membantu pasien bernapas lebih baik dengan terus berinovasi untuk PPOK," kata Manish.

Ia juga mengatakan bahwa GSK berkomitmen penuh dalam memperkuat kolaborasi dengan PDPI dan Kemenkes, utamanya dalam meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang PPOK melalui program kampanye Peduli Paru OK, sekaligus secara aktif berkontribusi dalam edukasi berkelanjutan bagi nakes secara digital melalui platform EducAIR.

"Platform EducAIR adalah platform e-learning atau continuous medical education (CME) berbasis digital yang telah dimulai sejak September 2021 dan ditujukan bagi dokter umum dan dokter paru, untuk melengkapi pemahaman seputar asma dan PPOK dengan harapan dapat mendukung tata laksana asma dan PPOK yang optimal. Program ini merupakan bentuk kemitraan antara GSK dan PDPI," Country Medical Director GSK Indonesia dr. Calvin Kwan menerangkan.

“Peduli Paru OK merupakan upaya meningkatkan literasi tentang PPOK, agar awam dapat mencari pertolongan lebih dini apabila mengalami gejala PPOK. Harapannya, kecemasan pasien dan angka perburukan PPOK dapat berkurang," tambahnya.

Baca Juga: 12 Tips Ampuh Bernapas Lega untuk Pasien PPOK

Topik:

  • Nurulia

Berita Terkini Lainnya