Perubahan Hormonal Bisa Memicu Hipertensi pada Perempuan

Waspada ya, girls!

Hipertensi merupakan penyakit penyerta atau komorbid berbahaya bagi pasien yang terinfeksi virus penyebab COVID-19. Di masa pandemik, masyarakat dianjurkan untuk berinisiatif memantau tekanan darahnya sendiri secara teratur di rumah.

Akan tetapi, tidak banyak yang tahu kalau hipertensi pada perempuan itu unik, berbeda dengan laki-laki. Hipertensi pada perempuan berhubungan dengan berbagai perubahan hormonal yang dialami sepanjang siklus hidupnya.

Ini dibahas lebih detail dalam virtual press conference yang digelar oleh Indonesian Society of Hypertension (InaSH) pada Jumat (18/2/2022). Salah satu narasumber yang dihadirkan ialah dr. Siska Suridanda Dany, SpJP, FIHA (anggota Pokja Panduan Konsensus InaSH) yang membawakan materi tentang "Hipertensi pada Siklus Hidup Perempuan". Here we go!

1. Kasus hipertensi pada perempuan sedikit lebih tinggi dari laki-laki

Perubahan Hormonal Bisa Memicu Hipertensi pada Perempuanilustrasi hipertensi (pixabay.com/stevepb)

Mengacu pada Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, terdapat perbedaan angka kejadian hipertensi antar jenis kelamin. Perempuan dengan hipertensi berjumlah 36,9 persen, sedangkan laki-laki sebanyak 31,3 persen.

Menurut dr. Siska, kasus hipertensi pada usia dewasa muda didominasi oleh laki-laki. Sementara pada usia tua, justru lebih tinggi pada perempuan. Mengapa begitu?

"Hipertensi pada perempuan memiliki keunikan karena berhubungan dengan berbagai perubahan hormonal yang menyertai sepanjang siklus hidupnya. Siklus hidup perempuan dimulai dari masa kanak-kanak kemudian diikuti fase remaja, dewasa muda, menopause, serta usia tua. Dalam setiap fase, terdapat perubahan yang menempatkan perempuan pada risiko hipertensi serta komplikasinya," jelasnya.

2. Hipertensi dijumpai pada sekitar 10 persen kehamilan

Perubahan Hormonal Bisa Memicu Hipertensi pada Perempuanilustrasi hamil (pexels.com/Dominika Roseclay)

Hipertensi adalah suatu hal yang cukup umum dan dijumpai pada sekitar 10 persen kehamilan. Pada ibu, risikonya adalah pembekuan darah, gagal jantung, gagal ginjal, kejang, dan stroke, sedangkan risikonya pada bayi adalah kelahiran prematur, kerusakan plasenta, hingga pertumbuhan terhambat.

Menurut dr. Siska, yang paling berisiko adalah:

  • Ibu di bawah usia 20 tahun (terlalu muda) dan di atas usia 40 tahun (terlalu tua).
  • Memiliki riwayat hipertensi sebelumnya.
  • Kelebihan berat badan atau obesitas.
  • Memiliki diabetes melitus.
  • Hamil anak kembar.
  • Memiliki riwayat gangguan ginjal.
  • Mempunyai penyakit autoimun.

Karena itulah, perlu dilakukan langkah pencegahan. Misalnya dengan rajin olahraga, menerapkan pola makan rendah garam dan lemak, memiliki berat badan ideal, serta rutin memeriksakan kehamilan (antenatal care/ANC).

3. Dipengaruhi oleh obat kontrasepsi hormonal

Perubahan Hormonal Bisa Memicu Hipertensi pada Perempuanilustrasi pil kontrasepsi (pixabay.com/Anqa)

Banyak faktor yang memengaruhi terjadinya hipertensi, salah satunya adalah penggunaan kontrasepsi hormonal atau pil KB. Studi yang diterbitkan dalam Jurnal Dunia Kesmas tahun 2019 mencari tahu hubungan pemakaian kontrasepsi hormonal dengan kejadian hipertensi pada perempuan di Indonesia.

Hasilnya, perempuan yang memakai kontrasepsi hormonal memiliki risiko hipertensi 1,43 kali lebih besar daripada yang menggunakan kontrasepsi non-hormonal.

"Tekanan darah sebaiknya diperiksa sebelum dan setiap tiga bulan sesudah penggunaan pil kontrasepsi. Jika terjadi peningkatan tekanan darah, maka obat bisa diganti atau dihentikan. Umumnya, tekanan darah kembali normal setelah pil kontrasepsi dihentikan," ujar dr. Siska.

Baca Juga: Gagal Jantung dan Kematian bisa Dicegah dengan Kontrol Hipertensi

4. Tekanan darah umumnya meningkat saat menopause

Perubahan Hormonal Bisa Memicu Hipertensi pada Perempuanilustrasi lansia (unsplash.com/Nick Karvounis)

Seiring bertambahnya usia, hipertensi pada perempuan meningkat menjadi lebih tinggi daripada laki-laki, terutama saat menopause. Penyebab utamanya adalah hilangnya efek relaksasi pembuluh darah akibat kadar hormon estrogen yang turun.

Faktor lainnya adalah meningkatnya obesitas dan sindrom metabolik, perubahan sistem renin-angiotensin, inflamasi kronis, serta peningkatan sensitivitas terhadap garam.

"Fase menopause merupakan masa kehidupan yang kritis untuk terjadinya hipertensi serta penyakit jantung dan pembuluh darah pada perempuan," ungkap dr. Siska.

5. Pengobatan hipertensi pada perempuan tidak berbeda dengan laki-laki

Perubahan Hormonal Bisa Memicu Hipertensi pada Perempuanilustrasi minum obat (pexels.com/JESHOOTS.com)

Dokter Siska mengatakan bahwa semua obat hipertensi memberi manfaat yang sama, tidak memandang jenis kelamin. Namun, ada beberapa obat yang harus dihindari selama hamil karena berpotensi membahayakan janin.

Selain dengan obat, pasien hipertensi juga sangat dianjurkan untuk melakukan aktivitas fisik teratur karena bisa menurunkan risiko hipertensi, penyakit jantung, stroke, diabetes, osteoporosis, demensia, depresi, dan kanker hingga 20-30 persen. Selain itu, pola hidup sehat juga bisa membantu memperpanjang usia sekitar 3-5 tahun.

Sayangnya, berdasarkan studi yang dihelat oleh Stanford University, Amerika Serikat, Indonesia merupakan salah satu negara yang paling tidak aktif dengan 3.513 langkah kaki per hari. Untuk bisa dikategorikan aktif, seseorang harus berjalan 7.000-10.000 langkah per hari. Angka ini bersumber dari data smartphone 700.000 orang dari berbagai negara.

Baca Juga: Komorbid Tertinggi COVID-19, Pengidap Hipertensi Harus Lakukan Ini

Topik:

  • Nurulia

Berita Terkini Lainnya