Terapi Plasma Konvalesen di Indonesia, Harapan Besar Melawan COVID-19

Pengobatan ini kabarnya memiliki tingkat keberhasilan tinggi

“Dengan hormat, kami tim peneliti “Plasma Konvalesen RSCM/FKUI” untuk menolong penderita COVID-19 berat, mengharapkan kesediaan saudara yang telah sembuh dari COVID-19 untuk menyumbangkan plasma darahnya.”

Pada Rabu (29/4), pesan tersebut beredar melalui grup WhatsApp dan jagat media sosial. Bukan broadcast biasa, pesan itu berisi secuil harapan untuk pasien COVID-19 yang masih berjuang melawan virus di tubuhnya. 

Dalam waktu dekat, penelitian mengenai efektivitas dan keampuhan terapi yang disebutkan dalam pesan itu segera dilangsungkan. Jika terbukti membuahkan hasil yang baik dan bisa memulihkan pasien, pengobatan ini akan segera didistribusikan ke seluruh Indonesia.

Terapi plasma konvalesen adalah terapi dengan memberikan plasma atau bagian darah mengandung antibodi dari pasien yang telah sembuh (penyintas) kepada pasien yang sakit. Terapi ini merujuk pada sebuah metode pengobatan penyakit karena virus yang telah digunakan selama beberapa tahun terakhir.

Untuk mengenal terapi ini secara lebih mendalam, IDN Times menghubungi salah satu dokter peneliti yang terlibat, yaitu Dr. dr. Cosphiadi Irawan, Sp.Pd, KHOM, pada hari Jumat (1/5).

1. Plasma konvalesen memanfaatkan antibodi dari penyintas COVID-19

Terapi Plasma Konvalesen di Indonesia, Harapan Besar Melawan COVID-19Dr. dr. Cosphiadi Irawan Sp.Pd KHOM, salah satu peneliti Plasma Konvalesen RSCM/FKUI. fk.ui.ac.id

Sebelum mengenal terapi plasma konvalesen lebih jauh, kita harus tahu bahwa pasien COVID-19 yang telah dinyatakan sembuh kemungkinan besar memiliki antibodi terhadap virus penyebabnya, yakni virus corona. Antibodi tersebut tersimpan di dalam plasma darah mereka. Inilah yang membuat para penyintas COVID-19 memiliki risiko sangat kecil untuk kembali terserang penyakit tersebut. 

Tak hanya bekerja di tubuhnya sendiri, antibodi itu ternyata bisa dimanfaatkan untuk menyembuhkan pasien lainnya. Itulah kenapa peneliti dari Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) ingin mengembangkannya menjadi metode pengobatan COVID-19 yang ampuh, terutama untuk pasien bergejala berat. 

“Antibodi dari pasien yang tadinya sakit itu diharapkan bisa menghancurkan dan memusnahkan virus-virus yang ada di tubuh pasien. Bukan hanya yang berada di saluran pernapasan, tapi juga yang ada di darah, liver (hati), ginjal, dan lain-lain yang menyebabkan peradangan,” jelas Cosphiadi

2. Mekanisme terapi plasma konvalesen

Terapi Plasma Konvalesen di Indonesia, Harapan Besar Melawan COVID-19cloudfront.net

Untuk melakukan terapi ini, para peneliti membutuhkan plasma darah dari pasien yang telah sembuh dari COVID-19. Mereka harus dua kali dinyatakan negatif dalam pemeriksaan swab hidung dan tenggorokan, serta telah melakukan isolasi mandiri selama 14 hari di rumah. 

“Pada waktu kita mengambil plasma, harapan kita ada antibodi yang tinggi di dalamnya. Setelah dimurnikan, kita transfusikan ke pasien dengan gejala berat dan dalam pemasangan ventilator,” lanjut Cosphiadi.

Metode pengambilan dan transfusi pun mirip dengan donor darah seperti biasa. Namun bedanya, kali ini sampel yang diambil hanyalah plasma darah. Cosphiadi juga menyebutkan beberapa kriteria yang harus dipenuhi untuk bisa menjadi pendonor. Berikut ini di antaranya:

  • Laki-laki berusia 18 hingga 50 tahun (kalau syarat dari Palang Merah Indonesia adalah 18-60 tahun);
  • Telah dikonfirmasi positif COVID-19 sebelumnya dan dinyatakan sembuh. Hasil pemeriksaan telah negatif dalam pemeriksaan swab hidung dan tenggorokan;
  • Memiliki hemoglobin 12,5 hingga 17 (normal);
  • Tidak ada riwayat hepatitis, HIV, dan penyakit menular lainnya;
  • Belum pernah melakukan cuci darah;
  • Tidak ada infeksi menular lewat transfusi darah (IMLTD);
  • Dan memenuhi syarat-syarat lain sebagaimana diatur oleh PMI.

Untuk pendonor perempuan, syaratnya adalah belum pernah hamil. Sebetulnya perempuan hamil (atau yang pernah hamil) tidak dianjurkan menjadi donor plasma secara umum karena kehamilan menimbulkan pembentukan antibodi terhadap human leucocyte antigen (HLA).

Antibodi HLA ini dapat bertahan lama dan prevalensinya dilaporkan meningkat seiring bertambahnya jumlah kehamilan. Antibodi ini dikaitkan dengan terjadinya acute lung injury. Ini merujuk pada sebuah laporan berjudul "The Effect of Previous Pregnancy and Transfusion on HLA Alloimmunization in Blood Donors: Implications for a Transfusion Related Acute Lung Injury (TRALI) Risk Reduction Strategy" yang diterbitkan dalam jurnal Transfusion tahun 2009.

3. Bekerja layaknya vaksin, tapi dengan tempo yang jauh lebih cepat

Terapi Plasma Konvalesen di Indonesia, Harapan Besar Melawan COVID-19statnews.com

Sebenarnya, terapi plasma konvalesen sangatlah mirip dengan vaksin. Cosphiadi mengiyakan hal itu. Ia bahkan menyebutnya sebagai metode vaksinasi pasif. 

Metode vaksinasi yang selama ini kita tahu adalah vaksinasi aktif. Ini dilakukan dengan menginjeksikan partikel virus untuk merangsang pembentukan antibodi ke tubuh pasien. Pada umumnya, proses tersebut memakan waktu empat minggu hingga enam bulan. Lain halnya dengan vaksinasi pasif atau dalam hal ini adalah plasma konvalesen.

“Vaksinasi pasif ini jelas lebih cepat prosesnya. Antibodi dengan titer yang pas yang diberikan melalui transfusi plasma tersebut akan menimbulkan efek dalam dua hingga tiga hari pasca pemberian. Jadi, langsung terlihat efeknya karena antibodinya langsung aktif dan mematikan virus,” jelas dokter spesialis penyakit dalam tersebut.

Baca Juga: Jangan Diikuti, 8 Cara Pencegahan Virus Corona Ini Salah menurut Medis

4. Kriteria pasien yang bisa terlibat dalam penelitian plasma konvalesen RSCM/FKUI

Terapi Plasma Konvalesen di Indonesia, Harapan Besar Melawan COVID-19newsweek.com

Untuk penelitian ini, tim hanya membutuhkan 30 pasien COVID-19 untuk menjadi partisipan. Nantinya, 15 orang akan diberikan plasma darah. Sedangkan 15 orang lainnya akan menjadi subjek kontrol alias tidak mendapatkan plasma darah. 

Metode ini disebut sebagai randomized clinical trial oleh Cosphiadi. Dengan cara tersebut, peneliti akan mendapatkan perbandingan kondisi kedua golongan pasien setelah tranfusi plasma. 

Walaupun begitu, tidak sembarang pasien bisa menjalani terapi plasma konvalesen. Cosphiadi mengatakan bahwa saat ini, terapi hanya akan diberikan kepada pasien dengan gejala berat dan memakai ventilator. Kemudian pasien yang menjadi partisipan tidak boleh mengalami kegagalan dan disfungsi organ. 

Kenapa demikian? Ini bertujuan agar hasil yang keluar nantinya lebih valid. Ketika pasien telah mengalami gagal organ, itu tandanya plasma darah sudah terlambat diberikan dan tidak akan bekerja secara maksimal. 

“Jadi, (plasma darah) boleh diberikan untuk pasien yang sakit jantung asalkan tidak gagal jantung. Boleh untuk diabetes, asalkan masih terkontrol dan belum cuci darah. Kemungkinan untuk tidak berhasil terjadi ketika kondisi pasien sangat-sangat berat dan dia memiliki multi organ failure,” lanjutnya. 

5. Ada sejumlah efek samping yang mungkin timbul

Terapi Plasma Konvalesen di Indonesia, Harapan Besar Melawan COVID-19thailandmedical.news

Setiap pengobatan pasti memiliki efek samping. Tak terkecuali terapi plasma konvalesen ini. Cosphiadi mengaku bahwa ada sejumlah risiko yang patut dipertimbangkan. Di antaranya adalah risiko alergi, transfusion lung injury (TRALI), anafilaktik, hingga reaksi major

“Ini bisa timbul tapi risikonya kecil sekali. Selama saya praktik rasanya belum pernah ada reaksi berat seperti TRALI, reaksi major, dan lainnya. Kecuali terjadi kesalahan transfusi. Ini bisa dialami di mana pun. Tapi dari segi sampel darahnya sudah bisa dibilang bagus,” jelasnya.

Ia menambahkan bahwa risiko transfusi plasma ini dapat diminimalisasi dengan cara screening pendonor dan plasma secara tepat, serta mengaplikasikan semua kaidah transfusi secara tepat. 

6. Tingkat keberhasilan plasma konvalesen diklaim cukup tinggi

Terapi Plasma Konvalesen di Indonesia, Harapan Besar Melawan COVID-19scientificamerican.com

Walaupun ada beberapa efek samping yang mungkin timbul, Cosphiadi positif mengenai keberhasilan plasma konvalesen. Pasalnya, dari semua negara yang telah melakukan metode serupa, hasil yang diberikan sangatlah baik. Beberapa negara yang dimaksud adalah Korea Selatan, Filipina, Amerika Serikat, dan Tiongkok. 

Plasma konvalesen telah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat untuk diteliti lebih lanjut. Bahkan sebelumnya, terapi ini telah digunakan untuk menyembuhkan pasien SARS, MERS, hingga flu burung dan menunjukkan hasil yang baik. 

“Kita harapkan keberhasilannya tinggi. FDA juga sudah approve, sudah ada pengalaman penggunaan plasma untuk grup virus yang serupa di tahun-tahun sebelumnya.

Dan dari data-data pasien di Wuhan, Filipina, Korea, dan Amerika itu menunjukkan hasil yang baik. Kami pun sudah memasukkan terapi berstandar untuk penanganan virus ini,” kata Cosphiadi.

7. Jika penelitian menunjukkan hasil yang baik, plasma konvalesen akan disebarluaskan ke seluruh Indonesia

Terapi Plasma Konvalesen di Indonesia, Harapan Besar Melawan COVID-19guiadafarmacia.com.br

Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa jika nanti kondisi pasien langsung membaik, penelitian akan dihentikan dan langsung menjadi pelayanan untuk seluruh pasien COVID-19 bergejala berat. 

“Jadi tim peneliti RSCM/FKUI bekerja lintas institusi. Ada dengan PMI yang di dalamnya ada Pak JK (Jusuf Kalla) juga. Kita punya 15 unit transfusi di provinsi yang sudah disetujui oleh BPOM. Nantinya pengalaman dari RSCM/FKUI ini bisa dipromosikan menjadi standar pelayanan di seluruh Indonesia,” pungkasnya.

Cosphiadi juga sangat senang karena hingga Jumat (1/5), mereka telah menerima sekitar 150 telepon dari orang-orang yang ingin mendonorkan plasma darahnya. Dalam seminggu hingga sepuluh hari ke depan, screening plasma akan mulai dilakukan. 

"Di luar dugaan, antusiasme tinggi sekali. Padahal biasanya orang yang baru saja mengalami sakit berat itu mengalami pengalaman traumatis. Tapi kami berterima kasih atas kesediaan para pasien," kata Cosphiadi dengan lega.

Ia mengimbau para pasien COVID-19 yang sudah sembuh untuk menghubungi tim penelitian melalui contact person atas nama dr. William di nomor 081219973852, jika bersedia untuk turut andil dalam penelitian ini. 

Pembaca bisa membantu kelengkapan perlindungan bagi para tenaga medis dengan donasi di program #KitaIDN: Bergandeng Tangan Melawan Corona di Kitabisa.com (http://kitabisa.com/kitaidnlawancorona)

Baca Juga: Virus Corona Bermutasi? Ini 7 Gejala Tak Biasa COVID-19 dari WHO

Topik:

  • Izza Namira
  • Bayu D. Wicaksono
  • Bayu Aditya Suryanto
  • Nurulia

Berita Terkini Lainnya