Tidak Mengobati Depresi Tingkatkan Risiko Demensia

Risiko demensia lebih besar pada orang dengan depresi

Demensia tidak bisa dianggap remeh. Sebagai salah satu kondisi mental berbahaya, Badan Kesehatan Dunia (WHO) mendata pada 2022 bahwa demensia adalah salah satu penyebab kematian tertinggi ke-7 di dunia. Bahkan, 55 juta penduduk dunia diketahui mengidap kondisi ini.

Karena tak ada obatnya saat ini, pencegahan demensia adalah hal terpenting. Selain menjaga gaya hidup sehat, mereka yang memiliki kondisi mental, seperti depresi, lebih dirugikan. Bukan rahasia, berbagai studi sudah memperingatkan kalau risiko demensia lebih besar pada orang dengan depresi, terutama jika kondisi mental ini tidak diobati.

1. Libatkan ratusan ribu partisipan

Tidak Mengobati Depresi Tingkatkan Risiko Demensiailustrasi demensia (pexels.com/Kindel Media)

Dimuat dalam jurnal Biological Psychiatry pada awal September 2022, para peneliti China ingin mencari tahu hubungan antara keparahan dan perawatan depresi serta risiko demensia. Penelitian ini dipimpin oleh Fudan University di Shanghai.

Para peneliti menggunakan data UK Biobank periode 2006–2010. Sebanyak 354.313 partisipan berusia antara 50–70 tahun tergabung dalam penelitian ini. Total 46.280 partisipan terdiagnosis depresi pada usia senja. Dari angka tersebut, sebanyak 725 partisipan memiliki demensia.

Para partisipan dipantau hingga tahun 2020, dan terbagi menjadi empat kelompok, yaitu:

  • Gejala depresi makin parah seiring waktu (3.462 partisipan).
  • Gejala depresi menurun seiring waktu (3.578 partisipan).
  • Gejala depresi kronis tinggi (2.281 partisipan).
  • Gejala depresi kronis rendah (3.159 partisipan).

2. Hasil: Mengobati depresi bisa menekan risiko demensia

Bukan kejutan, para peneliti menemukan bahwa mereka yang terdiagnosis depresi berisiko terkena demensia hingga 51 persen. Hal ini terutama dalam kelompok gejala depresi makin parah seiring waktu, gejala depresi kronis tinggi, dan gejala depresi kronis rendah, tetapi tidak dengan kelompok gejala depresi menurun seiring waktu.

Lalu, para peneliti juga ingin mengetahui apakah risiko demensia bisa ditekan dengan mengobati depresi. Oleh karena itu, dari 46.279 partisipan, mereka dikelompokkan berdasarkan status pengobatan depresinya, antara lain:

  • Farmakoterapi (14.695 partisipan).
  • Psikoterapi (2.151 partisipan).
  • Terapi kombinasi (5.281 partisipan).
  • Tak diobati (24.152 partisipan).

Ternyata, mengobati depresi menekan risiko demensia hingga 26 persen. Untuk kelompok kelompok gejala depresi makin parah seiring waktu dan gejala depresi kronis rendah, terapi mengurangi risiko demensia masing-masing 42 dan 29 persen.

Meski gejala depresi parah bisa memicu demensia, terapi depresi bisa membalikkan risiko tersebut. Namun, terapi depresi tak menunjukkan efek yang signifikan terhadap risiko demensia dalam kelompok gejala depresi kronis tinggi.

Baca Juga: Jalan 10.000 Langkah Cegah Demensia? Ini Kata Studi!

3. Studi lampau masih kontradiktif

Tidak Mengobati Depresi Tingkatkan Risiko Demensiailustrasi obat antidepresan (unsplash.com/Melany @ tuinfosalud.com)

Salah satu peneliti dari divisi Institute of Science and Technology for Brain-Inspired Intelligence di Fudan University, Dr. Wei Cheng, mengatakan penelitian ini telah meluruskan beberapa penelitian terdahulu. Berbagai studi terdahulu memang masih kontradiktif mengenai manfaat terapi depresi untuk menekan risiko demensia.

Sebuah studi di Amerika Serikat (AS) yang dimuat dalam American Journal of Psychiatry pada 2017 mencatat bahwa terapi obat selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) selama 4 tahun bisa menurunkan risiko demensia pada pasien gangguan kognitif ringan.

Pada tahun yang sama, sebuah studi di Australia mencatat bahwa antidepresan tidak memengaruhi risiko demensia pada pasien depresi. Malah, sebuah studi di AS dalam jurnal Alzheimer Disease & Associated Disorders tahun 2016 mencatat bahwa antidepresan untuk pasien lansia meningkatkan risiko demensia.

Apa respons peneliti China akan hal ini? Doktor Wei mengatakan bahwa perbedaan efektivitas terapi depresi berpotensi jadi alasan dari perbedaan studi-studi terdahulu.

4. Masih harus diteliti lebih lanjut

Tak ada penelitian yang sempurna. Saat ditanya mengenai kekurangan penelitian ini, para peneliti mengatakan bahwa depresi adalah salah satu gejala atau faktor risiko yang mengarah ke demensia. Jadi, hubungan antara demensia dan depresi masih harus diteliti secara saksama dan hati-hati.

Meski begitu, penelitian ini menyorot pentingnya diagnosis dini dan terapi efektif untuk pasien depresi. Bukan hanya bisa menjaga depresi agar tidak makin parah sehingga memengaruhi kualitas dan angka harapan hidup, pasien juga diuntungkan karena masih ada kans untuk tak terdiagnosis demensia.

Baca Juga: Studi: 7 Kebiasaan Sehat Cegah Demensia pada Pasien Diabetes

Topik:

  • Nurulia

Berita Terkini Lainnya