Mengenal Trauma Bonding, Keterikatan Emosional Akibat Hubungan Toxic

Cirinya memilih bertahan meskipun rasanya sakit

Umumnya individu yang mendapatkan perlakuan buruk dari orang lain cenderung mengembangkan perasaan marah, tidak suka, berontak, atau memilih pergi untuk menghindar dan meninggalkan. Namun, berbeda pada kasus individu yang mengalami trauma bonding atau ikatan trauma.

Singkatnya, mereka yang terjebak dalam trauma bonding justru merasa tidak dapat berkutik dan secara intens mengembangkan keterikatan dengan pelaku karena berbagai alasan. Merangkum dari berbagai sumber, berikut adalah penjabaran secara komprehensif mengenai trauma bonding yang sebaiknya kamu pahami.

1. Sejarah singkat mengenai trauma bonding

Mengenal Trauma Bonding, Keterikatan Emosional Akibat Hubungan Toxicilustrasi mencengkeram tangan (pexels.com/Anete Lusina)

Istilah trauma bonding pertama kali tercetus oleh spesialis terapi kecanduan, Patrick Carnes, PhD, CAS pada tahun 1997. Melalui artikel bertajuk, “Trauma Bonds, Why People Bond To Those That Hurt Them” Carnes menjelaskan mengenai teorinya mengenai trauma bonding. Secara sederhana, trauma bonding didefinisikan sebagai keterikatan disfungsional terhadap bahaya, eksploitasi, dan rasa malu. Carnes menganggap ketiganya sebagai reaksi terhadap situasi traumatis.

Menurut Carnes, trauma bonding disebabkan oleh kerja otak dalam menangani trauma dan mendasarkannya pada cara beradaptasi untuk bertahan hidup. Dirinya menyoroti dua aspek yang saling berkaitan dengan trauma, yakni respons keparahan dan waktu keberlanjutan. Dua hal ini senantiasa menjadi kajian studi hingga konsep trauma bonding terus bertahan sampai saat ini.

2. Trauma bonding adalah respons psikologis terhadap perilaku abusive

Mengenal Trauma Bonding, Keterikatan Emosional Akibat Hubungan Toxicilustrasi kekerasan dalam rumah tangga (pexels.com/MART PRODUCTION)

Trauma bonding terbentuk dari hubungan antara pihak yang abusive dan individu yang menjadi korbannya. Kondisi ini biasa terjadi ketika korban mulai mengembangkan rasa simpati atau kasih sayang yang ditujukan kepada pelaku. Dengan demikian, trauma bonding menjadi alasan mengapa meninggalkan situasi yang sangat toksik terasa membebani dan membingungkan.

Waktu berkembangnya trauma bonding pun bisa sangat bervariasi pada masing-masing individu. Ada yang berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Karenanya korban semakin merasa terikat dan bergantung pada sang pelaku.

Baca Juga: Kenali 6 Tipe PTSD, Gejala dan Penanganannya Bisa Berbeda

3. Perasaan ketergantungan dapat menjadi salah satu penyebab trauma bonding

Mengenal Trauma Bonding, Keterikatan Emosional Akibat Hubungan Toxicilustrasi perdebatan dalam rumah tangga (pexels.com/Yan Krukov)

Menurut National Domestic Violence Hotline, trauma bonding merupakan hasil dari hubungan mengikat yang tidak sehat. Penyebab lainnya adalah unsur ketergantungan yang bermanifestasi menjadi pemenuhan kebutuhan emosional yang ingin didapatkan korban dari pelaku. Trauma bonding semakin menguat tatkala korban merasa telah terbiasa dengan perilaku abusive yang didapatkannya.

Beberapa hubungan yang abusive sering kali diikuti dengan pola pelecehan yang kemudian disusul fase penyesalan atau penguatan positif. Maksudnya, setelah pelaku melakukan tindakan kasar, dirinya mungkin akan berjanji untuk berubah dan tidak melakukan hal buruk lagi. Fase ini memberikan secercah harapan pada korban dengan asumsi sang pelaku akan benar-benar berubah menjadi lebih baik.

4. Trauma bonding terjadi karena berbagai kondisi, salah satunya kekerasan dalam rumah tangga

Mengenal Trauma Bonding, Keterikatan Emosional Akibat Hubungan Toxicilustrasi pasangan yang berperilaku abusive (pexels.com/Karolina Grabowska)

Penelitian dalam International Journal of Psychology Research tahun 2013 mengemukakan, beberapa situasi yang dapat memicu terjadinya trauma bonding di antaranya adalah:

  • Kekerasan dalam rumah tangga
  • Pelecehan pada anak
  • Pelecehan pada orang tua
  • Inses atau hubungan sedarah
  • Perdagangan manusia
  • Penculikan atau penyanderaan
  • Pekerjaan yang sifatnya eksploitatif
  • Ekstremisme
  • Aliran sesat

Adapun menurut organisasi Parents Against Child Exploitation, trauma bonding berkembang dalam beberapa kondisi, seperti:

  • Merasa terancam karena situasi bahaya yang diciptakan pelaku
  • Sering mendapatkan perilaku abusive
  • Mengalami fase terisolasi yang signifikan
  • Memiliki keyakinan tidak dapat melarikan diri dari pelaku

5. Selalu membenarkan perilaku abusive bisa jadi tanda-tanda trauma bonding

Mengenal Trauma Bonding, Keterikatan Emosional Akibat Hubungan Toxicilustrasi perempuan berteriak (pexels.com/Liza Summer

Karakteristik utama trauma bonding yang sering ditunjukkan korban adalah selalu membela dan membenarkan perbuatan yang merujuk pada perilaku abusive. Selain itu, korban sering kali mencoba menutupi kesalahan pelaku dan enggan meninggalkan situasi tersebut.

Korban trauma bonding mungkin mengembangkan pemikiran distorsi yang kemudian tercetus dalam wujud pernyataan, misal, “Dia melakukan tindakan kasar karena dia sangat mencintaiku.” Hal ini tentu tidak benar, karena lambat laun dampak trauma bonding dapat mengarah ke hal yang lebih ekstrem dan bahkan bisa berujung pada kematian.

6. Memutus mata rantai trauma bonding

Mengenal Trauma Bonding, Keterikatan Emosional Akibat Hubungan Toxicilustrasi sesi sharing dengan orang kepercayaan (pexels.com/SHVETS production)

Setelah memahami pengertian, penyebab, dan karakteristik trauma bonding, tahap lanjutan yang sebaiknya ditempuh adalah menarik diri dari siklus tidak sehat ini. Individu yang sudah terlanjur menjadi korban mungkin akan merasa terbebani dan membutuhkan waktu lebih lama untuk mengembalikan situasi dan menstabilkan psikis. Para ahli melalui National Domestic Violence Hotline memberikan beberapa masukan yang sebaiknya dilakukan penyintas trauma bonding, di antaranya:

  • Berpikir realistis terhadap perilaku abusive pelaku dan merenungkan dampak negatif yang dapat memengaruhi kondisi mental
  • Berlatih self-talk yang positif untuk menguatkan penghargaan diri sendiri
  • Mempraktikkan perawatan diri seperti bermeditasi, olahraga, melakukan hobi yang positif, atau sekadar berbagi cerita dengan keluarga, kerabat, dan teman yang dapat dipercaya

Sama halnya dengan isu kesehatan mental lain, trauma bonding tidak bisa dianggap remeh. Meskipun pelaku adalah orang terdekat sekaligus, bukan berarti memiliki wewenang untuk melukai mental seseorang dengan perilaku abusive.

Bagi kamu yang saat ini sedang berada dalam situasi yang mengindikasikan trauma bonding, ada baiknya untuk segera merencanakan prosedur penyelamatan bagi diri sendiri. Kamu bisa mengoptimalkan pendekatan dengan ahli profesional melalui sesi terapi atau konseling. Selain itu, berbaur dengan kelompok pendukung juga dapat membantumu merasa dilindungi dan tidak merasa sendirian.

Baca Juga: PTSD: Penyebab, Gejala, Diagnosis, dan Pengobatan

Indriyani Photo Verified Writer Indriyani

Full-time learner, part-time writer and reader. (Insta @ani412_)

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Izza Namira

Berita Terkini Lainnya