Melihat Data dan Masa Lalu, Solusi COVID-19 Bisa Ditemukan

Masa lalu bisa menjadi pelajaran

Pandemik COVID-19 adalah situasi mengkhawatirkan harus kita hadapi dan lawan. Vaksin belum ada, angka kasus terus bertambah, fasilitas dan tenaga medis kewalahan, hingga resesi ekonomi membuat situasi makin runyam.

Namun, sebenarnya ada titik terang. Salah satunya adalah dengan mengetahui pola pandemik ini, mengingat di zaman dulu manusia juga pernah mengatasi masalah serupa.

Ahli epidemiologi, Prof. Juhaeri Muchtar, Ph.D, adjunct assistant professor di Universitas North Carolina, Amerika Serikat, memberikan banyak informasi terkait pandemik ini lewat "Seminar Online Statistika IPB: Biostatistics" yang bisa disaksikan di YouTube.

Dia memaparkan tentang bagaimana masa lalu punya kaitan yang erat dengan masa sekarang, dan bisa memengaruhi masa depan atau cara manusia mengatasi pandemik ini. Simak selengkapnya!

1. Dulu manusia pernah berperang melawan pandemik flu Spanyol

Melihat Data dan Masa Lalu, Solusi COVID-19 Bisa Ditemukandesignyoutrust.com

Tahun 1918 setelah Perang Dunia I, dunia pernah menghadapi wabah flu Spanyol yang menyebar di Amerika Serikat, muncul di Afrika Barat dan Prancis, lalu menyebar hampir ke seluruh dunia.

Menurut data dari Prof. Juhaeri, setidaknya korban jiwa yang tercatat mencapai 50 juta orang. Dia berpendapat bahwa jumlah korban yang tinggi tersebut diakibatkan oleh teknologi kedokteran yang belum semaju sekarang, serta situasi buruk imbas Perang Dunia I.

2. Kisah penyakit bawaan binatang juga sebenarnya sudah ada sejak lama

Melihat Data dan Masa Lalu, Solusi COVID-19 Bisa Ditemukanloophaiti.com

Berbagai penelitian tentang COVID-19 sedikit banyak menemukan fakta bahwa virus ini pertama dibawa oleh binatang, yang akhirnya menular ke manusia (zoonosis). Faktanya, penyakit macam ini sudah ada dari dulu. Sebagai contoh, virus Zika yang ditularkan lewat nyamuk.

Ada pula flu mematikan yang sempat mewabah pada tahun 2012, yaitu virus MERS-CoV penyebab MERS yang dibawa oleh kelelawar, lalu ditularkan ke manusia lewat unta.

3. Permasalahan bahaya atau tidaknya COVID-19 harus dilihat dari beberapa faktor

Melihat Data dan Masa Lalu, Solusi COVID-19 Bisa Ditemukanpixabay.com/Luisella Planeta Leoni

Prof. Juhaeri mengatakan bahwa untuk menyebut SARS-CoV-2 (virus penyebab COVID-19) mematikan atau tidak, harus ditimbang-timbang terlebih dulu.

Berdasarkan data yang dia miliki, COVID-19 punya tingkat kematian empat persen "saja". Sementara itu, wabah SARS yang muncul pada tahun 2003 mencapai 11 persen, sedangkan MERS pada tahun 2012 tingkat kematiannya mencapai 35 persen.

Data tersebut membuktikan bahwa COVID-19 tidak terlalu berbahaya, tetapi perlu diperhatikan penilaian berbahaya atau tidaknya dari dua faktor: tingkat penyebaran dan tingkat kematian.

Ada empat proses penularan yang terjadi dalam infeksi COVID-19: rentan, terekspos, terinfeksi, dan virusnya hilang (bisa meninggal dunia atau bisa sembuh).

SARS-CoV-2 punya masa inkubasi selama kurang lebih 1-2 minggu. Ini yang menjadikannya berbahaya. 

“Bisa jadi orang yang sudah terinfeksi tidak menunjukkan gejala apa pun sampai dua minggu. Itulah mengapa COVID-19 susah diatasi,” ujar Prof. Juhaeri.

Baca Juga: CDC Buktikan Pakai Masker Ampuh Cegah Penularan COVID-19 di Salon

4. Sebenarnya kondisi infeksi COVID-19 di Amerika Serikat jauh lebih parah di Indonesia, tetapi...

Melihat Data dan Masa Lalu, Solusi COVID-19 Bisa Ditemukangiga-hamburg.de

Prof. Juhaeri menyebutkan data perbandingan kasus di Indonesia dan Amerika Serikat (AS), tempat di mana dia sekarang tinggal. Dia menunjukkan, jika dalam 100 ribu laporan kasus COVID-19 di AS, setidaknya 990 penderita dipastikan positif.

Sementara itu, di Indonesia, dari 100 ribu kasus yang ada, masalah positif atau tidaknya hanya 27 kasus. Itu berarti, tingkat infeksi di AS 35 kali lebih tinggi daripada di Tanah Air. Namun, untuk tingkat kematiannya tidak jauh berbeda: AS 4,1 persen sedangkan Indonesia 4,8 persen.

“Kemungkinan adalah tingkat sensitivitas tesnya lebih baik di sana. Mungkin yang diuji tidak sebanyak di sini, mungkin juga tidak representatif, dan bisa jadi karena kebijakan pemerintah yang kurang efektif," ujar Prof, Juhaeri.

Tingkat infeksi yang diketahui bisa berhubungan dengan tes. Tes viral adalah tes untuk mengetahui seseorang sudah terinfeksi virusnya dan tes antibodi adalah tes yang melihat bagaimana antibodi tubuh bisa bertahan.

“Ini yang menjadi masalah. Periode laten virus ini sekitar satu minggu. Jika dicek dalam periode laten itu, tes antibodi tidak akan bisa mendeteksi keberadaan virus. Karena itu, menurut saya yang paling penting adalah tes viral.”

5. Ada baiknya kita mendukung segala pencarian solusi dari masalah ini

Melihat Data dan Masa Lalu, Solusi COVID-19 Bisa DitemukanPixabay.com

Walaupun sudah masuk tahap uji coba, tapi perjalanan untuk mendapatkan vaksin COVID-19 masih panjang. Ketimbang berlomba-lomba (antara produsen atau antar negara), profesor alumni Institut Pertanian Bogor itu berpendapat akan lebih baik jika saling dukung satu sama lain. Misalnya menyediakan data yang dapat membantu proses terciptanya vaksin.

“Siapa pun yang lebih cepat dan lebih banyak, kita dukung. Karena kita bukan bersaing satu sama lain, tapi bersaing dengan dua hal: dengan virus dan dengan waktu,” terangnya.

6. Artificial intelligence akan membantu penanganan masalah ini suatu hari nanti

Melihat Data dan Masa Lalu, Solusi COVID-19 Bisa Ditemukansellsomeone9.live

Salah satu inovasi yang diperhatikan oleh Prof. Juhaeri dan diperkirakan akan sangat membantu menangani masalah pandemik ini adalah teknologi artificial intelligence (AI).

Karena kemampuannya untuk mengolah berbagai data, dari data masa sekarang maupun masa lalu, AI nantinya dapat memperkirakan apa yang akan terjadi, serta bisa dilakukan mitigasi yang lebih efektif.

Walaupun beberapa produsen sudah memulai tahap uji coba vaksin, tapi "pertahanan" kita jangan sampai kendor. Kita harus tetap waspada. Minimalkan penyebarannya dengan disiplin melakukan hal-hal sederhana seperti pakai masker saat berada di luar rumah, jaga kebersihan diri, dan jaga jarak.

Baca Juga: 7 Tips Memakai Face Shield yang Benar agar Terhindar dari COVID-19

Topik:

  • Nurulia

Berita Terkini Lainnya