Resistansi Antimikroba Menyebabkan 4,9 Juta Kematian Per Tahun

Penyebabnya adalah penggunaan antibiotik yang tidak tepat

Resistansi antimikroba atau antimicrobial resistance (AMR) masih menjadi ancaman kesehatan global. Ini adalah kondisi di mana bakteri, virus, jamur, dan parasit menjadi kebal terhadap obat-obatan yang diberikan.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menyatakan bahwa resistansi antimikroba bisa dikategorikan sebagai silent pandemic karena angka kematiannya cukup tinggi. Tidak main-main, resistansi antimikroba berpotensi menyebabkan sekitar 10 juta kematian pada tahun 2050!

Berangkat dari isu tersebut, Essity Indonesia mengadakan virtual media briefing dengan tema "Inovasi Sorbact Mencegah Resistansi Antimikroba dalam Perawatan Luka" pada Selasa (29/11/2022).

Acara diawali dengan sambutan dari Gustavo Vega, Commercial Director PT Essity Hygiene and Health Indonesia, lalu dilanjutkan dengan pemaparan dari dr. Harry Parathon, Sp.OG (K), Ketua Pusat Resistansi Antimikroba Indonesia (PRAINDO), dan Joice Simanjuntak, Marketing Director Essity Indonesia. Simak, yuk!

1. Apa itu resistansi antimikroba?

Menurut dr. Harry, resistansi antimikroba terjadi ketika bakteri, virus, jamur, dan parasit berubah dari waktu ke waktu dan tidak lagi merespons obat-obatan yang diberikan.  Akibatnya, infeksi menjadi lebih sulit untuk diobati serta meningkatkan risiko penyebaran penyakit dan kematian.

Resistansi antimikroba sebenarnya bukan hal yang baru. Pada tahun 1940-an, bakteri Staphylococcus aureus menunjukkan resistansi terhadap penisilin (antibiotik pertama yang ditemukan oleh Alexander Flemming).

"Untuk mempertahankan hidupnya, dia (bakteri) bermutasi untuk melawan antibiotik yang diberikan. Akhirnya, muncul antibiotic resistance. Perlu suatu teknologi, siasat, dan strategi untuk menghambat bakteri supaya tidak resistan," ungkapnya.

2. Ada 6 bakteri utama yang menyebabkan kematian tertinggi

Resistansi Antimikroba Menyebabkan 4,9 Juta Kematian Per Tahunilustrasi meninggal (pixabay.com/soumen82hazra)

Estimasi kematian akibat resistansi antimikroba adalah sekitar 4,9 juta jiwa per tahun. Bahkan, dr. Harry menyebut bahwa kematian akibat bakteri resistan lebih tinggi daripada kematian akibat COVID-19!

Berdasarkan studi yang dipublikasikan dalam jurnal The Lancet pada tahun 2022, ada 6 bakteri utama yang merupakan penyebab kematian tertinggi, yaitu Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumoniae, Streptococcus pneumoniae, Acinetobacter baumannii, dan Pseudomonas aeruginosa.

Baca Juga: Resistensi Antimikroba, Tantangan Global yang Perlu Segera Diatasi

3. Penyebab utamanya adalah penggunaan antibiotik yang tidak tepat

Sekitar 70-80 persen antibiotik digunakan dengan tidak tepat. Misalnya, mengonsumsi antibiotik tanpa indikasi, tidak menghabiskan antibiotik yang diresepkan, atau justru berlebihan (overuse). Hal-hal tersebut bisa menyebabkan resistansi antibiotik.

Jangan anggap sepele resistansi antibiotik karena hal tersebut bisa menyebabkan infeksi aliran darah, infeksi saluran kemih, infeksi pada luka atau daerah operasi, dan pneumonia. Selain membuat pasien dan keluarganya stres, juga memperpanjang waktu perawatan, berisiko menular ke pasien lain, memerlukan obat atau tindakan tambahan, meningkatkan biaya pengobatan, hingga meningkatkan risiko kematian.

4. Perawatan luka dengan Sorbact bisa mencegah resistansi antimikroba

Resistansi Antimikroba Menyebabkan 4,9 Juta Kematian Per Tahunilustrasi luka (pixabay.com/SoFuego)

Berbeda dengan balutan lain yang aktif membunuh mikroba, balutan dengan teknologi Sorbact terbuat dari dialkylcarbamoyl chloride yang bersifat hidrofobik dan bisa mengangkat mikroba tanpa membunuhnya. Dengan demikian, jumlah mikroba di permukaan luka berkurang dan mempercepat proses penyembuhan luka. Mengapa mikroba sebaiknya tidak dibunuh?

"Ketika mikroba terbunuh, dinding selnya akan pecah dan keluar endotoksin. Dalam jumlah banyak, bisa mengakibatkan inflamasi pada luka," Joice menjelaskan.

Penelitian menunjukkan bahwa Sorbact tidak menyebabkan resistansi antimikroba. Selain itu, Sorbact mampu menurunkan kejadian infeksi daerah operasi hingga 65 persen dan memiliki risiko alergi yang rendah.

Sorbact bisa digunakan oleh hampir semua kalangan, termasuk bayi baru lahir serta perempuan hamil dan menyusui. Bukan hanya itu, juga bisa dipakai pada luka pascaoperasi, luka diabetes, dan luka tekan akibat tirah baring (bed rest).

Baca Juga: Resistensi Antimikroba Jadi Persoalan Serius, Apotek dan Toko Obat Perlu Kontrol Pemberian Antibiotik  

Topik:

  • Fatkhur Rozi

Berita Terkini Lainnya