Studi: Long COVID Bisa Bikin Sulit Berolahraga

Long COVID bikin fisik menjadi tidak optimal

Sembuh dari COVID-19 bukan berarti kamu perlu lagi berurusan dengan infeksi ini. Walaupun sudah pulih, tetapi ada risiko gejala COVID-19 bisa membandel dalam waktu lama. Fenomena ini disebut sebagai long COVID. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), long COVID bisa terdeteksi minimal tiga bulan pasca infeksi COVID-19 dan berlangsung minimal selama dua bulan.

Beberapa gejala long COVID yang paling umum adalah:

  • Kelelahan.
  • Sesak napas.
  • Gangguan memori dan konsentrasi (umumnya disebut brain fog).
  • Gangguan tidur.
  • Batuk membandel.
  • Nyeri dada.
  • Kesulitan berbicara.
  • Nyeri otot.
  • Penurunan indra penciuman (anosmia) dan/atau pengecapan (higeusia).
  • Gangguan mental (depresi atau kecemasan).
  • Demam.

Sebagai bagian dari gaya hidup sehat, olahraga bisa meningkatkan kondisi sehingga tidak terjangkit COVID-19 parah (terutama pasien kardiovaskular hingga diabetes). Masalahnya, sebuah penelitian terbaru mencatat bahwa pasien long COVID dirugikan karena jadi sulit berolahraga. Kenapa bisa begitu?

1. Melibatkan hampir ribuan pasien dengan long COVID

Studi: Long COVID Bisa Bikin Sulit Berolahragailustrasi long COVID (pexels.com/Towfiqu barbhuiya)

Apakah kemampuan olahraga berkurang lebih dari tiga bulan pascainfeksi SARS-CoV-2 di kalangan pasien long COVID? Dimuat dalam jurnal JAMA Network Open pada 12 Oktober 2022, para peneliti Amerika Serikat (AS) dari University of California San Francisco dan Zuckerberg San Francisco General Hospital mencari tahu hal tersebut.

Para peneliti meneliti 38 studi dengan menggunakan metode cardiopulmonary exercise testing (CPET) untuk mengetahui bagaimana pasien long COVID bisa berolahraga setelah pulih dari COVID-19. Lewat treadmill dan sepeda statis, CPET mengukur oksigen yang digunakan (Vo2) untuk berolahraga, sebagai ukuran kinerja jantung dan paru-paru.

Awalnya, penelitian ini mencakup 2.160 partisipan. Lalu, penelitian ini diperkecil menjadi analisis 9 studi dengan total partisipan sebanyak 823 partisipan dengan usia rata-rata 39–56 tahun dan indeks massa tubuh (IMT) kelebihan berat badan (IMT 26) sampai obesitas (IMT 30). Para partisipan ini terbagi menjadi dua kelompok:

  • Sebanyak 464 partisipan dengan gejala long COVID.
  • Sebanyak 359 partisipan tanpa gejala long COVID.

2. Hasil: Long COVID bikin fisik menjadi tidak optimal

Para peneliti menemukan bahwa Vo2 maksimal kelompok pasien long COVID adalah 4,8 ml/kg/menit lebih rendah dibanding mereka yang telah pulih. Apa maksudnya?

Para pasien long COVID menunjukkan pengurangan ekstraksi oksigen di otot, pola napas tak teratur, dan ketidakmampuan meningkatkan detak jantung untuk menyesuaikan curah jantun (cardiac output) atau inkompetensi kronotropik.

Selain itu, ada jejak deconditioning, kondisi setelah sakit yang menyebabkan tubuh jadi tidak aktif.

Baca Juga: Infeksi Ulang COVID-19 Bisa Memperburuk Long COVID

3. Long COVID bikin fisik bak manula

Studi: Long COVID Bisa Bikin Sulit Berolahragailustrasi kelelahan setelah olahraga (unsplash.com/Oliver Sjöström)

Dalam pernyataan resmi, pemimpin penelitian tersebut, Matthew S. Durstenfeld, MD, MAS, mengibaratkan perbedaan Vo2 antara pasien long COVID dengan tanpa gejala setara dengan 1,4 metabolic equivalent of tasks (METs), ukuran energi yang terbakar selama aktivitas fisik.

"Penurunan Vo2 ini bisa diibaratkan seperti seorang perempuan berusia 40 tahun dengan kapasitas yang seharusnya 9,5 METs, tetapi turun ke 8,1 METs, ukuran aktivitas fisik yang dipatok untuk perempuan 50 tahun," ujar Matthew.

Selain itu, Matthew memberikan contoh lain. Dengan perubahan akibat long COVID, pemain tenis ganda mungkin harus beralih ke golf yang didahulukan dengan latihan peregangan, dan perenang yang biasa bisa beberapa kali putaran harus beralih ke aerobik.

"Penting untuk diketahui bahwa ini hanya 'rata-rata'. Beberapa individu mengalami pengurangan signifikan di kapasitas energi, dan banyak yang tidak mengalaminya juga," imbuh Matthew.

4. Perlu diteliti lebih lanjut

Para peneliti mencatat ada beberapa kekurangan dalam penelitian tersebut. Pertama, beberapa studi belum menjalani ulasan sejawat (peer review). Selain itu, bias seleksi membuat para peneliti tidak bisa mengestimasi prevalensi berkurangnya kapasitas olahraga akibat long COVID.

Sementara penelitian ini menemukan bahwa long COVID mengurangi kapasitas olahraga para pasiennya, para peneliti tidak yakin bahwa penelitian ini bisa dipukul rata ke semua pasien long COVID. Sampel sedikit (dengan mayoritas dirawat inap) hingga variasi definisi long COVID dan model CPET, hal-hal ini dikatakan bisa memengaruhi hasil.

5. Apa langkah selanjutnya?

Studi: Long COVID Bisa Bikin Sulit Berolahragailustrasi berolahraga (pexels.com/Ketut Subiyanto)

Peneliti senior, Priscilla Y. Hsue, MD, turut mengomentari penelitian ini. Menurutnya, perlu penelitian lebih dalam yang melibatkan penilaian observasi jangka panjang untuk mengerti pengaruh long COVID terhadap kapasitas olahraga.

"Percobaan terapi potensial amat dibutuhkan, termasuk studi rehabilitasi untuk menanggulangi deconditioning, juga investigasi lebih jauh ke gangguan pernapasan, kerusakan saraf yang mengatur fungsi tubuh otomatis, serta inkompetensi kronotropik saat olahraga," kata Priscilla.

Sebenarnya, kehilangan kemampuan berolahraga akibat gejala long COVID bukanlah hal baru. Namun, dengan penelitian ini, peran CPET yang mengukur kapasitas tersebut di pasien long COVID bisa jadi sarana yang amat berguna untuk memulihkan fungsi tubuh mereka yang terdampak akibat long COVID, terutama dengan gejala parah.

Baca Juga: Brain Fog akibat Long COVID, Apakah Bisa Disembuhkan?

Topik:

  • Nurulia

Berita Terkini Lainnya