Vaksinasi HPV dan Deteksi Dini Cegah Kanker Serviks

Mari cegah kanker serviks sebelum terlambat

Setiap tanggal 4 Februari, dunia memperingati Hari Kanker Sedunia. Untuk tahun 2022, Hari Kanker Sedunia mengusung tema “closing the care gap atau menutup kesenjangan pada perawatan medis untuk kanker.

Di Indonesia, salah satu kanker yang hingga saat ini masih belum bisa dituntaskan adalah kanker serviks atau kanker leher rahim. Faktanya, kanker tersebut menduduki peringkat paling mematikan untuk perempuan di Tanah Air. Meski banyak yang diketahui tentang kanker serviks, tetapi mengapa angka tersebut masih tinggi?

Indonesia memasang target 2030 bebas kanker serviks. Oleh karena itu, Koalisi Indonesia Cegah Kanker Serviks (KICKS) dan PT Merck Sharp & Dohme Indonesia (MSD) mengadakan edukasi virtual bertajuk "Ayo Cegah KANKER SERVIKS dengan Vaksinasi HPV dan Deteksi Dini SEKARANG JUGA”.

1. Meski sudah dikenal, kanker serviks jadi pembunuh perempuan tertinggi ke-2 di Indonesia

Vaksinasi HPV dan Deteksi Dini Cegah Kanker Serviksilustrasi kanker serviks (parkwaycancercentre.com)

Membuka edukasi virtual ini, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, menjelaskan bahwa kanker serviks adalah penyebab kematian tertinggi kedua pada populasi perempuan di Indonesia. Menurut data Globocan pada 2020, angka kasus kanker serviks di Indonesia naik hampir 15 persen dibanding tahun 2018.

Faktanya, Menkes Budi mengatakan bahwa angka kasus kanker yang disebabkan oleh human papillomavirus (HPV) ini mencapai 36.633 atau 9,2 persen dari total kasus kanker di Indonesia. Apa yang menyebabkannya?

"Salah satunya disebabkan karena deteksi dini yang masih rendah dengan cakupan skrining kanker serviks, sebesar 8,29 persen," ujar Menkes Budi.

Vaksinasi HPV dan Deteksi Dini Cegah Kanker Serviksilustrasi kanker serviks (cancer.gov)

Konsultan Onkologi Ginekologi & Ketua Himpunan Onkologi Ginekologi Indonesia (HOGI), Dr. dr. Brahmana Askandar, SpOG(K)-Onk, menjelaskan bahwa seharusnya tak satu pun perempuan Indonesia kena kanker serviks. Ini karena Indonesia sudah sadar betul akan bahaya kanker serviks yang sejatinya dapat dicegah.

"Berbeda dengan kanker di bidang kandungan yang lain, misalnya kanker indung telur yang pencegahannya lebih kompleks. Kanker serviks itu pencegahannya sederhana, hanya dengan skrining dan vaksinasi HPV," ujar Dr. Brahmana.

Jika kanker serviks dibiarkan, bukan tidak mungkin angka kematian akibat kanker ini akan terus naik hingga 50 persen pada 2030 mendatang. Dokter Brahmana juga memperingatkan bahwa jika angka kanker serviks terus naik, maka kualitas kesehatan Indonesia akan terpengaruh.

"Di tengah negara kita masih terbatas ahlinya, fasilitas radiasinya, dan lain-lain. Jadi intinya, ayo, cegah sama-sama! Jadi, tidak boleh satu perempuan pun terjangkit kanker serviks, karena kanker serviks paling bisa dicegah."

2. Tantangan yang belum selesai dihadapi

Vaksinasi HPV dan Deteksi Dini Cegah Kanker Serviksilustrasi HPV dan kanker serviks (scientificanimations.com)

Turut berbicara dalam edukasi virtual tersebut, Konsultan Onkologi Ginekologi & Ketua Dewan Penasihat HOGI, Prof. Dr. dr. Andrijono, Sp.OG(K)-Onk, menjelaskan bahwa saat ini, salah satu tantangan utama Indonesia adalah mengeliminasi kanker serviks.

"Ini merupakan tantangan karena kanker serviks penyebab, metode pencegahan, vaksin, metode skrining, dan terapinya sudah diketahui, tetapi kok di tempat Indonesia ini masih tinggi," kata Prof. Andrijono.

Data Globocan pada 2020 memperlihatkan bahwa kanker serviks berada di urutan keempat, setelah kanker paru-paru, kolorektal, dan payudara. Akan tetapi, di Indonesia, kanker ini malah berada di nomor dua setelah kanker payudara, di angka 36.633 kasus.

"Kalau dilihat, padahal kanker serviks merupakan suatu kanker yang sudah diketahui segala aspeknya sampai patofisiologi, perubahan molekuler, sampai terjadinya kanker serviks sudah diketahui dengan baik," imbuh Prof. Andrijono.

Vaksinasi HPV dan Deteksi Dini Cegah Kanker Serviksilustrasi konsultasi kanker serviks (pah.com.my)

Profesor Andrijono memaparkan bahwa Indonesia mencatat 89 pasien dan 57 kematian akibat kanker serviks per hari, bukan per bulan apalagi tahun. Oleh karena itu, masih amat jauh dari sasaran dan definisi Badan Kesehatan Dunia (WHO). Faktanya, angka kanker serviks di Indonesia menduduki peringkat pertama di kawasan Asia Tenggara.

"Berdasarkan data penelitian di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), risiko kematian kanker serviks stadium lanjut 94 persen dalam waktu 2 tahun... Akan tetapi, 80 persen pasien yang mencari pengobatan sudah berada di stadium lanjut," ujar Prof. Andrijono.

Karena patofisiologi yang sudah jelas, ia menjelaskan bahwa infeksi HPV sebenarnya bisa mengalami regresi. Sekitar 75–90 persen mengalami regresi spontan dan hanya 10–25 persen yang berlanjut menjadi infeksi HPV yang persisten dan mengarah ke kanker serviks.

3. 90:70:90, formasi strategi untuk mengeliminasi kanker serviks

Vaksinasi HPV dan Deteksi Dini Cegah Kanker ServiksStrategi 90:70:90 untuk kanker serviks dari WHO. (who.int)

Saat ini, Indonesia ingin mengeliminasi kanker serviks per 2030. Menurut WHO, eliminasi kanker serviks berarti insidennya kurang dari 4 kasus per 100.000 perempuan.

Bagaimana strategi dunia untuk mengeliminasi kanker serviks? Koordinator Substansi Imunisasi Kemenkes RI, dr. Iqbal Djakaria, mengatakan bahwa ada tiga pilar strategi yang dibagikan WHO untuk dilakukan oleh negara-negara dunia dalam mengentaskan kasus kanker serviks, yaitu:

  • 90 persen: Pencegahan dengan vaksinasi HPV.
  • 70 persen: Pencegahan dengan skrining HPV.
  • 90 persen: Pengobatan infeksi HPV dan kanker serviks stadium awal.

4. Vaksinasi adalah langkah primer mencegah kanker serviks

Vaksinasi HPV dan Deteksi Dini Cegah Kanker Serviksilustrasi vaksin HPV (gavi.org)

Oleh karena itu, pencegahan agar HPV tidak berkembang jadi kanker serviks adalah langkah utama. Pencegahan dapat dilakukan dengan vaksinasi HPV tipe 16 dan 18. Menurut Prof. Andrijono, tipe 16 dan 18 adalah dua tipe kanker serviks yang paling umum dijumpai.

"Pencegahan terbaik adalah primer, yaitu vaksinasi. Diharapkan, dapat mencegah infeksi HPV tipe 16 dan 18," kata Prof. Andrijono.

Mengutip data vaksinasi, Prof. Andrijono mengatakan vaksin HPV memiliki efektivitas yang "baik sekali". Dengan efektivitas hingga 100 persen selama 14 tahun, vaksin HPV memberikan antibodi yang cukup untuk mencegah kanker serviks tanpa harus mengambil dosis tambahan atau booster.

Vaksinasi HPV dan Deteksi Dini Cegah Kanker Serviksilustrasi vaksin HPV (healtheuropa.eu)

Bukan cuma perempuan, padahal vaksinasi HPV juga baik untuk laki-laki. Oleh karena itu, untuk perempuan maupun laki-laki, vaksin HPV bisa mencegah tiga jenis kanker:

  • Laki-laki: Kanker anus, penis, dan orofaring.
  • Perempuan: Kanker anus, serviks, dan orofaring.

Profesor Andrijono mengatakan bahwa program vaksinasi HPV harus dimulai sejak anak-anak dan diintegrasikan dengan Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS). Oleh karena itu, vaksin HPV dimulai sejak SD kelas 5 untuk dosis ke-1 dan SD kelas 6 untuk dosis ke-2 atau 11–12 tahun.

"Kelebihannya cukup banyak, selain mudah dijangkau, faktor imunogenisitas yang baik, dan antibodi bertahan cukup lama tanpa perlu booster. Di usia 9-15 tahun, dosis yang diberikan adalah dua dosis, menghemat sepertiga biaya dari program vaksinasi," kata Prof. Andrijono.

Baca Juga: Cara Mencegah Kanker Serviks, Kanker Berbahaya Kedua di Indonesia

5. Deteksi dini juga tak kalah penting

Vaksinasi HPV dan Deteksi Dini Cegah Kanker Serviksilustrasi skrining HPV rutin (independent.co.uk)

Untuk perempuan yang sudah menikah, Prof. Andrijono mengatakan bahwa pencegahan kanker serviks bisa dilakukan dengan skrining rutin. Skrining adalah untuk menemukan lesi pra-kanker atau infeksi HPV sehingga bisa diterapi.

Namun, data skrining dari Litbangkes dan HOGI, cakupan skrining HPV di Indonesia kurang dari 10 persen, sedangkan targetnya 70 persen. Ada tiga metode skrining yang bisa digunakan:

  • Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA)
  • Pap smear
  • DNA HPV

Selain tiga metode skrining, Indonesia sedang mencoba beralih ke tes HPV berbasis DNA sebagai stand-alone untuk mendeteksi lesi prakanker dengan sensitivitas hingga 94 persen. Hal ini dikarenakan 99 persen kanker serviks dan lesinya disebabkan oleh HPV.

"Terapi untuk lesi prakanker memberikan hasil hampir 100 persen," ujar Prof. Andrijono.

Vaksinasi HPV dan Deteksi Dini Cegah Kanker Serviksilustrasi tes HPV DNA (primanora.com)

Selain itu, Prof. Andrijono mengatakan bahwa HOGI memperkenalkan kombinasi antara HPV DNA dan IVA. Tes HPV DNA digunakan untuk infeksi HPV, sementara IVA digunakan untuk mendeteksi apakah infeksi HPV disertai lesi.

"Jika tak disertai lesi, maka hanya infeksi HPV. Namun, jika DNA HPV positif dan VIA menemukan lesi, maka adanya lesi prakanker serviks," kata Prof. Andrijono.

Apabila ada lesi abnormal lewat IVA dan infeksi HPV lewat HPV DNA, maka bisa dilakukan biopsi untuk membuktikan adanya infeksi HPV pada lesi pra-kanker serviks. Jika memang ditemukan, maka bisa dilakukan kolposkopi. Akan tetapi, tidak banyak rumah sakit menyediakan fasilitas tersebut, harganya mahal, dan tidak tersedia di pedesaan.

"Oleh karena itu, HOGI mencoba untuk menggantikan kolposkopi dengan IVA dan dikombinasikan dengan HPV DNA," kata Prof. Andrijono.

6. Introduksi vaksinasi HPV di Indonesia harus mencakup semua anak

Vaksinasi HPV dan Deteksi Dini Cegah Kanker Serviksilustrasi vaksinasi HPV (hub.jhu.edu)

Mengutip rekomendasi Komite Penasihat Ahli Imunisasi Nasional (KPAIN) pada 2016 mengenai vaksinasi HPV, Menkes Budi mengatakan bahwa program demonstrasi imunisasi HPV telah dilaksanakan sejak enam tahun lalu.

Sekadar info, baru saja diterbitkan Keputusan Menteri Kesehatan RI (KMK) No. HK.01.07/Menkes/6779/2021 tentang perluasan introduksi vaksinasi HPV. Dengan KMK ini, pada 2020 hingga 2024, pemerintah akan melakukan introduksi imunisasi HPV di sembilan provinsi percontohan.

"Sebagai wujud konkret dukungan Indonesia untuk percepatan eliminasi kanker serviks pada 2030," ujar Menkes Budi.

Vaksinasi HPV dan Deteksi Dini Cegah Kanker Serviksilustrasi vaksinasi HPV pada anak perempuan (consumer.healthday.com)

Dokter Iqbal mengatakan bahwa program imunisasi HPV yang termasuk dalam BIAS sejalan dengan Peraturan Bersama 4 Menteri (Mendikbud, Menkes, Menag, dan Mendagri) pada 2014 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kesehatan Sekolah/Menengah.

"Selain di sekolah formal, imunisasi HPV perlu menjangkau anak-anak di usia sekolah di sekolah non-formal, tidak bersekolah, hingga putus sekolah," ujar dr. Iqbal.

Untuk anak-anak yang bersekolah non-formal, tidak bersekolah, hingga putus sekolah, imunisasi HPV bisa dilakukan di:

  • Posyandu setempat
  • Puskesmas setempat
  • Fasilitas pelayanan kesehatan setempat
  • Rumah singgah
  • Yayasan atau panti asuhan
  • Panti sosial

7. Langkah perluasan introduksi vaksinasi HPV

Vaksinasi HPV dan Deteksi Dini Cegah Kanker Serviksilustrasi vaksinasi HPV pada anak perempuan (childrens.com)

Dari KMK 2021, dr. Iqbal menjelaskan bahwa introduksi vaksinasi HPV akan diperluas ke 131 kabupaten/kota dengan sasaran 889.813 anak. Pada 2022, jumlah sasaran ditambah ke 1.433.581, dan pada 2024 mendatang, diharapkan introduksi dilakukan dalam skala nasional. Sasaran tersebut bisa dicapai melalui tujuh tahapan, yaitu:

  • Rekomendasi Indonesian Technical Advisory Group on Immunization/ITAGI dan Surat Keputusan Menkes sebagai dasar hukum.
  • Persiapan petunjuk teknis dan media komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE).
  • Advokasi dan sosialisasi dengan pemangku kepentingan terkait.
  • Pelatihan tenaga kesehatan.
  • Penguatan pengawasan kejadian ikutan pascaimunisasi (KIPI).
  • Pengumpulan data sasaran dan penyusunan microplanning.
  • Pengawasan dan evaluasi.

8. Tantangan introduksi vaksinasi HPV

Vaksinasi HPV dan Deteksi Dini Cegah Kanker Serviksilustrasi pita kanker serviks (augonc.com)

Sementara pandemik COVID-19 tengah berkecamuk, dr. Iqbal mengatakan bahwa vaksinasi HPV harus tetap berjalan agar anak-anak Indonesia terlindung dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Dalam mewujudkan gol tersebut, tentu saja ada beberapa kendala, seperti:

  • Black campaign (hoaks, isu kehalalan, dan mispersepsi tentang KIPI).
  • Penolakan dari pihak sekolah dan orangtua.
  • Kurangnya cakupan vaksinasi HPV untuk anak yang tidak bersekolah/putus sekolah.

Mengenai black campaign yang bisa berujung pada penolakan dari pihak sekolah dan orang tua, dr. Iqbal menekankan perlunya klarifikasi secepatnya agar tidak mengganggu program BIAS HPV yang perlu mencapai target hingga 95 persen.

Mengenai kurangnya cakupan vaksinasi, perlu ada kerja sama antara petugas agar pendataan dilakukan menyeluruh.

“Petugas dan dinas kabupaten/kota berkoordinasi dengan dinas sosial dan kader setempat untuk melakukan pendataan secara langsung dari rumah ke rumah.” pungkas dr. Iqbal.

Baca Juga: 10 Mitos tentang Kanker Serviks Ini Masih Sering Diyakini Wanita Lho!

Topik:

  • Nurulia

Berita Terkini Lainnya