Peduli Kanker Usus Besar di Indonesia, Yuk #PERIKSA

Kolaborasi antara Merck dan YKI

Kanker usus besar atau kolorektal tidak bisa dianggap remeh. Menurut data GLOBOCAN pada 2020, kanker usus besar di Indonesia menempati tempat ketiga tertinggi. Kasus ini terjadi hampir 12 persen (lebih dari 21ribu kasus) pada laki-laki dan hampir 6 persen (lebih dari 12ribu kasus) pada perempuan.

Sayangnya, sebanyak 70 persen pasien kanker di Indonesia baru tahu mereka memiliki kanker usus besar saat penyakitnya sudah mencapai stadium akhir, sehingga tak tertolong. Menggandeng Yayasan Kanker Indonesia (YKI), Merck Indonesia pada Rabu (30/11/2022) menyelenggarakan webinar edukasi "Waspada Kanker Kolorektal: Pahami Resikonya dengan #PERIKSA".

Kanker usus besar mengancam Indonesia

Peduli Kanker Usus Besar di Indonesia, Yuk #PERIKSAilustrasi sel kanker usus besar (unsplash.com/National Cancer Institute)

Berbagi ilmu dalam webinar tersebut, Ketua Umum YKI, Prof. Dr. dr. Aru W. Sudoyo, SpPD-KHOM, FINASIM, FACP, mengatakan bahwa pada dua dekade lalu, kanker kolorektal (sebagai penyakit tidak menular) masih belum peringkat 10 besar. Parahnya, sekarang kanker ini justru menempati nomor 3, menurutnya "lampu kuning untuk para epidemiologi".

"Perubahan gaya hidup, cara kita makan, dan berperilaku. Angkanya melesat sekali dan banyak yang datang ke tempat praktik saya dalam keadaan usia muda ... Suatu fenomena yang diprihatinkan tetapi kurang diperhatikan," tutur Prof. Aru secara daring.

Hal ini juga terlihat dari transisi epidemiologi. Pada tiga dekade silam, penyakit tidak menular masih 37 persen melanda dunia. Namun, pada tahun 2015, angka ini bengkak hingga 57 persen. Insiden kanker usus besar nomor 3 paling banyak dan merupakan pembunuh terganas kedua di dunia.

Secara lokal, Prof. Aru mengatakan bahwa Kemenkes RI mencatat kanker usus besar paling tinggi nomor 2 pada laki-laki, dan nomor 3 pada perempuan. Di RS Medistra, kasus kanker usus besar paling banyak kedua, dan 34 persen sudah menyebar (metastatis).

Penyebab naiknya kasus kanker usus besar

Menurut Prof. Aru, kanker usus besar 95 persen disebabkan oleh faktor eksternal, seperti lingkungan dan gaya hidup. Selain infeksi hingga kebiasaan merokok dan konsumsi minuman beralkohol, pola makan berkontribusi paling besar. Ia kemudian menyimpulkan bahwa beberapa faktor risiko penyebab kanker usus besar adalah:

  • Riwayat keluarga (riwayat kanker usus besar di keluarga pada lebih dari satu anggota keluarga).
  • Usia (9 dari 10 diagnosis kanker usus besar diketahui saat pasien menginjak 50 tahun).
  • Penyakit inflamasi usus.
  • Diabetes tipe 2.
  • Konsumsi minuman beralkohol.
  • Konsumsi daging merah dan daging olahan.
  • Merokok.
  • Obesitas.

Profesor Aru mengatakan bahwa sejatinya, pola makan orang Indonesia tidaklah jelek, melainkan karena berubah mengikuti cara makan Barat yang minim serat dan lebih banyak gula. Hal ini juga terlihat dari konsumsi daging olahan (seperti kornet hingga sosis). Bersifat karsinogenik, daging olahan malah dijual murah dan disukai anak-anak.

Peduli Kanker Usus Besar di Indonesia, Yuk #PERIKSAilustrasi kanker usus besar atau kanker kolorektal (freepik.com/brgfx)

Lalu, Prof. Aru juga mengingatkan bahwa sindrom Lynch dan poliposis MUTYH bisa menyebabkan kanker usus besar. Sindrom Lynch adalab mutasi gen bawaan dan memicu kanker usus besar 70–80 persen di individu dengan mutasi gen tersebut. Perkembangan kanker usus besar biasanya diketahui sebelum usia 50 tahun.

"Bedanya, tidak ada polip ... [Muncul] bersamaan dengan kanker lain, seperti rahim, lambung, usus, dan sebagainya. Belum tentu jadi kanker." tambah Prof. Aru.

Lalu, sindrom poliposis MUTYH adalah kelainan genetik langka yang juga memicu kanker usus besar. Sesuai namanya, kondisi ini disebabkan oleh mutasi genetik gen MUTYH. Beda dengan sindrom Lynch, sindrom poliposis MUTYH memicu kanker usus besar mulai usia 60-an.

Banyak yang terlambat menyadari

Profesor Aru kemudian memaparkan beberapa gejala umum yang menyertai kanker usus besar, yaitu:

  • Berat badan turun berlebihan tanpa sebab.
  • Ada benjolan di perut.
  • Pendarahan tidak wajar.
  • Nyeri perut yang tak kunjung hilang.
  • Perubahan pola buang air besar.
  • Rasa lemas atau cepat lelah berlebihan (tanda anemia akibat pendarahan di usus).

Menurut pemantauan, epidemiologi dan hasil akhir (SEER) dari pertama kali kanker kolorektal didiagnosis, rata-rata kesintasan 5 tahun kanker usus besar adalah sebesar 63 persen, sedangkan rata-rata kesintasan 5 tahun kanker rektum adalah sebesar 67 persen.

"Banyak yang datang terlambat, 70 persen sudah stadium 3 dan 4, sehingga harapan hidup 5 tahun turun (10 persen kalau sudah stadium 4)," Prof. Aru menyebutkan.

Saat kanker usus besar menyebar, daerah hati dan paru adalah target metastasis yang paling banyak terlihat. Jika begitu, pengobatan pun jadi sulit dan mahal. Selain penyakit jantung, beban biaya kanker, termasuk kanker usus besar, adalah yang paling tinggi kedua.

"Jantung masih ada kemungkinan sembuh, sementara kanker berbeda," imbuh Prof. Aru.

Baca Juga: 7 Gejala Kanker Usus Besar pada Pria, Perhatikan ya!

Terapi kanker usus besar yang tersedia

Peduli Kanker Usus Besar di Indonesia, Yuk #PERIKSAilustrasi obat kemoterapi (unsplash.com/National Cancer Institute)

Saat ini ada tiga opsi terapi utama untuk kanker usus besar, yaitu:

  • Pembedahan (oleh ahli bedah onkologi).
  • Kemoterapi (oleh ahli onkologi medis).
  • Radioterapi (oleh ahli radioterapi).

Sementara sudah beredar uji klinis pengobatan baru untuk kanker usus besar, kanker usus besar tetap sulit diobati bila kanker sudah berada di tahap lanjut.

Profesor Aru mengingatkan kalau kanker tidak terjadi begitu saja, melainkan karena sel manusia terekspos ke hal-hal karsinogen dalam jangka panjang. Ini menyebabkan mutasi hingga sel kanker jadi ganas. Dari sel normal ke polip, Prof. Aru menghitung sekitar 5–20 tahun, sedangkan jika dari polip ke kanker, butuh 5–15 tahun.

"Makin lama, sel tumor jadi makin beragam (heterogenitas) sel kanker. Hal ini membuat terapi jadi sulit. Kemoterapi dan sebagainya jadi tidak mengenai semua populasi yang ada," Prof. Aru menjelaskan.

Pentingnya deteksi dini kanker usus besar

Demi menjamin tingginya peluang kesintasan para pasien kanker usus besar di Indonesia, deteksi dini amat diperlukan. Karena populasi sel kanker masih minim, jadi bisa ditangani sebelum parah.

"Masalahnya, masyarakat tidak sadar akan gejala dan tidak melakukan deteksi dini. Ini juga berlaku untuk para dokter," kata Prof. Aru.

Tidak terjadi dalam waktu singkat, polip kanker usus besar sebenarnya bisa dicegah dari awal. Jika ditangani sejak stadium awal, peluang kesintasan selama 5 tahun bisa meningkat hingga 74. Akan tetapi, jika terdeteksi terlambat, peluang turun drastis ke 6 persen saja.

Menurut Prof. Aru, penting bagi Kemenkes RI agar mencantumkan kanker usus besar ke edukasi deteksi dini. Jika di negara maju kolonoskopi dilakukan saat 50 tahun, menurutnya, Indonesia harus lebih muda lagi, mulai dari 35–40 tahun.

"Ini karena 35 persen pasien kanker kolorektal di Indonesia masih muda. Jadi, ini penting sekali," tambahnya.

Mengenal kampanye #PERIKSA

Dalam rangka menggalakkan edukasi deteksi dini kanker usus besar, Merck Indonesia bekerja sama dengan YKI dalam meluncurkan kampanye #PERIKSA yang berarti "Peduli Risiko Kanker Kolorektal Sejak Awal"

"Kanker usus besar adalah yang paling terkait dengan lingkungan dan kebiasaan gaya hidup sehingga penting untuk Indonesia (pemerintah hingga edukator, dan kelompok masyarakat) agar bisa mendidik masyarakat," kata Prof. Aru.

Kampanye ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat agar lebih peduli dalam mengenali gejala awal kanker usus besar dan faktor gaya hidup lewat deteksi dini secara daring. Caranya, tinggal isi "Kuesioner Risiko Kanker Usus Besar" melalui situs bit.ly/yukperiksa.

Peduli Kanker Usus Besar di Indonesia, Yuk #PERIKSAilustrasi kolonoskopi (flickr.com/Giorno Brando)

Metode deteksi dini kanker usus besar di antaranya:

  • Pemeriksaan rektal dengan jari (Digital Rectal Exam).
  • Pemeriksaan darah di tinja atau darah samar (FOBT).
  • Pemeriksaan endoskopi.
  • Pemeriksaan rontgen dengan barium enema.
  • Pemeriksaan kolonoskopi virtual.
  • CT scan.
  • Pemeriksaan DNA dalam tinja.

Pemeriksaan feses amat disarankan karena praktis, mudah dilakukan dan murah, serta mampu menurunkan angka kematian secara luas. Meski begitu, Prof. Aru menyayangkan bahwa sering kali tes feses menunjukkan hasil false positive, dan saat diketahui, tumor sudah besar.

Di sisi lain, kolonoskopi juga amat disarankan. Sementara mahal, harus dilakukan di rumah sakit, dan memerlukan waktu, pemeriksaan kolonoskopi bisa memperlihatkan hasil yang lebih akurat serta menurunkan angka kematian di skala individu.

Mencegah kanker usus besar

Selain deteksi dini, modifikasi gaya hidup bisa menekan risiko kanker usus besar. Sementara faktor genetik dan riwayat keluarga tidak bisa dimodifikasi, beberapa faktor yang menurunkan risiko kanker usus besar adalah:

  • Berolahraga rutin.
  • Konsumsi produk susu.
  • Konsumsi sayur dan buah.
  • Konsumsi serat.
  • Penggunaan aspirin.

Dari segi pola makan, kamu disarankan untuk mengontrol gula darahnya. Bukan melarang sepenuhnya, Prof. Aru menyarankan untuk mengurangi konsumsi daging merah, cukup 1–2 kali seminggu dengan porsi kecil.

Ada ikatan kuat antara olahraga dan penurunan risiko kanker usus besar. Bukan cuma kanker lainnya, olahraga bisa mencegah obesitas dan kanker usus besar.

“Kanker dapat disembuhkan jika dideteksi dan dirawat pada stadium awal, maka ingat #PERIKSA dengan meningkatkan kepedulian terhadap risiko kanker kolorektal sejak awal.”

Baca Juga: 6 Perubahan Pola Makan untuk Mencegah Kanker Usus Besar

Topik:

  • Nurulia

Berita Terkini Lainnya