Tantangan Indonesia dalam Menanggulangi Kanker pada Anak

Perlu kerja sama lintas sektor

Hari Kanker Sedunia diperingati tanggal 4 Februari setiap tahunnya, sementara Hari Kanker Anak Sedunia diperingati setiap tanggal 15 Februari. Dua hari peringatan ini menyoroti betapa pentingnya menanggulangi kanker yang bukan hanya penyakit orang dewasa, melainkan juga anak-anak.

Sama seperti pada orang dewasa, kanker pada anak-anak (childhood cancer) akan lebih mudah diobati apabila terdeteksi pada tahap dini. Namun, untuk negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah atau low and middle-income country (LMIC), termasuk Indonesia, hal ini cukup sulit.

Di negara-negara berpenghasilan tinggi, sebanyak 80 persen pasien kanker anak bisa bertahan hidup. Angka tersebut hanya 20 persen di LMIC. Apa tantangan yang dihadapi Indonesia dalam menanggulangi kanker pada anak?

Kanker anak seharusnya jadi prioritas

Tantangan Indonesia dalam Menanggulangi Kanker pada Anakilustrasi pasien anak dirawat di rumah sakit (khn.org)

Dalam webinar pada Sabtu (4/2/2023), Ketua Unit Koordinasi Kerja (UKK) Hematologi-Onkologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Dr. dr. Teny Tjitra Sari, SpA(K), MPH, menyampaikan bahwa sejatinya jumlah kanker pada anak lebih sedikit dibanding orang dewasa. Namun, Badan Kesehatan Dunia (WHO) ingin kanker anak menjadi prioritas.

"Sangat diharapkan tidak ada lagi anak yang meninggal akibat kanker. Jadi, diharapkan anak-anak dengan kanker memiliki akses kesehatan lebih mudah agar bisa mendapatkan pengobatan," ujar Dr. Teny.

Masalahnya, setiap hari, Dr. Teny menjabarkan bahwa WHO mencatat lebih dari 1.000 anak terdiagnosis kanker. Setiap tahunnya, sebanyak 400.000 anak (0–19 tahun) terdiagnosis kanker berasal dari LMIC. Dibanding negara maju dengan 80 persen tingkat kesintasan, pasien kanker anak di LMIC hanya memiliki tingkat kesintasan 20 persen.

Leukemia masih tinggi di Indonesia

Didominasi oleh anak laki-laki, dari 400.000 pasien kanker anak tersebut, Asia berkontribusi lebih dari 143.000. Menurut data kanker di Indonesia oleh SRIKANDI (2016–2020), leukemia atau kanker darah adalah kanker yang paling banyak menjangkit anak Indonesia, hingga 14 dari 100.000 orang.

Menurut Dr. Teny, leukemia masih menjadi kanker anak nomor satu di Indonesia. Seperti yang disampaikan oleh WHO, data IDAI pada 2022 pun mengatakan hal yang sama. Dari 12 rumah sakit besar di Indonesia, Dr. Teny mengatakan bahwa jumlah pasien anak dengan leukemia mencapai 673.

Kanker yang sebenarnya bisa sembuh

Tantangan Indonesia dalam Menanggulangi Kanker pada Anakilustrasi anak dengan leukemia (unsplash.com/National Cancer Institute)

Turut hadir dalam webinar tersebut, Ketua Pengurus Pusat IDAI, dr. Piprim Basarah Yanuarso, SpA(K), mengatakan bahwa berbicara soal kanker berarti berbicara deteksi dan perawatan dini. Dokter Teny pun mengatakan bahwa visi WHO adalah meningkatkan kesintasan pasien kanker anak dunia hingga 60 persen per 2030.

"Jangan putus asa. Pengobatan sudah makin canggih. Masih banyak yang bisa kita lakukan untuk anak-anak yang terkena kanker," ujar dr. Piprim.

Merunut data WHO, Dr. Teny mengatakan bahwa ada enam jenis kanker yang memiliki potensi kesembuhan besar, yaitu:

Karena tidak menular, dr. Piprim mengatakan bahwa makin dini terdeteksi, maka pengobatan kanker anak tidak serumit jika kanker sudah menyebar atau bermetastasis. Setuju dengan dr. Piprim, lewat operasi, kemoterapi, sampai radioterapi, Dr. Teny menekankan bahwa perawatan kanker anak harus multidisplin.

"Butuh kerja sama bukan hanya onkologi anak, melainkan juga profesi lain seperti radiologi, radioterapi, dan bedah saraf," Dr. Teny menambahkan.

Baca Juga: 15 Februari Hari Kanker Anak Sedunia: Waspadai Gejala Dini 

Halangan pengentasan kanker anak di Indonesia

Setiap 15 Februari, Indonesia terus diingatkan untuk menjadikan kanker anak sebagai prioritas karena masih bisa sembuh jika terdeteksi dan ditangani dini. Meski begitu, Dr. Teny mengatakan bahwa Indonesia memang masih kewalahan dengan kanker anak. Pertama, masih sedikit dokter konsultan kanker anak.

Berbagi data, Dr. Teny memetakan hanya ada 106 (62 konsultan dan 44 non konsultan) tenaga yang tersebar di 25 provinsi. Sayangnya, kebanyakan masih berfokus di daerah Indonesia bagian barat, tidak merata ke bagian tengah dan timur.

"Pemerintah harus membantu dengan beasiswa untuk para calon dokter, tetapi distribusinya masih tidak sesuai harapan karena memang akhirnya fasilitas untuk diagnosis dan terapi juga belum memadai," ujar Dr. Teny.

Lalu, pusat transplantasi juga menjadi halangan. Salah satu potensi perawatan untuk leukemia adalah cangkok sumsum tulang belakang. Namun, Dr. Teny mengatakan bahwa selain menunggu pasien sembuh (yang terhalang oleh minimnya pengobatan di Indonesia), masih belum ada pusat transplantasi.

"Selama obatnya belum tersedia, sulit juga," ucap Dr. Teny.

Tantangan Indonesia dalam Menanggulangi Kanker pada Anakilustrasi pasien kanker anak (freepik.com/freepik)

Dalam webinar ini, Dr. Teny memaparkan data yang ditemukan oleh IDAI yang melibatkan 12 rumah sakit besar di Indonesia dan SRIKANDI. Akan tetapi, Dr. Teny mengatakan bahwa rumah sakit Indonesia lainnya belum secara rutin terdata.

"Misalnya, ada sekitar 10 juta [pasien kanker anak di Indonesia], yang terdeteksi kanker belum ada data yang valid."

Lalu, fasilitas diagnosis dan obat-obatan yang rutin dipakai untuk pasien kanker anak di luar negeri ternyata belum masuk ke Indonesia atau tidak di-cover oleh asuransi kesehatan karena berbagai pertimbangan. Oleh sebab itu, Dr. Teny berharap Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Kemenkes bisa mengadakannya.

"WHO mengatakan bahwa anak-anak harus mendapatkan pengobatan. Bisa dideteksi dini, kesempatan sembuh harusnya lebih besar, dan obatnya tidak mahal seperti pengobatan dewasa," Dr. Teny menekankan.

Tren masyarakat yang merugikan

Selain itu, tantangan juga datang dari para pasien. Tren masyarakat Indonesia adalah beralih ke terapi herbal atau alternatif terlebih dulu. Akibatnya, sekitar 50–60 persen pasien kanker anak justru datang terlambat.

"Sudah stadium lanjut, obatnya jadi lama, dosis tinggi, sehingga harapan hidup rendah. Saat ini, dari waktu ke waktu, masih sama," ujar Dr. Teny.

Mengesampingkan ketakutan akibat minim informasi, Dr. Teny menjelaskan bahwa aspek keterjangkauan menjadi halangan sehingga mereka kesulitan. Untungnya, tidak sedikit lembaga swadaya masyarkat (LSM) yang kini menyediakan rumah tinggal di sekitar fasilitas pengobatan kanker untuk membantu pasien lebih patuh berobat.

Obat herbal tidak memiliki bukti ilmiah untuk menyembuhkan kanker. Bukan hanya tidak diketahui manfaatnya, efek sampingnya pun bisa berbahaya. Menurutnya inilah mengapa angka kanker anak di LMIC, termasuk Indonesia, masih tinggi.

"Kanker adalah penyakit berat, masa kita kasih obat yang tidak jelas? Karena akhirnya takut ke dokter, kebanyakan alternatif dulu dan baru datang ke pusat kesehatan sudah terlambat ... Maunya kami jangan berlama-lama," Dr. Teny menjelaskan.

Tantangan Indonesia dalam Menanggulangi Kanker pada Anakilustrasi pasien kanker anak (freepik.com/freepik)

Saat terdiagnosis kanker, Dr. Teny mengerti bahwa ini adalah bencana bukan hanya untuk pasien anak, melainkan untuk segenap keluarganya. Oleh karena itu, selain intervensi fisik, intervensi psikologis juga amat penting.

"Butuh dukungan komunitas agar saling menguatkan sehingga pengobatan bisa dijalani tuntas," dr. Piprim menambahkan.

Bukan hanya untuk anak, keluarga besar juga seharusnya mendapatkan bantuan psikologis. Dokter Teny menyarankan untuk "selalu dekat dengan Tuhan dan berdoa untuk kemudahan". Selain itu, bekerja sama dengan psikiater bisa turut memberi dukungan psikologis untuk pasien dan keluarga.

"Bukan hanya obat atau terapi, pemuka agama bisa mendampingi dan berdoa bersama. Ini harus tetap didukung," kata Dr. Teny.

Cegah kanker dengan hidup sehat

Dokter Piprim menekankan bahwa kanker juga erat dengan gaya hidup tak sehat, terutama nutrisi berlebihan. Bahkan, bukan tidak mungkin kanker adalah penyakit metabolisme, terutama bila seseorang memilki genetik yang berisiko tinggi terkena kanker.

"Ketika genetik ada riwayat kanker, dan pola makan over nutrisi, sel kanker tumbuh subur. Gaya hidup sehat harus diterapkan kepada anak-anak dari usia dini," ucap dr. Piprim.

Sekretaris Umum IDAI, dr. Hikari Ambara Sjakti, SpA(K)Onk, mengatakan bahwa obesitas memang memicu kanker di kalangan dewasa dan jarang di anak-anak. Ini karena obesitas menumpuk sitokin yang memicu peradangan kronis yang mengarah ke kanker.

"Peradangan kronis sebagian besar memicu kanker pada orang dewasa. Anak-anak jarang," tutur dr. Hikari di sela-sela acara.

Tantangan Indonesia dalam Menanggulangi Kanker pada AnakIlustrasi kehamilan (pixabay.com/fezailc)

Setuju dengan dr. Hikari, Dr. Teny mengecam tindakan orang tua yang memberi asupan berlebihan agar anak terlihat "chubby" dan tampak menggemaskan. Asupan nutrisi berlebihan bisa menyebabkan gangguan metabolisme yang bukan tidak mungkin memicu kanker di kemudian hari.

Kanker anak umumnya terjadi akibat perubahan gen dari ibu atau ayah. Oleh karena itu, baik berisiko atau tidak berisiko, Dr. Teny menjelaskan bahwa anak-anak perlu diajari pola hidup dan makanan sehat agar terhindar dari kanker saat beranjak dewasa.

Lalu, apakah ada yang bisa dilakukan orang tua? Ibu perlu menjaga kesehatan dengan cara menghindari paparan asap rokok. Didukung berbagai penelitian, asap rokok bisa memengaruhi perkembangan bayi dan memicu kanker.

"Ibu saat hamil memang harus diberikan yang terbaik. Asupan baik dan lingkungan baik agar anak bisa sehat," tandas Dr. Teny.

Baca Juga: 7 Jenis Kanker Ini Sulit Dideteksi pada Tahap Dini

Topik:

  • Nurulia

Berita Terkini Lainnya