Studi: Booster Omicron Cegah Varian COVID-19 Masa Depan

Apakah vaksin khusus Omicron menjanjikan?

Sejak dideteksi pada November 2021, varian SARS-CoV-2 B.1.1.529 (Omicron) menggeser posisi B.1.617.2 (Delta) sebagai varian paling ganas di dunia. Bak membuat vaksinasi primer jadi tak ampuh karena breakthrough infection, vaksinasi lanjutan (booster) hingga vaksin khusus Omicron pun diramu.

Meski begitu, tak sedikit masyarakat dunia yang sinis terhadap pengembangan vaksin khusus Omicron. Pertanyaannya, apakah vaksinasi berbasis Omicron bisa mencegah infeksi varian SARS-CoV-2 di masa depan? Berbagai studi terbaru mengiyakannya.

1. Menguji vaksinasi bivalent dan monovalent dalam melawan Omicron

Dimuat dalam jurnal bioRxiv pada 22 September 2022, sebuah penelitian yang didanai oleh Moderna melibatkan 46 partisipan yang sebelumnya telah mendapatkan vaksinasi primer messenger ribonucleic acid (mRNA) dari Pfizer-BioNTech atau Moderna. Berdasarkan booster-nya, para partisipan terbagi menjadi:

  • Sebanyak tujuh partisipan mendapatkan booster mRNA-1273, dosis 50 μg.
  • Sebanyak 39 partisipan mendapatkan booster bivalent mRNA-1273.213 (yang mengandung 100 μg mRNA B.1.351 (Beta) dan Delta), dosis 50 μg.

Dari kedua kelompok tersebut, para peneliti mengambil sampel kelenjar getah bening dari 25 partisipan, dan sampel sumsum tulang dari 14 partisipan. Tidak lupa, sampel darah juga turut diambil secara berkala selama 6 bulan.

Selain itu, para peneliti juga merekrut delapan partisipan yang sudah menjalani vaksinasi primer mRNA, tanpa riwayat COVID-19. Mereka lalu diberikan booster mRNA-1273.529 (yang mengandung protein Omicron BA.1) dengan dosis 50 μg.

Studi: Booster Omicron Cegah Varian COVID-19 Masa Depanilustrasi varian baru COVID-19, Omicron (IDN Times/Aditya Pratama)

Para peneliti Amerika Serikat (AS) mencatat bahwa booster mengandalkan memori sel B yang sudah ada. Namun, belum diketahui apakah dosis tambahan bisa memicu reaksi pusat germinal sehingga sel B bisa matang dan vaksin berbasis varian bisa memicu respons terhadap epitop baru yang spesifik di varian-varian tersebut.

Dalam penelitian bertajuk "SARS-CoV-2 Omicron boosting induces de novo B cell response in humans" tersebut, para peneliti menemukan bahwa booster mRNA-1273 atau mRNA-1273.213 memicu respons sel B pusat germinal pada manusia. Respons ini terlihat andal selama minimal 8 minggu.

Analisis tersebut juga menunjukkan bahwa sel B pada kebanyakan partisipan mampu mengenali strain SARS-CoV-2 orisinal hingga Omicron. Selain itu, para partisipan studi juga memiliki sel B spesifik Omicron baru.

2. Dikonfirmasi penelitian lainnya

Selain penelitian tersebut, sebuah penelitian di AS bertajuk "Evolution of antibody immunity following Omicron BA.1 breakthrough infection" yang dimuat dalam jurnal bioRxiv pada waktu yang sama juga menguji keampuhan imunitas terhadap Omicron.

Dalam penelitian tersebut, para peneliti menguji respons antibodi terhadap SARS-CoV-2 pada tujuh partisipan yang telah menerima vaksin Moderna. Uniknya, dalam penelitian ini, para partisipan diketahui mengalami breakthrough infection, atau infeksi SARS-CoV-2 setelah vaksinasi. Para peneliti mengambil enam partisipan yang terbagi menjadi:

  • Tiga partisipan mengalami breakthrough infection setelah vaksinasi primer.
  • Tiga partisipan mengalami breakthrough infection setelah booster.

Sebulan setelah infeksi Omicron, hampir 97 persen antibodi partisipan menyasar SARS-CoV-2 orisinal lebih baik dibanding kepada BA.1. Namun, sekitar enam bulan setelahnya, sel B pada hampir setengah populasi partisipan mengikat BA.1 lebih baik. Hal ini menunjukkan bahwa sistem imun terus beradaptasi, meski infeksi sudah berlangsung lama.

Baca Juga: Taat Prokes dan Minum Vitamin: Senjata Utama Atasi Subvarian Omicron

3. Pencetakan imun yang jadi halangan

Manusia memiliki sel imun bernama sel B, dan setiap sel ini memproduksi satu jenis antibodi. Saat ada patogen, sistem imun mengaktifkan sel B yang sudah ada dari antibodi yang mengenali antigen mirip dengan patogen tersebut. Tubuh manusia memiliki jumlah sel B terbatas yang bisa menciptakan antibodi baru terhadap ancaman di masa depan.

Pada akhir Agustus 2022, BPOM AS (FDA) sempat memberi lampu hijau untuk vaksinasi bivalent yang diproduksi Pfizer-BioNTech dan Moderna. Kedua vaksin bivalent tersebut diketahui menyasar BA.4 dan BA.5. Pada September 2022, Badan Pengawas Obat Eropa (EMA) juga mengesahkan booster dari Pfizer-BioNTech dan Moderna yang menyasar BA.1.

Masalahnya, efikasi vaksin bivalent dipermasalahkan dengan adanya fenomena pencetakan imun (immune imprinting), kondisi kecenderungan sistem imun untuk berfokus terhadap patogen yang pertama ia hadapi sehingga kesulitan menghadapi varian berbeda.

Inilah yang dikhawatirkan oleh para peneliti, bahwa sistem imun memiliki immune imprinting dari SARS-CoV-2 orisinal. Jika benar, maka hal ini menjelaskan kenapa varian Omicron bisa menghindari vaksin platform semutakhir mRNA yang dikembangkan untuk melawan SARS-CoV-2 orisinal.

4. Masih ada harapan

Studi: Booster Omicron Cegah Varian COVID-19 Masa Depanilustrasi sistem imun tubuh (chiroeco.com)

Karena dampak imprinting tersebut, reaksi sistem imun terhadap vaksin bivalent juga tak jelas. Entah sistem imun beradaptasi dengan menciptakan sel B baru dari antibodi baru terhadap Omicron, atau malah menggunakan sel B yang sudah ada.

"Seperti memanggil tentara baru, daripada melatih tentara yang sudah tua," ujar salah satu peneliti dari penelitian pertama di Washington University in St. Louis, Ali Ellebedy.

Setuju dengan Ali, peneliti penelitian kedua dari Fred Hutchinson Cancer Research Center, Jesse Bloom, menyarankan booster yang spesifik strain tertentu, meski SARS-CoV-2 akan berevolusi. Ini dikarenakan strain yang muncul umumnya mirip secara genetik dengan strain sebelumnya, bukan dengan SARS-CoV-2 orisinal beserta vaksinnya.

"Turut senang melihat bahwa meskipun sudah tercetak, sistem imun beradaptasi dengan baik untuk menghadapi varian baru," kata Jesse, dilansir Nature.

5. Masih perlu diteliti lebih lanjut

Meski menjanjikan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dari kedua studi ini. Pertama, kedua studi tersebut tercantum di jurnal bioRxiv, dengan kata lain, masih belum melewati ulasan sejawat (peer review).

Dilansir Nature, pakar imunologi Rockefeller University, Michel C. Nussenzweig, mengatakan bahwa penelitian Jesse dan tim memiliki sampel yang tergolong minim. Selain itu, Michel mengatakan bahwa penelitian tersebut tak menunjukkan antibodi baru bisa melindungi dari varian baru, melainkan hanya "terikat" saja.

Michel telah merilis studi mengenai imunitas terhadap Omicron. Dimuat dalam Journal of Experimental Medicine pada edisi Desember 2022 mendatang, Michel dan tim menemukan bahwa infeksi Omicron hanya mendorong antibodi spesifik terhadap varian tersebut, bukan terhadap semua varian SARS-CoV-2 saat ini atau yang akan datang.

"Hasil ini menunjukkan bahwa efek booster spesifik strain terhadap memori sel B kemungkinan besar terbatas," tulis Michel dan tim dalam penelitian bertajuk "Memory B cell responses to Omicron subvariants after SARS-CoV-2 mRNA breakthrough infection in humans".

Studi: Booster Omicron Cegah Varian COVID-19 Masa Depanilustrasi vaksin COVID-19 (IDN Times/Aditya Pratama)

Berseberangan dengan Michel, virolog asal La Jolla Institute for Immunology, Shane Crotty, memuji kedua studi tersebut. Menurut Shane, dengan temuan ini, ternyata imunitas manusia "tidak kalah kreatif daripada virus".

"Semua itu menunjukkan kebrilianan sistem imun menebak varian apa dan bentuknya," ujar Shane.

Meski begitu, Shane mengatakan bahwa saat ini, kemungkinan kecil akan ditemukan bagian virus yang tak bisa bermutasi untuk menghindari sistem imun. Dengan lebih dari 625 juta kasus, SARS-CoV-2 memiliki berbagai cara untuk mengelak imunitas tubuh manusia. Bagaimana pun, virus juga adalah makhluk hidup yang ingin bertahan, 'kan?

Baik Ali maupun Jesse berharap dunia mengembangkan vaksin booster khusus varian sehingga antibodi jadi makin beragam.

Baca Juga: Fakta-fakta Vaksin COVID-19 IndoVac, Asli Indonesia!

Topik:

  • Nurulia

Berita Terkini Lainnya