Cuci Darah, CAPD, dan Cangkok, Mana Terapi Terbaik untuk Ginjal?

Semua punya kelebihan dan kekurangan masing-masing

Sebanyak 4,6 persen kematian global di tahun 2017 disebabkan oleh penyakit ginjal kronis (PGK). Angka ini diprediksi akan terus meningkat, bahkan diperkirakan menjadi penyebab kematian tertinggi kelima di seluruh dunia pada tahun 2040!

Bagaimana dengan Indonesia? Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, prevalensi PGK adalah 0,38 persen. Yang mengejutkan, penyebab utamanya adalah tekanan darah tinggi (hipertensi) dan kencing manis (diabetes).

Mengingat betapa pentingnya pengetahuan seputar edukasi ginjal, terutama tentang pilihan terapinya, Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) mengadakan virtual press conference pada Rabu (9/3/2022). Acara ini digelar untuk memperingati Hari Ginjal Sedunia atau World Kidney Day yang jatuh pada Kamis (10/3/2022).

Salah satu pembicara yang dihadirkan adalah dr. Aida Lydia, PhD, SpPD-KGH, Ketua Umum PERNEFRI. Mari simak pemaparannya!

1. Sebanyak 9 dari 10 orang dengan penyakit ginjal kronis tidak menyadari penyakitnya

Cuci Darah, CAPD, dan Cangkok, Mana Terapi Terbaik untuk Ginjal?ilustrasi penyakit ginjal kronik (ucsf.edu)

Berdasarkan data yang dipaparkan oleh dr. Aida, sebanyak 9 dari 10 orang yang memiliki PGK tidak menyadari penyakitnya. Kebanyakan pasien datang terlambat karena keluhan baru muncul ketika stadium lanjut. Tidak ada gejala pada stadium awal sehingga pasien berpikir bahwa dirinya sehat.

Mundur ke tahun 1990, PGK menjadi penyebab kematian tertinggi ke-17, lalu naik ke urutan 12 di tahun 2017. Pada tahun 2040 mendatang, PGK diprediksi menjadi penyebab kematian tertinggi kelima!

Peningkatan prevalensi PGK juga terjadi dalam skala nasional. Mengacu pada Riskesdas, kasus PGK di Indonesia pada tahun 2013 adalah 0,2 persen, kemudian menjadi 0,38 persen pada tahun 2018. Artinya, naik hampir dua kali lipat!

2. Hipertensi dan diabetes menjadi faktor risiko utama

Cuci Darah, CAPD, dan Cangkok, Mana Terapi Terbaik untuk Ginjal?ilustrasi mengukur tekanan darah (pexels.com/Pavel Danilyuk)

Setidaknya, ada empat faktor risiko utama PGK, yaitu hipertensi (34,1 persen), merokok (28,8 persen), obesitas (21,8 persen), dan diabetes (10,9 persen). Akan tetapi, yang di-highlight kali ini adalah hipertensi dan diabetes.

Mengutip Everyday Health, tekanan darah dan kadar gula darah yang tinggi bisa merusak pembuluh darah di seluruh tubuh, termasuk di ginjal. Akibatnya, pembuluh darah menjadi kurang efisien dalam menyaring darah. Jaringan ginjal pun kurang mendapatkan oksigen dan nutrisi yang cukup.

Jika memiliki hipertensi atau diabetes, pastikan dalam keadaan terkontrol. Tekanan darah yang ideal berkisar dari 90/60 mmHg hingga 120/80 mmHg. Sementara itu, kadar gula darah yang normal adalah di bawah 140 mg/dL.

3. Jika sudah stadium akhir, diperlukan terapi pengganti ginjal

Cuci Darah, CAPD, dan Cangkok, Mana Terapi Terbaik untuk Ginjal?ilustrasi hemodialisis (niddk.nih.gov)

Renal replacement therapy (RRT) merupakan terapi untuk menggantikan fungsi normal ginjal, yaitu menyaring darah. Pilihan terapi yang tersedia adalah hemodialisis (cuci darah), continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD), dan transplantasi atau cangkok ginjal.

Menurut dr. Aida, terapi pengganti ginjal yang terbaik adalah transplantasi ginjal. Outcome atau hasilnya pun lebih baik. Namun, donor ginjal yang tersedia sangat terbatas.

"Pasien di Indonesia paling banyak menjalani hemodialisis. Dari tahun ke tahun ada peningkatan, terutama setelah tahun 2014 karena (biayanya) sudah di-cover oleh BPJS Kesehatan. Proporsi pasien CAPD hanya 1 persen, sisanya menjalani hemodialisis," ungkapnya.

Ia memaparkan data mengenai jumlah orang yang menjalani hemodialisis dan CAPD di Indonesia. Di tahun 2019, pasien aktif hemodialisis jumlahnya 185.901 orang. Sementara, pasien CAPD hanya 2.442 orang di tahun yang sama. Jauh sekali perbedaannya, ya?

Baca Juga: Hancurkan Batu Ginjal Tanpa Radiasi, Lebih Aman dengan Metode Baru Ini

4. Dengan terapi CAPD, pasien tidak perlu sering datang ke RS

Cuci Darah, CAPD, dan Cangkok, Mana Terapi Terbaik untuk Ginjal?ilustrasi terapi CAPD (nkc.org.np)

Walau hanya dipakai oleh 1 persen pasien, CAPD adalah terapi pengganti ginjal yang paling portabel. Berbeda dengan cuci darah di mana pasien harus datang ke rumah sakit 2-3 kali dalam seminggu.

"CAPD bisa dilakukan di rumah secara mandiri, tidak perlu datang ke rumah sakit sehingga tidak kehilangan (banyak) waktu. Namun, tetap bisa mempertahankan fungsi ginjal," terang dr. Aida.

Menurutnya, CAPD cocok untuk negara kepulauan yang fasilitas kesehatannya belum memadai. Fungsinya sendiri untuk membuang limbah, zat kimia, dan cairan ekstra dari tubuh. Tetapi, mengapa pasien yang menggunakan CAPD masih sedikit?

Ini karena belum terdistribusi secara merata, SDM kesehatan terbatas, serta tidak semua punya sarana prasarananya. Yang paling utama adalah karena kurangnya pengetahuan tentang terapi tersebut, baik dari pasien maupun tenaga kesehatan.

5. Selain itu, pasien CAPD memiliki tingkat kelangsungan hidup yang lebih baik

Cuci Darah, CAPD, dan Cangkok, Mana Terapi Terbaik untuk Ginjal?ilustrasi pasien bahagia (kaliumtheme.com)

Dokter Aida mengatakan bahwa mortalitas atau kematian pada pasien yang memilih terapi CAPD lebih rendah daripada pasien hemodialisis. Terutama, pada 2–3 tahun pertama.

Studi pada 52.097 orang yang tinggal di Australia atau Selandia Baru turut menghasilkan temuan yang sama. Dilansir Healio News, pasien CAPD memiliki tingkat kelangsungan hidup yang lebih baik daripada pasien hemodialisis.

Peneliti mengamati bahwa tingkat mortalitas berkurang dari 15 kematian per 100 pasien pada 5 tahun pertama masa studi menjadi 11 kematian dalam 5 tahun terakhir masa studi. Penyebab kematian paling umum adalah penyakit kardiovaskular.

"CAPD merupakan pilihan yang tepat untuk pasien dengan gangguan jantung. Sedangkan (terapi) hemodialisis perlu hemodinamik yang stabil," tuturnya.

Baca Juga: Pasien Ginjal Kronis Tetap Bisa Hidup Berkualitas, Caranya?

Topik:

  • Nurulia

Berita Terkini Lainnya