Vaksin COVID-19 Bertujuan Membentuk Antibodi? Ini Faktanya!

Seberapa perlu kita mendapatkan suntikan booster?

Dalam waktu setahun, vaksin COVID-19 sudah dibuat dan disebarluaskan untuk populasi dunia sebagai upaya untuk menghentikan pandemik COVID-19. Layaknya vaksin lainnya, vaksin COVID-19 diharapkan dapat mempersiapkan tubuh dalam menghadapi invasi virus corona SARS-CoV-2 dan varian-variannya. Akan tetapi, vaksin memang tidak 100 persen melindungi penerimanya.

Selain itu, ada anggapan kalau antibodi yang dihasilkan vaksin bisa menurun seiring waktu, dalam 4-6 bulan. Apakah betul? Dalam diskusi bertajuk "Blak-blakan Soal Benarkah Vaksinasi Bertujuan Bentuk Antibodi?" pada Selasa (21/09/2021), inilah ulasan mengenai vaksinasi COVID-19 dan kebutuhan dosis ketiga atau booster.

1. Apa yang terjadi saat kita divaksinasi?

Vaksin COVID-19 Bertujuan Membentuk Antibodi? Ini Faktanya!Ilustrasi vaksinasi COVID-19 (IDN Times/Herka Yanis).

Berbicara via Zoom, Kepala Laboratorium Pusat Diagnostik dan Riset Penyakit Infeksi Universitas Andalas, Padang, yang juga Tenaga Ahli Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes), Dr. dr. Andani Eka Putra, M.Sc., menjelaskan cara kerja vaksin dalam tubuh. Ia memaparkan bahwa ada beberapa vaksin yang umum digunakan, yaitu:

  • Virus atau bakteri yang dimatikan atau inactivated
  • Protein virus atau bakteri
  • Komponen materi genetik virus atau bakteri
  • Virus-like particle (VLP) atau komponen kosong virus

Perlu diingat, gunanya vaksin adalah mempersiapkan imun tubuh untuk menghadapi virus dan bakteri patogen. Saat vaksin disuntikkan ke tubuh, sel-sel pada tubuh bernama antigen presenting cell (APC) bertugas untuk "menangkap" bahan vaksin. Lalu, APC memperkenalkan vaksin kepada sistem imun sejati atau adaptive.

Vaksin COVID-19 Bertujuan Membentuk Antibodi? Ini Faktanya!ilustrasi vaksinasi (IDN Times/Herka Yanis).

Sistem imun adaptive terdiri dari dua, yaitu sel B dan sel T. Kemudian, setelah perkenalan oleh APC tersebut, maka terjadi aktivasi sel B dan sel T. Sel T akan menghasilkan dua komponen: T memory dan effector, sementara sel B juga menghasilkan B memory dan effector.

Sel T dan B effector berguna untuk mengeliminasi partikel vaksin dan merusak sel-sel yang terinfeksi. Dijelaskan oleh Dr. Andani kalau sel B menghasilkan antibodi yang menangkap komponen vaksin yang tereliminasi oleh effector, sehingga tidak menempel ke reseptor sel inang. Seluruh proses ini kira-kira butuh waktu selama 7 hari.

“Kalau kita menilai efektivitas vaksin, nilailah dari antibodinya, lalu dari aktivitas sel T,” ujar Dr. Andani.

2. Memang, antibodi akan mengalami penurunan

Vaksin COVID-19 Bertujuan Membentuk Antibodi? Ini Faktanya!ilustrasi vaksinasi (IDN Times/Herka Yanis)

Antibodi dari vaksin memang dapat turun. Tidak harus 4-6 bulan, bahkan dalam 2 bulan saja itu bisa terjadi. Kenapa bisa begitu? Seiring bahan vaksin hilang, effector akan mengalami degradasi dan antibodi pun akan habis secara perlahan. Namun, ini merupakan hal yang lumrah.

"Coba bayangkan, kalau antibodi bertahan terus dalam jangka panjang pada tubuh kita, apa yang akan terjadi? Setiap ada trauma, infeksi, atau apa pun, antibodi terus terbentuk. Seberapa kental darah kita nanti?" ujar Dr. Andani.

Namun, jika terinfeksi oleh virus atau bakteri yang sebenarnya dan antibodi sudah habis, maka sel memori memainkan perannya. Seperti namanya, sel ini mengingat komponen yang diperkenalkan APC.

Sel memori merespons invasi virus dan bakteri dengan memicu sel B untuk memproduksi antibodi lebih banyak dan cepat, dan memicu sel T juga untuk menghasilkan respons sel yang lebih cepat dan kuat. Dengan begitu, invasi virus dan bakteri bisa ditanggulangi.

“Masih ada sel memori atau sel pengingat yang akan menghasilkan antibodi baru yang lebih cepat dan banyak, dibandingkan yang dihasilkan di awal. Jadi, tidak perlu takut,” Dr. Andani menjelaskan.

3. Kinerja sel memori yang kadang mengecoh

Vaksin COVID-19 Bertujuan Membentuk Antibodi? Ini Faktanya!Ilustrasi Vaksinasi COVID-19 (IDN Times/Uni Lubis)

Mungkin banyak yang bertanya-tanya, kenapa masih ada yang bisa terinfeksi COVID-19 sesudah divaksinasi atau breakthrough infection? Ini karena sel memori tidak berfungsi dengan baik, terutama jika seseorang terinfeksi virus varian baru.

"Seperti contoh, Sinovac menggunakan inactivated virus yang muncul di Wuhan pada akhir 2019. Namun, saat terinfeksi dari B.1.617.2 atau Delta yang muncul di India pada akhir 2020, maka virusnya berbeda lagi," jelas Dr. Andani.

Apakah mutasi ini terkait dengan vaksin? Pada dasarnya tidak, karena virus bermutasi secara alamiah. Berbeda dengan virus berbasis DNA, virus RNA seperti SARS-CoV-2 hanya memiliki nukleotida 1 untai, sehingga saat berubah, maka asam aminonya pun berubah. Perubahan ini juga memutasi virus menjadi lebih ganas atau sebaliknya, lebih lemah.

Vaksin COVID-19 Bertujuan Membentuk Antibodi? Ini Faktanya!ilustrasi virus corona SARS-CoV-2 (imi.europa.eu/Image courtesy of the NIH CC 0)

Untungnya, dari infeksi tersebut, muncul sel memori baru terhadap virus atau bakteri baru tersebut. Dari contoh SARS-CoV-2 tipe primer di Wuhan dan Delta, Dr. Andani mengatakan bahwa sistem imun memiliki memori terhadap keduanya. Alhasil, tingkat keparahan infeksi COVID-19 dan varian-variannya menjadi tidak terlalu parah.

Namun, kemungkinan besar, Dr. Andani memprakirakan pembentukan memori imun yang komplet butuh 3-5 varian virus lagi. Inilah mengapa Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengizinkan penyintas COVID-19 untuk divaksinasi dan vaksinasi diperbolehkan bervariasi, karena karakteristik virus RNA yang lebih mudah bermutasi.

Baca Juga: Dunia Akan Berubah setelah Vaksin COVID-19? Ini Faktanya

4. Mengapa kita perlu suntikan booster?

Vaksin COVID-19 Bertujuan Membentuk Antibodi? Ini Faktanya!ilustrasi penyuntikan vaksin (ANTARA FOTO/Soeren Stache/Pool via REUTERS)

“Supaya sel memori kita bisa lebih kuat,” jawab Dr. Andani.

Dengan dosis booster, sel B dapat memproduksi antibodi lebih banyak dan lebih cepat, sementara sel T bisa menghasilkan respons sel yang lebih kuat serta andal.

Akan tetapi, ia pun mengingatkan bahwa booster harus dengan vaksin yang platformnya sama, jangan menggunakan vaksin yang berbeda. Ini karena variasi vaksin biasanya menggunakan bahan dasar vaksin atau platform yang cenderung berbeda.

5. Mengapa booster harus sama?

Vaksin COVID-19 Bertujuan Membentuk Antibodi? Ini Faktanya!ilustrasi vaksin Moderna (ANTARA FOTO/Umarul Faruq)

Doktor Andani memberi contoh vaksin difteri, pertusis, dan tetanus (DPT) serta hepatitis. Kedua vaksin ini diberikan secara berkala, sehingga dapat disebut booster untuk memperkuat vaksin yang sama.

Bercermin pada contoh kasus tenaga kesehatan yang sebelumnya divaksinasi dua dosis dengan Sinovac, lalu kemudian dengan Moderna sebagai dosis ketiga, Dr. Andani membantah itu disebut booster. Ini karena mereka mendapatkan dua jenis vaksin yang berbeda.

“Itu namanya bukan booster lagi. Namanya adalah vaksin kedua. Kalau yang digunakan Sinovac lagi, baru namanya booster. Karena berbeda, disebutnya ‘ulangan’.”

Vaksin COVID-19 Bertujuan Membentuk Antibodi? Ini Faktanya!ilustrasi vaksinasi (IDN Times/Arief Rahmat)

Konsep imunisasi adalah bagaimana tubuh bersiap menghadapi invasi virus atau bakteri. Ini pun tergantung dari jenis bakteri atau virus. Jika bakteri atau virus banyak di dalam sel, maka antibodi tidak ada gunanya karena tidak dapat bekerja.

Sebagai contoh, satu dosis vaksin Sinovac ditambah dengan satu dosis vaksin Pfizer-BioNTech tidak dapat serta-merta meningkatkan antibodi secara signifikan. Ini karena sel memori yang terbentuk berbeda. Doktor Andani mengatakan kalau booster ditujukan untuk sel memori yang sama dan bersifat spesifik.

6. Daripada memikirkan booster, lebih baik vaksinasi daripada tidak sama sekali

Vaksin COVID-19 Bertujuan Membentuk Antibodi? Ini Faktanya!Ilustrasi Vaksin. IDN Times/Arief Rahmat

Sempat viral lewat sebuah video yang diunggah di akun YouTube Sekretariat Kepresidenan tetapi sudah dihapus, Presiden Joko "Jokowi" Widodo sempat mengatakan "ingin disuntik Pfizer" juga. Sempat divaksinasi Sinovac pada Januari 2021 lalu, lantas apakah Sinovac diragukan?

Doktor Andani menyarankan untuk tidak ragu terhadap berbagai vaksin yang tersedia, baik Sinovac hingga Pfizer-BioNTech. Mengutip berbagai data, semua vaksin ampuh dan rata-rata memiliki daya proteksi terhadap risiko infeksi meski tidak 100 persen.

"Satu hal yang [berkurang] signifikan adalah risiko rawat inap, risiko masuk ruang intensif, hingga risiko kematian akibat COVID-19. Ini jauh lebih bagus pada mereka yang menerima vaksin daripada yang tidak sama sekali," tandas Dr. Andani.

Baca Juga: Kemenkes: Vaksin Sinovac Ampuh Melindungi Tenaga Kesehatan dan Lansia

Topik:

  • Nurulia
  • Septi Riyani

Berita Terkini Lainnya