Fakta Terapi Antibodi Monoklonal untuk Penanganan COVID-19

Dapat menurunkan risiko kematian akibat COVID-19

Salah satu terapi yang sudah dimasukkan ke dalam Surat Usulan Revisi Pedoman Tata Laksana COVID-19 tertanggal 14 Juli 2021 oleh sejumlah perhimpunan profesi dokter Indonesia adalah terapi antibodi monoklonal.

Di Indonesia, izin eksklusif terapi antibodi monoklonal Regdanvimab dengan merek RegkironaTM kini dipegang oleh Dexa Medica, dan telah mengantongi izin penggunaan darurat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk diimpor dan dihadirkan di Indonesia sesuai dengan kebutuhan rumah sakit dan dokter untuk perawatan pasien COVID-19. 

Fakta Terapi Antibodi Monoklonal untuk Penanganan COVID-19ilustrasi terapi antibodi monoklonal (houstonmethodist.org)

Antibodi monoklonal merupakan antibodi yang dikembangkan di laboratorium guna meningkatkan sistem kekebalan tubuh dalam melawan virus corona. Namun, perlu diingat bahwa antibodi monoklonal bukanlah pengganti vaksinasi COVID-19. Sebelum digunakan untuk COVID-19, antibodi monoklonal juga telah digunakan untuk terapi kanker.

Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA), antibodi monoklonal menggunakan protein buatan laboratorium yang dapat meniru kemampuan sistem kekebalan untuk melawan antigen berbahaya seperti virus corona SARS-CoV-2.

Terapi antibodi monoklonal bisa sangat berguna untuk orang-orang dengan kekebalan atau sistem imun tubuh yang lemah, yang mungkin tidak menghasilkan respons kuat setelah menerima suntikan vaksin COVID-19. Terapi ini juga cocok untuk orang dengan risiko terkena penyakit parah.

Terapi antibodi monoklonal mungkin tidak berhasil diterapkan kepada semua orang. Oleh karena itu, para ahli merekomendasikan untuk mendapatkan vaksinasi lengkap COVID-19 yang telah diketahui dapat mencegah atau meminimalkan risiko penyakit parah dan rawat inap imbas dari infeksi SARS-CoV-2, dan efeknya dapat diterima semua orang.

1. Menurunkan risiko terkena infeksi bergejala dan risiko kematian

Fakta Terapi Antibodi Monoklonal untuk Penanganan COVID-19ilustrasi perawatan COVID-19 di rumah sakit (unsplash.com/Mufid Majnun)

Antibodi monoklonal yang telah disahkan dan diizinkan penggunaannya oleh FDA sejak November 2020 adalah dari perusahaan Regeneron dan Eli Lily. Namun, antibodi monoklonak Regeneron kembali populer belakangan ini karena keefektifannya dalam melawan varian Delta.

Melansir WebMD, uji klinis terhadap antibodi monoklonal menunjukkan bahwa kombinasi dua antibodi casirivimab dan imdevimab dapat mengurangi risiko rawat inap terkait COVID-19 dan risiko kematian pada pasien berisiko tinggi sebesar 70 persen.

Tidak hanya itu, ketika diberikan kepada orang yang terpapar, seperti pasien yang positif COVID-19, antibodi monoklonal juga dapat menurunkan risiko terkena infeksi bergejala hingga 80 persen. Mendapatkan antibodi monoklonal segera setelah seseorang positif atau terpapar COVID-19 dapat efektif mengurangi tingkat keparahan atau mencegah infeksi.

2. Cara kerja antibodi monoklonal di dalam tubuh

Fakta Terapi Antibodi Monoklonal untuk Penanganan COVID-19ilustrasi sistem imun dalam tubuh (freepik.com/pikisuperstar)

Dalam tubuh, antibodi monoklonal berperan menyerupai antibodi yang dibuat oleh sistem kekebalan tubuh sebagai respons terhadap infeksi. Antibodi monoklonal dapat bekerja dengan mengikat molekul tertentu pada virus atau bakteri, yang disebut juga sebagai antigen. Selanjutnya, antibodi monoklonal akan meningkatkan atau memulihkan respons imun terhadap patogen tersebut, dilansir Healthline.

Selain efektif terhadap COVID-19, perawatan antibodi monoklonal juga telah digunakan untuk berbagai penyakit akibat virus lain seperti Ebola, virus pernapasan (RSV), serta berbagai penyakit kronis seperti artritis reumatoid, multiple sclerosis, radang usus, kanker, dan banyak lagi.

Antibodi monoklonal dapat dikembangkan dengan mengisolasi sel kekebalan tertentu yang disebut sel B, dari orang yang telah sembuh dari infeksi. Sel B terisolasi tersebut dapat digunakan untuk menciptakan antibodi monoklonal secara massal dan biasa diberikan kepada orang-orang melalui infus.

Pada antibodi monoklonal untuk COVID-19, biasanya mereka akan menargetkan protein spike, yang digunakan virus SARS-CoV-2 untuk memasuki sel inang. Dengan mengikat protein spike, antibodi monoklonal dapat membantu mencegah virus menginfeksi sel manusia.

Bila seseorang sudah sakit, antibodi monoklonal dapat mencegah seseorang terkena gejala parah yang memerlukan rawat inap. Sementara bagi seseorang yang baru terpapar, antibodi monoklonal dapat menangkis virus untuk mencegah mereka menjadi sakit sejak awal.

Baca Juga: Terapi Plasma Konvalesen untuk COVID-19 Tidak Efektif? Ini Faktanya

3. Kriteria kelayakan terapi antibodi monoklonal

Fakta Terapi Antibodi Monoklonal untuk Penanganan COVID-19ilustrasi terapi antibodi monoklonal untuk COVID-19 (drugtargetreview.com)

Perawatan dengan terapi antibodi monoklonal dapat digunakan untuk menangani COVID-19 gejala ringan hingga sedang. Dilansir WebMD, dokter dapat merekomendasikan terapi ini bila beberapa kondisi terpenuhi, yang meliputi:

  • Orang dewasa atau anak berusia 12 tahun atau lebih yang memiliki berat setidaknya 40 kilogram
  • Positif virus SARS-CoV-2 saat dites secara langsung
  • Berisiko tinggi mengalami gejala serius atau rawat inap akibat COVID-19

Selain itu, dokter juga dapat memberikan antibodi monoklonal pada orang dengan COVID-19 dengan gejala atau sakit ringan untuk perawatan di rumah sakit, tetapi memiliki faktor risiko untuk infeksi serius. Beberapa kriteria kondisi tersebut adalah:

  • Berusia lebih dari 65 tahun
  • Memiliki sistem kekebalan atau imun yang lemah
  • Memiliki kondisi medis tertentu
  • Mengalami kegemukan atau obesitas

4. Efek samping yang dapat terjadi

Fakta Terapi Antibodi Monoklonal untuk Penanganan COVID-19ilustrasi demam (IDN Times/Mardya Shakti)

Mengutip Medical News Today, terapi antibodi monoklonal gabungan berpotensi menyebabkan reaksi hipersensitivitas. Kemudian, beberapa efek samping yang paling umum terjadi juga termasuk reaksi terkait infus dan reaksi alergi. Beberapa reaksi terkait infus yang dapat terjadi adalah:

  • Demam
  • Mual
  • Menggigil
  • Kelelahan
  • Sakit atau nyeri pada dada
  • Sulit bernapas
  • Detak jantung tidak teratur
  • Sakit kepala atau pusing
  • Tekanan darah rendah atau tekanan darah tinggi
  • Sakit tenggorokan
  • Ruam

Sementara itu, reaksi alergi yang ditimbulkan dapat berupa anafilaksis. Bila mengalami salah satu dari efek samping ini, memperlambat atau menghentikan infus mungkin perlu dilakukan.

5. Bedanya terapi antibodi monoklonal dengan vaksin COVID-19

Fakta Terapi Antibodi Monoklonal untuk Penanganan COVID-19ilustrasi vaksinasi COVID-19 (IDN Times/Herka Yanis)

Perlu digarisbawahi bahwa terapi antibodi monoklonal tidak dapat menggantikan vaksinasi COVID-19. Vaksin dapat membantu merangsang dan mempersiapkan sistem kekebalan tubuh untuk merespons virus ketika terpapar. Dengan demikian, sistem kekebalan tubuh akan siap dalam memproduksi antibodi, bahkan sebelum dibutuhkan.

Sementara itu, antibodi monoklonal dapat meningkatkan sistem kekebalan setelah seseorang sakit atau terpapar, yang kemudian mempercepat respons kekebalan untuk mencegah COVID-19 makin parah. Walau demikian, vaksin dapat melakukan hal ini jauh lebih baik dan lebih mudah dibanding terapi antibodi monoklonal, mengutip WebMD.

Terlebih lagi, vaksin dapat menawarkan perlindungan yang signifikan dan bertahan seumur hidup. Sebaliknya, antibodi monoklonal hanya dapat efektif selama sekitar satu bulan, dan lama-kelamaan akan hilang dalam sekitar enam bulan kemudian.

6. Waktu terbaik untuk mendapatkan terapi antibodi monoklonal

Fakta Terapi Antibodi Monoklonal untuk Penanganan COVID-19ilustrasi tes swab (freepik.com/freepik)

Pengobatan dini merupakan kunci keberhasilan dari terapi antibodi monoklonal. Makin dini diberikan, akan semakin efektif pula antibodi monoklonal ini dalam mengobati atau mencegah infeksi COVID-19. Dilansir WebMD, terapi ini paling efektif diberikan dalam 4 hingga 5 hari pertama gejala. Terapi ini tidak dapat diberikan setelah 10 hari mengalami gejala.

Karenanya, seseorang harus segera melakukan tes COVID-19 setelah merasakan gejala yang mengarah ke kondisi tersebut. Bila hasilnya positif, segera hubungi dokter untuk konsultasi terapi antibodi monoklonal, baik untuk diri sendiri maupun orang lain yang pernah berkontak dengan pasien positif.

Itulah penjelasan mengenai terapi antibodi monoklonal sebagai salah satu penanganan untuk pasien COVID-19. Bila kamu positif COVID-19, konsultasikan ke dokter mengenai perawatan yang tepat sesuai kondisi.

Cara mencegah COVID-19 yang paling efektif hingga saat ini adalah mendapatkan vaksinasi COVID-19 lengkap serta terus disiplin menerapkan protokol kesehatan seperti pakai masker, rajin cuci tangan, hindari kerumunan, jaga jarak fisik, dan tidak perlu ke luar rumah bila tidak ada keperluan mendesak.

Baca Juga: 8 Cara Alami untuk Meredakan Batuk akibat COVID-19

Topik:

  • Nurulia

Berita Terkini Lainnya