Craniosynostosis: Penyebab, Gejala, Komplikasi, dan Penanganan

Salah satu kelainan bentuk kepala pada bayi

Tengkorak bayi terdiri dari tujuh tulang yang disatukan oleh celah jaringan fibrosa atau jahitan kranial di antaranya. Umumnya, jahitan kranial tetap terbuka sampai anak berusia sekitar 2 tahun, kemudian menutup menjadi tulang padat agar otak dapat tumbuh dan berkembang secara fleksibel tanpa tekanan dari tengkorak.

Kraniosinostosis atau craniosynostosis adalah kondisi langka yang menyebabkan bentuk yang tidak biasa pada tulang kepala bayi. Kelainan ini terjadi karena terdapat satu atau lebih jahitan kranial di tengkorak bayi yang menutup sebelum otak bayi terbentuk sepenuhnya. Bentuk tengkorak dapat berbeda-beda, tergantung berapa banyak jahitan yang tertutup sebelum waktunya.

Bila hanya satu jahitan yang menutup terlalu cepat, otak bayi mungkin masih dapat berkembang secara normal, meskipun bayi akan memiliki bentuk kepala yang tidak lazim. Sementara itu, bila terdapat lebih dari satu jahitan yang menutup terlalu cepat, otak bayi mungkin tidak dapat berkembang secara maksimal dan sesuai dengan yang seharusnya.

1. Jenis

Craniosynostosis: Penyebab, Gejala, Komplikasi, dan Penangananilustrasi craniosynostosis atau kraniosinostosis jenis sagital (cdc.gov)

Craniosynostosis dibedakan menjadi beberapa jenis berdasarkan tulang mana yang menyatu lebih cepat. Seseorang dapat memiliki satu jenis saja ataupun kombinasi. Empat jenis utama craniosynostosis berdasarkan jahitan yang terpengaruh adalah:

  • Sinostosis sagital: Pada jenis ini, jahitan sagital di sepanjang bagian atas kepala menyatu terlalu dini sehingga menghasilkan bentuk kepala yang disebut scaphocephaly. Kepala akan tumbuh menjadi lebih panjang dan sempit daripada biasanya. Berdasarkan laporan berjudul “Craniosynostosis genetics: The mystery unfolds” dari Indian Journal of Human Genetics tahun 2011, jenis ini dialami sekitar 40 hingga 55 persen kasus craniosynostosis dan merupakan tipe yang paling umum.

  • Craniosynostosis koronal: Jenis ini terjadi apabila satu atau kedua jahitan koronal yang menghubungkan bagian atas kepala dan telinga menyatu terlalu cepat. Akibatnya, dahi akan tampak rata di satu sisi dan rongga mata mungkin tinggi sebelah. Jika kedua sisi kepala menyatu, kepala bayi akan lebih pendek dan lebih lebar dari biasanya. Jenis ini menyumbang sekitar 20 hingga 30 persen kasus.

  • Sinostosis metopik: Merupakan jenis terdampaknya jahitan metopik akibat bergabungnya jahitan sagital dan hidung. Bayi akan memiliki kepala berbentuk segitiga (trigonochepaly), memiliki tonjolan di dahi, dan jarak mata yang terlalu dekat. Jenis ini lebih jarang, hanya terjadi pada sekitar kurang dari 10 persen kasus.

  • Sinostosis lambdoid: Jenis ini memengaruhi jahitan lambdoid di bagian belakang kepala, sehingga menyebabkan bentuk bagian belakang kepala terlihat rata atau datar. Bila kedua jahitan lambdoid menyatu, maka tengkorak akan lebih lebar daripada biasanya. Ini adalah jenis craniosynostosis yang paling langka.

2. Penyebab

Craniosynostosis: Penyebab, Gejala, Komplikasi, dan Penangananilustrasi bayi menangis (unsplash.com/Aikomo Opeyemi)

Berdasarkan penyebabnya, craniosynostosis dibagi lagi menjadi dua jenis, yakni nonsindromik dan sindromik.

Craniosynostosis nonsindromik adalah jenis yang paling umum. Penyebab jenis ini belum diketahui secara pasti, tetapi para ahli menduga ini disebabkan oleh kombinasi gen dan faktor lingkungan.

Selain itu, beberapa penyebab lainnya, mengutip Medical News Today, adalah cacat sel pada jahitan yang menyebabkan jahitan terlalu cepat menutup dan janin yang salah mengambil posisi dalam rahim, sehingga memberi tekanan pada kepala dan mendorong lempeng tulang di tengkorak bersama-sama.

Sementara itu, craniosynostosis sindromik adalah bagian dari sindrom yang biasanya terjadi karena sindrom bawaan lain seperti sindrom Apert, sindrom Carpenter, sindrom Crouzon, sindrom Pfeiffer, dan sindrom Saethre-Chotzen. Craniosynostosis jenis ini juga dapat memengaruhi berbagai bagian tubuh lainnya seperti jari tangan dan kaki, sistem rangka, dan jantung.

Baca Juga: Urtikaria Aquagenik: Penyebab, Gejala, Diagnosis, Pengobatan

3. Gejala

Craniosynostosis: Penyebab, Gejala, Komplikasi, dan Penangananilustrasi bayi (pixabay.com/PublicDomainPictures)

Craniosynostosis dapat dikenali dengan pemeriksaan bentuk kepala bayi ke dokter secara berkala. Tanda-tandanya biasanya terlihat saat lahir, tetapi akan terlihat lebih jelas selama beberapa bulan setelahnya.

Gejala serta tingkat keparahan bergantung pada berapa banyak jahitan yang menyatu terlalu cepat. Beberapa gejala atau tanda umum craniosynostosis adalah:

  • Bentuk tengkorak yang terdistorsi atau tidak rata sesuai dengan jenis craniosynostosis yang dimiliki.
  • Ubun-ubun tidak normal atau menghilang karena menjadi titik lunak pada bagian atas tengkorak kepala bayi.
  • Pertumbuhan yang lebih lambat di kepala dibandingkan dengan tubuh.
  • Terbentuknya tonjolan keras di sepanjang jahitan yang menutup atau menyatu terlalu cepat.

Selain itu, beberapa gejala lain yang mungkin terjadi tergantung jenis craniosynostosis meliputi sakit kepala, rongga mata lebar atau sempit, kesulitan dalam mempelajari sesuatu, dan kehilangan penglihatan.

4. Faktor risiko

Craniosynostosis: Penyebab, Gejala, Komplikasi, dan Penangananilustrasi ibu hamil (unsplash.com/Neal E Johnson)

Berdasarkan penelitian berjudul “Valproic Acid Monotherapy in Pregnancy and Major Congenital Malformations” dalam The New England Journal of Medicine tahun 2010, mengonsumsi asam valproat seperti Depakote, obat untuk epilepsi, dapat meningkatkan kemungkinan craniosynostosis pada bayi yang dilahirkan apabila dikonsumsi selama masa kehamilan.

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) juga menyatakan bahwa beberapa penelitian menemukan risiko craniosynostosis yang lebih tinggi pada bayi bila ibunya memiliki penyakit tiroid atau menjalani pengobatan untuk penyakit tiroid selama kehamilan.

Selain itu, konsumsi obat kesuburan seperti clomiphene citrate sebelum kehamilan atau pada awal kehamilan juga dapat meningkatkan risiko.

5. Diagnosis

Craniosynostosis: Penyebab, Gejala, Komplikasi, dan Penangananilustrasi bayi di rumah sakit (unsplash.com/Christian Bowen)

Dilansir Mayo Clinic, diperlukan evaluasi medis dari spesialis seperti ahli bedah saraf pediatrik atau spesialis bedah plastik dan rekonstruktif untuk melakukan diagnosis terhadap craniosynostosis. Beberapa cara diagnosisnya antara lain:

  • Pemeriksaan fisik: Dilakukan dengan melihat dan mengukur kepala bayi untuk mencari kelainan seperti tonjolan pada jahitan di sekitar tengkorak serta ada atau tidaknya kelainan bentuk wajah.

  • Imaging test: Pemindaian tomografi terkomputerisasi (CT scan) atau pencitraan resonansi magnetik (MRI) tengkorak bayi dapat menunjukkan apakah ada jahitan yang telah menyatu. Selain itu, pencitraan ultrasonografi (USG) kranial juga dapat dilakukan untuk mengidentifikasi jahitan yang tidak terlihat. Sebab, jahitan yang telah menyatu tidak akan terlihat saat tes dilakukan. Pemindaian laser dan foto juga dapat digunakan untuk membuat pengukuran yang tepat dari bentuk tengkorak.

  • Tes genetik: Karena craniosynostosis dapat disebabkan oleh sindrom genetik yang mendasarinya, tes genetik dapat dilakukan untuk mengidentifikasi sindrom tersebut. Sampel darah bayi mungkin dibutuhkan untuk pengujian genetik ini.

6. Pengobatan

Craniosynostosis: Penyebab, Gejala, Komplikasi, dan Penangananilustrasi helm sebagai terapi craniosynostosis pada bayi (hopkinsmedicine.org)

Kondisi craniosynostosis yang ringan mungkin tidak memerlukan pembedahan. Bayi dapat menggunakan helm khusus untuk memperbaiki tengkorak ke bentuk normalnya. Terapi helm juga bisa membantu pertumbuhan otak bayi. Akan tetapi, kondisi craniosynostosis yang ringan jarang terjadi.

Bagi kebanyakan pasien, pembedahan merupakan pengobatan yang diperlukan untuk memperbaiki bentuk kepala dan mengurangi tekanan pada otak. Jenis operasi yang dilakukan bergantung pada jahitan mana yang terdampak dan penyebab craniosynostosis. Mengutip Healthline, jenis operasi yang dapat dilakukan adalah endoskopi dan operasi terbuka.

Operasi endoskopi efektif pada bayi di bawah 3 bulan dan bisa juga untuk bayi usia 6 bulan jika hanya satu jahitan yang menyatu lebih cepat. Operasi ini tidak menyebabkan pasien kehilangan banyak darah, sehingga pemulihannya lebih cepat dibanding operasi terbuka. Setelah menjalani operasi endoskopi, bayi perlu menggunakan helm khusus selama kurang lebih 12 bulan atau satu tahun untuk memperbaiki tengkorak.

Sementara itu, operasi terbuka bisa dilakukan pada bayi hingga usia 11 bulan. Beberapa bayi mungkin butuh lebih dari satu operasi terbuka untuk memperbaiki bentuk kepalanya. Tidak seperti operasi endoskopi, operasi terbuka menyebabkan kehilangan darah yang lebih banyak dan butuh waktu pemulihan yang lebih lama. Namun, bayi tidak perlu lagi memakai helm setelahnya.

7. Komplikasi yang dapat terjadi

Craniosynostosis: Penyebab, Gejala, Komplikasi, dan Penangananilustrasi bayi menggenggam tangan (pexels.com/Lisa)

Craniosynostosis yang tidak diobati dapat menyebabkan beberapa komplikasi, seperti:

  • Deformitas kepala dan wajah permanen.
  • Kebutaan pada salah satu atau kedua mata.
  • Peningkatan tekanan intrakranial.

Peningkatan tekanan intrakranial merupakan komplikasi berbahaya yang biasanya tidak disadari dan dapat berlangsung hingga usia 8 tahun. Kondisi ini juga dapat menyebabkan kerusakan otak, kebutaan, kejang, gangguan kognitif, lesu, gangguan gerakan mata, dan pada kasus yang jarang dapat berujung pada kematian.

Craniosynostosis pada bayi harus dapat dikenali dengan segera. Sebab, makin cepat kondisi ini terdeteksi dan mendapat perawatan, makin besar pula peluang bayi untuk memiliki bentuk kepala yang normal di masa depan.

Baca Juga: Penyakit Mata karena Usia, Kenali 6 Fakta AMD Basah

Topik:

  • Nurulia
  • Bayu Aditya Suryanto

Berita Terkini Lainnya