Studi: COVID-19 Tingkatkan Risiko Gangguan Otak

Gangguan otak mengintai dalam dua tahun

Sudah lebih dari dua tahun kita hidup dengan ancaman COVID-19. Karena merupakan penyakit baru, manusia masih mempelajari virus penyebab COVID-19, SARS-CoV-2, termasuk varian dan subvariannya, serta dampak jangka panjangnya atau long COVID terhadap tubuh.

Bukan cuma pernapasan, ternyata COVID-19 juga berdampak terhadap otak manusia meski sudah sembuh. Salah satu studi terbaru memperingatkan bahwa COVID-19 memicu gangguan otak dalam dua tahun setelah infeksi.

1. Libatkan jutaan data dari penjuru dunia

Studi: COVID-19 Tingkatkan Risiko Gangguan OtakIlustrasi seorang pasien (ANTARA FOTO/REUTERS/Marko Djurica)

Bertajuk "Neurological and psychiatric risk trajectories after SARS-CoV-2 infection" dan dimuat dalam jurnal The Lancet Psychiatry pada 17 Agustus 2022, studi yang dilakukan oleh University of Oxford ini mencoba mencari tahu dampak neurologis dan psikis COVID-19 terhadap pasien dan penyintasnya.

Mengambil data dari jaringan riwayat medis elektronik TriNetX 20 Januari 2020–13 April 2022, penelitian ini mengambil data dari beberapa negara, seperti:

  • Amerika Serikat (AS).
  • Australia.
  • Britania Raya.
  • Spanyol.
  • Bulgaria.
  • India.
  • Malaysia.
  • Taiwan.

Setelah melalui seleksi lebih lanjut, para peneliti Inggris mendapatkan data sebanyak 1.284.437 pasien COVID-19 dengan rata-rata usia 42,5 tahun. Populasi ini terbagi jadi 185.748 pasien anak-anak, 856.588 pasien dewasa, dan 242.101 pasien lansia.

Para partisipan lalu dibandingkan dengan pasien non-COVID-19 yang mengalami gangguan pernapasan selama masa pandemik COVID-19 dengan jumlah yang sama.

2. Hasil: Gangguan otak mengintai dalam dua tahun

Diketahui bisa menyebabkan risiko gangguan psikis, para peneliti mencatat bahwa risiko gangguan psikis menurun setelah 1–2 bulan (gangguan mood dalam 43 hari sampai 457 hari dan gangguan kecemasan dalam 58 hari sampai 417 hari).

"Saya terkejut sekaligus lega melihat cepatnya komplikasi psikiatri mereda," ujar salah satu peneliti dan profesor psikiatri University of Oxford, Paul J Harrison.

Selain itu, COVID-19 juga diketahui bisa meningkatkan gangguan kognitif. Penelitian tersebut mencatat risiko kabut otak (brain fog), demensia, gangguan psikotik, dan epilepsi terlihat masih tinggi bahkan di akhir masa follow-up selama dua tahun.

Dari kelompok COVID-19, sebanyak 6,4 persen mengalami kabut otak, dibanding 5,5 persen dalam kelompok kontrol. Lalu, saat membandingkan risiko demensia, sebanyak 4,5 persen partisipan lansia kelompok COVID-19 mengembangkan demensia selama kurun waktu dua tahun tersebut, dibanding 3,3 persen dalam kelompok kontrol.

Baca Juga: Studi Indonesia Paparkan Maraknya Fenomena Long COVID

3. Risiko juga mengintai pasien anak

Studi: COVID-19 Tingkatkan Risiko Gangguan Otakilustrasi anak-anak memakai masker (pexels.com/Gustavo Fring)

Dalam penelitian tersebut, pasien anak-anak tidak terpapar risiko gangguan mood dan kecemasan selama 6 bulan setelah infeksi COVID-19. Meski begitu, para pasien COVID-19 anak terpapar risiko sekitar 20–116 persen terkena komplikasi, seperti:

  • Penurunan kognitif.
  • Insomnia.
  • Pendarahan intrakranial.
  • Stroke iskemik.
  • Gangguan saraf.
  • Gangguan akar saraf.
  • Gangguan pleksus.
  • Gangguan psikotik.
  • Epilepsi.

Risiko ini kemungkinan besar disebabkan oleh mekanisme pascainfeksi yang dipicu imun, seperti acute disseminated encephalomyelitis (ADEM). Hal ini juga dibuktikan bahwa risiko ensefalitis dan epilepsi pasca-COVID-19 lebih tinggi pada pasien anak-anak.

4. Mengonfirmasi temuan studi sebelumnya

Studi ini sekaligus menjadi konfirmasi dari studi sebelumnya yang juga dilakukan oleh para peneliti University of Oxford pada Mei 2021 silam. Melibatkan hampir 240.000 data kesehatan, para peneliti menakar risiko komplikasi saraf dan psikiatri selama enam bulan setelah infeksi COVID-19.

Bertajuk "6-month neurological and psychiatric outcomes in 236 379 survivors of COVID-19", penelitian ini mencatat komplikasi neurologis dan psikiatri pasca-COVID-19 terlihat pada pasien COVID-19. Meski begitu, persentase risiko komplikasi setelah infeksi COVID-19 lebih besar mengancam pasien COVID-19 parah.

"Risiko paling besar—tetapi tak terbatas—pada pasien yang menderita COVID-19 parah," tulis studi yang juga dimuat dalam The Lancet Psychiatry tersebut.

5. Varian Omicron tak mematikan, tetapi keparahan long COVID tetap sama

Studi: COVID-19 Tingkatkan Risiko Gangguan Otakilustrasi virus corona (IDN Times/Aditya Pratama)

Penelitian ini mencatat bahwa setelah kemunculan varian B.1.617.2 (Delta), terlihat peningkatan risiko stroke iskemik, epilepsi, penurunan kognitif, insomnia, dan kecemasan. Selain itu, terlihat juga peningkatan dari segi risiko kematian.

Bagaimana dengan varian B.1.1.529 (Omicron), ada kabar baik dan buruk. Penelitian ini mencatat risiko kematian menurun dibanding varian sebelumnya. Akan tetapi, dari segi risiko komplikasi neurologis dan psikiatri, varian Omicron sama-sama mengancam.

"Berkurangnya risiko kematian dan komplikasi neurologis serta psikiatrik melegakan untuk pasien. Namun, risiko-risiko komplikasi individu menunjukkan potensi layanan kesehatan menghadapi risiko pasca-COVID-19 yang sama, meski varian SARS-CoV-2 tidak lebih parah," tulis penelitian tersebut.

Baca Juga: 22 Gejala Long COVID setelah Sembuh dari Omicron, Hati-hati!

Topik:

  • Nurulia

Berita Terkini Lainnya