Studi: Anosmia dan Ageusia Kurangi Risiko Reinfeksi COVID-19

Orang dengan gejala tersebut dikatakan punya antibodi andal

Sekarang, COVID-19 mungkin identik dengan sensasi tak mengenakkan di tenggorokan dan demam. Namun, pada masanya, gejala COVID-19 umumnya adalah penurunan kemampuan indra penciuman (anosmia) dan pengecapan (ageusia).

Memang, seiring mutasi SARS-CoV-2, virus penyebab COVID-19, gejala yang ditimbulkan pun mengalami pergeseran. Nah, ada berita baik, nih! Dalam sebuah studi terbaru, mereka yang mengalami anosmia dan/atau ageusia ternyata lebih kecil risikonya tertular COVID-19 lagi. Masa, sih?

Baca Juga: Gejala Anosmia hingga Sakit Tenggorokan Sudah Pasti Kena COVID-19?

Libatkan ratusan penyintas COVID-19

Studi: Anosmia dan Ageusia Kurangi Risiko Reinfeksi COVID-19ilustrasi anosmia (pexels.com/Dana Tentis)

Dalam penelitian bertajuk "Chemosensory deficits are best predictor of serologic response among individuals infected with SARS-CoV-2", para peneliti Amerika Serikat (AS) ingin mengetahui apakah anosmia dan ageusia memengaruhi respons serologi para pasien COVID-19.

Untuk itu, para peneliti mengumpulkan para pasien COVID-19 dari April–Juni 2020, dan terkumpul 306 pasien. Dari angka tersebut, sebanyak 196 dan 195 pasien masing-masing mengalami anosmia dan ageusia. Para peneliti lalu menyeleksi lagi, hingga 266 pasien COVID-19 yang memenuhi syarat imunoglobulin G (IgG) lengkap.

Hasil: Anosmia dan ageusia berarti respons imun andal

Dimuat dalam jurnal PLOS ONE pada 14 Desember 2022, para peneliti lalu menguji 266 partisipan sekitar dua minggu setelah gejala COVID-19 mereda atau tak ada lagi tanda infeksi SARS-CoV-2.

Para pasien tak mengidap COVID-19 parah atau sisa gejala lain selain anosmia dan ageusia. Jadi, penelitian ini mencatat hampir dua pertiga partisipan mengalami anosmia atau ageusia, dan 58 persen merasakan indra penciuman atau pengecapannya berubah pascainfeksi.

Dibandingkan dengan yang tidak mengalami anosmia dan/atau agseusia, pasien yang mengalaminya memiliki antibodi andal (71,6 persen) dua kali lipat terhadap SARS-CoV-2. Dengan kata lain, pasien COVID-19 yang mengalami perubahan indra penciuman atau pengecapan memiliki risiko reinfeksi yang lebih minim.

Bukan berarti meremehkan COVID-19

Studi: Anosmia dan Ageusia Kurangi Risiko Reinfeksi COVID-19ilustrasi COVID-19 (IDN Times/Sukma Shakti)

Demam, batuk, bersin, hidung meler, hingga sesak napas juga adalah gejala dominan COVID-19. Namun, para peneliti mengatakan bahwa gejala-gejala lain tidak memengaruhi faktor antibodi setelah infeksi SARS-CoV-2.

"Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa anosmia dan ageusia saat infeksi COVID-19 adalah faktor prediktor kuat terhadap respons imun andal berbasis titer IgG," para peneliti menyimpulkan.

Studi ini menambah koleksi studi yang menunjukkan hubungan antara COVID-19 dan antibodi. Berbagai studi pada 2021 menunjukkan bahwa antibodi setelah COVID-19 bertahan 3 sampai 6 bulan dan mencegah reinfeksi.

Meski begitu, penelitian ini memiliki beberapa kekurangan. Pertama, pasien melaporkan secara mandiri mengenai anosmia dan ageusia sehingga ada kemungkinan kesalahan pelaporan. Selain itu, mereka yang melaporkan ageusia belum tentu benar-benar mengalami ageusia.

Tak hanya itu, penelitian ini tidak didesain untuk menunjukkan apakah anosmia dan ageusia mutlak berarti tingkat antibodi tinggi atau mencegah infeksi SARS-CoV-2 di kemudian hari. Jadi, memang sebaiknya para penyintas COVID-19 memperkuat diri setelah infeksi dengan vaksinasi dan memperketat prokes.

Baca Juga: Cara Mempercepat Proses Penyembuhan Anosmia

Topik:

  • Nurulia

Berita Terkini Lainnya