Studi: Terlalu Khawatir Picu Penyakit Jantung pada Laki-laki

Khawatir itu wajar, asal jangan berlebihan!

Mungkin kamu dengar bahwa pikiran bisa jadi sumber penyakit. Ternyata, itu ada benarnya. Berbagai studi menunjukkan bahwa stres karena terlalu banyak kekhawatiran bisa mendatangkan berbagai macam penyakit, terutama penyakit kardiometabolik dari penyakit jantung hingga stroke atau diabetes.

Akan tetapi, bagaimana bisa rasa khawatir menyebabkan berbagai penyakit kardiometabolik? Berbagai penelitian belum bisa menjelaskannya. Salah satu penelitian terbaru mencoba menjelaskan fenomena ini. Simak penjelasannya di bawah ini, tetapi jangan sampai membuatmu kepikiran, ya!

1. Penilaian kesehatan terhadap lebih dari 1.500 laki-laki

Studi: Terlalu Khawatir Picu Penyakit Jantung pada Laki-lakiilustrasi jantung (unsplash.com/Ali Hajiluyi)

Dimuat dalam Journal of the American Heart Association pada 24 Januari 2022, para peneliti Amerika Serikat (AS) ingin mengetahui bagaimana neuroticism (emosi negatif seperti ketakutan hingga kesedihan) dan kekhawatiran bisa memengaruhi risiko penyakit jantung. Penelitian ini mengambil data dari Normative Aging Study, yang berjalan sejak 1960-an.

Bertajuk "Neuroticism, Worry, and Cardiometabolic Risk Trajectories", studi ini menyeleksi 1.561 partisipan laki-laki dewasa. Sejak tahun 1975, para partisipan mengumpulkan penilaian tujuh biomarker kardiometabolik setiap 3–5 tahun sejak 1975, seperti:

  • Tekanan darah sistolik dan diastolik (indikator hipertensi).
  • Trigliserida puasa (indikator dislipidemia, kadar lemak tidak seimbang dalam darah).
  • Total kolesterol puasa (indikator kelebihan kolesterol).
  • Indeks massa tubuh (indikator obesitas).
  • Glukosa puasa (indikator diabetes).
  • Tingkat sedimentasi eritrosit atau ESR (indikator inflamasi).

2. Penilaian emosi negatif dan kekhawatiran

Studi: Terlalu Khawatir Picu Penyakit Jantung pada Laki-lakiilustrasi khawatir (unsplash.com/Simeon Jacobson)

Selain biomarker kardiometabolik tersebut, semua partisipan mengisi kuesioner Eysenck Personality Inventory (EPI) pada awal studi. Para partisipan juga mengisi kuesioner berisi 20 pertanyaan yang mengukur kekhawatiran hidup mereka dari skala 0–4.

Meskipun EPI bukan standar uji untuk mengetes kekhawatiran, EPI  menilai neuroticism, yaitu sensitivitas terhadap emosi negatif. Berbagai ahli meyakini neuroticism sebagai faktor sebab akibat pada gangguan kecemasan (anxiety). Kekhawatiran diyakini sebagai aspek utama kecemasan dan metode coping untuk ancaman di masa depan.

Lalu, para peneliti juga menyertakan informasi demografis partisipan, yaitu:

  • Usia
  • Ras
  • Status sosial ekonomi
  • Status pernikahan
  • Riwayat keluarga penyakit jantung bawaan
  • Kebiasaan merokok
  • Kebiasaan berolahraga
  • Konsumsi alkohol

Baca Juga: Eskalasi Hormon Stres Naikkan Risiko Hipertensi dan Penyakit Jantung

3. Hasil: kekhawatiran pengaruhi risiko penyakit pada jantung

Studi: Terlalu Khawatir Picu Penyakit Jantung pada Laki-lakiilustrasi khawatir (pexels.com/cottonbro)

Pada awal studi, usia rata-rata partisipan adalah 53 tahun. Antara tahun 1975 dan 2015, para partisipan menjalani rata-rata 6,6 pemeriksaan kardiometabolik, dan dari keseluruhan partisipan sebanyak 1.067 meninggal dunia.

Lalu, para peneliti mencatat bahwa tingkat neuroticism yang lebih tinggi terlihat pada partisipan dengan tahun pendidikan yang lebih pendek, riwayat penyakit jantung bawaan, status sosial ekonomi yang lebih rendah, dan konsumsi alkohol serta rokok yang lebih frekuen.

Studi: Terlalu Khawatir Picu Penyakit Jantung pada Laki-lakiilustrasi penyakit jantung (pexels.com/freestocks.org)

Akibatnya, para partisipan dengan tingkar neuroticism yang lebih tinggi berisiko terkena penyakit kardiometabolik. Setelah disesuaikan dengan faktor demografis, para peneliti menemukan bahwa neuroticism yang lebih tinggi meningkatkan risiko enam atau lebih penyakit kardiometabolik hingga 13 persen.

Kemudian, para peneliti menemukan hubungan antara tingkat kekhawatiran yang lebih tinggi dan risiko mengembangkan enam atau lebih penyakit kardiometabolik 10 persen lebih tinggi. Bahkan, dampak neuroticism dan kekhawatiran pada kesehatan kardiometabolik mirip dengan terlalu banyak mengonsumsi alkohol.

4. Mengapa kekhawatiran bisa menyebabkan penyakit kardiometabolik?

Studi: Terlalu Khawatir Picu Penyakit Jantung pada Laki-lakiilustrasi kekhawatiran (pexels.com/Inzmam Khan)

Para peneliti menjelaskan bahwa kecemasan dan kekhawatiran dapat memicu perkembangan penyakit kardiometabolik melalui jalur psikososial, biologis, dan perilaku. Pemimpin studi dari Boston University School of Medicine, Lewina Lee, memperingatkan hal ini berlaku bagi kaum adam di segala kelompok usia.

"Temuan kami menunjukkan bahwa tingkat kekhawatiran tinggi antara laki-laki terkait dengan proses biologis yang memicu penyakit jantung dan kondisi metabolisme. Hubungan ini mungkin terlihat lebih awal, terutama saat masa kanak-kanak atau dewasa muda," ujar Lewina kepada Medical News Today.

Ia mengatakan bahwa kekhawatiran berlebihan berarti pasien dengan kecemasan tidak mampu mengendalikan faktor stres, lebih rentan pada dampak negatif stres, hingga kesehatan mental yang lebih buruk. Hal ini dapat meningkatkan risiko penyakit kardiometabolik.

Rasa cemas dan kekhawatiran memengaruhi faktor risiko penyakit mengaktifkan respons stres tubuh, seperti meningkatkan detak jantung dan tekanan darah. Selain itu, ada pelepasan hormon stres kortisol. Seluruh hal ini tidak memberikan waktu bagi tubuh untuk memulihkan diri.

"Seiring waktu, kondisi ini bisa menyebabkan gangguan fisiologis, seperti tekanan darah tinggi atau inflamasi kronis yang terkenal sebagai faktor risiko penyakit kardiometabolik," imbuh Lewina.

5. Kekurangan studi ini dan kesimpulan

Studi: Terlalu Khawatir Picu Penyakit Jantung pada Laki-lakiilustrasi bahagia (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Para peneliti mencatat beberapa kekurangan studi ini. Salah satu kelemahan fatal tersebut adalah populasi sampel yang mayoritas adalah laki-laki berkulit putih dengan status sosial ekonomi atas. Alhasil, penelitian ini belum tentu sama pada demografis lainnya atau perempuan yang notabene lebih rentan mengalami kecemasan dibanding laki-laki.

"Kekurangan lainnya adalah partisipan kami mayoritas berusia 50-an di awal studi. Jadi, kami tak bisa memahami bagaimana kecemasan berhubungan dengan perkembangan faktor risiko penyakit kardiometabolik pada masa kanak-kanak dan dewasa muda," imbuh Lewina.

Lalu, para peneliti tidak memiliki akses pada data apakah para partisipan telah didiagnosis gangguan kecemasan. Oleh karena itu, mereka tak tahu apakah pengobatan kecemasan bisa memengaruhi faktor risiko penyakit kardiometabolik. Akan tetapi, Lewina memperingatkan agar mereka yang sering khawatir lebih memperhatikan kesehatan kardiometabolik.

"Contohnya, rutin memeriksakan kesehatan dan lebih proaktif dalam mengendalikan tingkat risiko penyakit kardiometabolik (seperti minum obat untuk hipertensi dan menjaga berat badan) dapat mengurangi kemungkinan terkena penyakit kardiometabolik," pungkas Lewina.

Baca Juga: Studi: Makan Sendirian Gak Baik untuk Kesehatan Jantung

Topik:

  • Nurulia
  • Bayu Aditya Suryanto

Berita Terkini Lainnya