Studi: Gangguan Imun Picu Kerusakan Saraf pada Long COVID

Saraf apa yang terganggu akibat COVID-19?

Seiring penambahan kasus COVID-19, angka kesembuhan pasien COVID-19 juga ikut bertambah. Sementara ini adalah kabar yang menggembirakan, risiko long COVID ikut mengintai. Long COVID adalah kondisi ketika gejala infeksi SARS-CoV-2 masih menetap meski pasien COVID-19 sudah sembuh.

Selain berbagai gejala fisik, long COVID juga diketahui membawa serta gejala saraf. Pencarian mekanisme di balik long COVID terus dipelajari. Sebuah penelitian terbaru menemukan bahwa disfungsi sistem imun bisa jadi alasan di balik gangguan saraf pada pasien long COVID.

1. Mengenal small-fiber neuropathy

Studi: Gangguan Imun Picu Kerusakan Saraf pada Long COVIDilustrasi saraf dalam tubuh (inspirechiro.com)

Bukan rahasia bila long COVID bisa menyebabkan gangguan saraf, bahkan pada gejala ringan sekali pun. Meski begitu, gejala neurologis pada long COVID terlihat mirip small-fiber polyneuropathy (SFN), gangguan saraf yang memengaruhi serat saraf kecil pada kulit.

Dilansir MedlinePlus, SFN umumnya ditandai dengan serangan nyeri parah dan pada beberapa individu, nyeri ini menjadi-jadi saat sedang beristirahat atau di malam hari. Menambahkan dari Johns Hopkins Medicine, SFN biasa dimulai pada kaki atau tangan. Beberapa sensasi SFN meliputi:

  • Kesemutan
  • Ditusuk
  • Geli
  • Mati rasa
  • Terbakar
  • Dingin
  • Tersetrum

2. Penelitian melibatkan pasien COVID-19 tanpa riwayat gangguan saraf

Dimuat dalam jurnal Neurology: Neuroimmunology & Neuroinflammation edisi Mei 2022, para peneliti Harvard Medical School (HMS), Amerika Serikat (AS) bermaksud meneliti insiden SFN pada pasien COVID-19.

Penelitian bertajuk "Peripheral Neuropathy Evaluations of Patients With Prolonged Long COVID" ini melibatkan 17 pasien COVID-19 tanpa riwayat gangguan saraf. Tercatat sebanyak 16 pasien COVID-19 mengalami gejala ringan, dan hanya satu yang membutuhkan perawatan intensif dengan ventilator selama 1 bulan.

Para peneliti AS memastikan bahwa para pasien memenuhi kriteria potensi long COVID berdasarkan Badan Kesehatan Dunia (WHO). Para partisipan dipantau selama 1,4 tahun, dan karena mereka menerima pengobatan simtomatik, para peneliti juga memperhatikan obat yang berpotensi mencegah insiden neurologis.

Baca Juga: Studi: Kerusakan Saraf Vagus Sebabkan Long COVID

3. Insiden SFN pada pasien COVID-19

Studi: Gangguan Imun Picu Kerusakan Saraf pada Long COVIDSeorang pasien COVID-19 meletakkan kedua tangan di kepalanya. (ANTARA FOTO/REUTERS/Baz Ratner)

Setelah dipantau selama 1,4 tahun, para peneliti mendiagnosis para pasien COVID-19. Hasilnya, para partisipan menunjukkan SFN dan hal ini dibuktikan dari 62,5 persen biopsi kulit tungkai kaki bawah dan 50 persen biopsi paha atas, serta tes fungsi otonom tubuh.

Perawatan yang diberikan mencakup immunoglobulin yang diberikan secara intravena (IVIg) yang memang merupakan perawatan neuropati inflamasi utama, dan kortikosteroid. Baik dengan kortikosteroid maupun IVIg, para partisipan melaporkan gejala SFN membaik.

Para peneliti juga mencatat bahwa beberapa pasien pulih dari SFN dengan sendirinya. Oleh karena itu, para peneliti AS mencatat pentingnya keputusan pengobatan pasien COVID-19 secara individu.

"Informasi ini membantu kita mengerti patofisiologi yang mendasari gejala long COVID, dan menuntun pengobatan untuk meredakan gejala pasien," ujar salah satu peneliti, Dr. Mary Kelley kepada Medical News Today.

4. Penjelasan yang masih perlu ditelusuri

Para peneliti HMS menjelaskan bahwa seperempat neuron dorsal root ganglia (DRG) memiliki messenger ribonucleic acid (mRNA) yang berpotensi mengikat protein spike SARS-CoV-2. DRG adalah neuron yang menjembatani sumsum tulang belakang dan sistem saraf perifer, sehingga bisa menyasar neuron dan SARS-CoV-2.

Kemudian, para peneliti melanjutkan bahwa terlambatnya gejala long COVID dan perjalanan pascainfeksi yang berkepanjangan menunjukkan bahwa mekanisme gangguan neurologis pada pasien COVID-19 berawal dari gangguan respons imun.

"Dikarenakan sifat dan desain serat saraf kecil, bagian ini umumnya amat rentan pada kerusakan karena inflamasi, penyakit, dan gangguan imun," ucap Dr. Kelley.

Meski begitu, para peneliti meluruskan bahwa mereka masih mencari tahu apa lagi yang menyebabkan mekanisme tersebut.

5. Kekurangan penelitian tersebut

Studi: Gangguan Imun Picu Kerusakan Saraf pada Long COVIDilustrasi saraf (pixabay.com/ColiN00B)

Penelitian ini bukan tanpa kekurangan. Salah satu kekurangan yang paling jelas adalah ukuran sampelnya yang kecil. Oleh karena itu, kecil kemungkinan studi ini bisa menjelaskan mekanisme dan penyebab di balik gangguan saraf pada long COVID.

Selain itu, para pasien didominasi oleh orang berkulit putih (94 persen). Dengan demikian, hasil kemungkinan besar bisa berbeda pada kelompok etnis lain. Meski begitu, yang mengejutkan dari penelitian ini adalah penampakan gejala pada pasien bergejala ringan, bukan berat.

Meski berfokus pada long COVID, ada beberapa faktor yang bisa mendasari SFN. Selain COVID-19, ada baiknya penelitian selanjutnya juga menyertakan berbagai faktor seperti diabetes, kekurangan vitamin B12, gangguan tiroid, konsumsi alkohol, hingga kondisi autoimun sekaligus solusinya.

Sementara IVIg menunjukkan potensi pencegahan SFN pada long COVID, obat ini memiliki sejumlah kekurangan. Beberapa kelemahan IVIg adalah pemberiannya secara intravena, ketersediaan, hingga perlunya evaluasi dan pemantauan. Apakah IVIg bisa menghapus imun dari riwayat infeksi COVID-19? Hal ini juga perlu dibahas lebih lanjut.

Baca Juga: 22 Gejala Long COVID setelah Sembuh dari Omicron, Hati-hati!

Topik:

  • Nurulia

Berita Terkini Lainnya