Viral Tradisi Gebrak Bayi, Jangan Ikut-ikutan Bisa Bahaya!

Katanya agar bayi nantinya tidak mudah kaget

Beredar video viral di media sosial yang menampakkan seorang bayi berusia 9 hari dikagetkan dengan menggebrak area sekitarnya. Katanya, sih, ini merupakan suatu tradisi dari masyarakat Jawa. Prosesi ini diklaim bisa membuat bayi tidak mudah kaget saat dewasa.

Bayi tersebut diletakkan di atas kasur, kemudian seorang perempuan menggebrak sekeliling dekat bayi menggunakan benda yang dilapisi kain. Dalam video tersebut, terlihat bayi kaget mendengar suara pukulan kasur yang keras.

Lantas, apakah tradisi gebrak bayi aman atau malah berpotensi bahaya buat bayi? Pembahasannya bisa kamu baca di bawah ini.

1. Kagetnya bayi adalah bentuk dari refleks Moro

Viral Tradisi Gebrak Bayi, Jangan Ikut-ikutan Bisa Bahaya!ilustrasi ibu bermain dengan bayinya (pexels.com/RDNE Stock project)

Bayi yang sehat dilahirkan dengan respons motorik dasar, dikenal sebagai refleks bayi baru lahir, yang membantu mereka bertahan dan berkembang di lingkungan baru mereka.

Beberapa dari refleks bayi ini mungkin tidak kentara, sementara yang lain, seperti refleks Moro (alias refleks terkejut atau refleks kaget), cukup sulit untuk dilewatkan. Namun, semuanya semua refleks tersebut penting dan cenderung memiliki tujuan khusus. Itulah kenapa dokter anak akan memeriksa refleks bayi pada pemeriksaan pertama bayi satu atau dua hari setelah ia lahir, seperti dijelaskan dalam laman What to Expect.

Refleks Moro adalah respons pada bayi baru lahir terhadap sesuatu yang tidak terduga, misalnya suara keras atau sensasi jatuh (misalnya saat diangkat dari tempat tidur). Ini sering terjadi saat bayi sedang tidur, tetapi bisa juga saat bayi terjaga.

Saat mengalami refleks kaget ini, bayi secara tiba-tiba akan melengkungkan punggungnya, mengayunkan lengannya ke atas dan ke luar, serta membuka tangannya. Kemudian, bayi akan menangkat lututnya dan mendekatkan lengan dan kepalan tangan ke tubuhnya, seolah ia berusaha untuk memeluk dirinya sendiri. Beberapa detik kemudian, refleks tersebut akan berhenti dan bayi setelahnya mungkin akan menangis.

Walaupun tangis bayi bisa sangat kencang, tetapi tidak perlu khawatir karena ini sama sekali tidak mengganggu bayi dan merupakan indikasi bahwa ia sehat dan berkembang sebagaimana mestinya. Anggaplah ini sebagai upaya pertama bayi yang baru lahir untuk melindungi dirinya sendiri.

Kadang bayi bisa terkejut sendiri saat bangun atau karena tangisannya sendiri, dan kemudian kesulitan menenangkan sendiri dirinya (bahkan kadang membuatnya menangis kencang). Akan tetapi, bayi sering kali tidak terganggu sama sekali dan akan langsung tertidur kembali, seolah tidak terjadi apa-apa.

Menurut Stanford Medicine, refleks Moro biasanya berlangsung hingga bayi berusia sekitar 2 bulan. 

2. Apa yang terjadi jika bayi sengaja dikagetkan seperti tradisi yang viral tersebut?

Viral Tradisi Gebrak Bayi, Jangan Ikut-ikutan Bisa Bahaya!ilustrasi bayi menangis (pexels.com/Leonardo Luz)

Lantas, apa yang bisa terjadi kalau bayi sengaja dikagetkan seperti yang ditunjukkan dalam video viral tersebut?

Ternyata, ada risiko bayi mengalami trauma.

Dijelaskan dalam laman Better Health Channel, bayi dan balita sangat bergantung pada keluarga dan orang tuanya untuk merasa aman. Mereka butuh pengasuhan emosional melalui interaksi yang penuh kasih dan menenangkan, serta butuh bantuan untuk mengatasi berbagai keadaan secara berkelanjutan dan konsisten. Beginilah cara bayi dan balita tumbuh dan berkembang.

Selama bulan dan tahun awal mereka, bayi sangat sensitif terhadap hal-hal ini:

  • Masalah yang memengaruhi orang tua atau pengasuh utama mereka, yang mungkin termasuk ketakutan, kesedihan, atau kewalahan.
  • Perpisahan orang tua atau pengasuh mereka, misalnya ketidakhadiran karena cedera atau faktor lain yang terkait dengan trauma. Ini bisa memiliki dampak ganda, berupa tekanan dari pemisahan itu sendiri dan rasa tidak aman karena harus menghadapi sesuatu tanpa keamanan, pemahaman, dan pengasuhan yang diberikan pengasuh mereka. Keduanya dapat memperlambat pemulihan dan meningkatkan dampak trauma.
  • Hal-hal yang terjadi di rumah. Bayi dan balita terdampak oleh suara keras atau kebisingan, kesengsaraan, atau rutinitas yang campur aduk yang membuat mereka tidak yakin terhadap apa yang akan terjadi selanjutnya.
  • Gangguan pada pengembangan ikatan atau hubungan dekat dengan orang tua mereka atau kurangnya pemahaman orang tua. Trauma terkadang dapat menghalangi dan membuat pembentukan ikatan ini menjadi lebih sulit.

Jika salah satu dari hal-hal di atas terjadi, penting untuk memikirkan efeknya pada bayi. Jika keluarga atau perawatan primernya terdampak, bayi mungkin juga terpengaruh.

Baca Juga: Lebih dari 35 Ribu Bayi Tertular Hepatitis akibat Perilaku Berisiko

3. Ada pula risiko bayi mengalami baby shaken syndrome

Viral Tradisi Gebrak Bayi, Jangan Ikut-ikutan Bisa Bahaya!ilustrasi ibu bermain dengan bayinya (pexels.com/Monica Turlui)

Bayi yang mendapatkan getaran kencang secara tiba-tiba juga bisa berisiko mengalami shaken baby syndrome (SBS). Ini merupakan cedera otak serius akibat mengguncang bayi atau balita terlalu kencang atau dengan paksa. Kondisi ini juga dikenal sebagai abusive head trauma, shaken impact syndrome, inflicted head injury, atau whiplash shaken infant syndrome. Mungkin hanya diperlukan satu atau dua guncangan keras untuk melukai bayi secara serius.

Bayi memiliki otot leher yang lemah dan tidak dapat menopang berat kepalanya. Jika bayi diguncang dengan paksa, otaknya yang rapuh bergerak bolak-balik di dalam tengkorak. Ini menyebabkan memar, bengkak, dan pendarahan, mengutip Mayo Clinic.

SBS biasanya terjadi ketika orang tua atau pengasuh mengguncang bayi atau balita dengan keras karena frustrasi atau kemarahan, sering kali karena bayi tidak berhenti menangis. SBS biasanya tidak disebabkan oleh tindakan seperti melambungkan bayi di atas lutut atau jatuh ringan.

Gejala bayi yang mengalami SBS antara lain:

  • Sangat rewel atau lekas marah.
  • Kesulitan untuk tetap terjaga.
  • Masalah pernapasan.
  • Nafsu makan yang buruk.
  • Muntah.
  • Kulit pucat atau kebiruan.
  • Kejang.
  • Kelumpuhan.
  • Koma.

Meskipun terkadang ada memar di wajah, tetapi orang tua atau pengasuh tidak melihat tanda-tanda cedera fisik di bagian luar tubuh anak. Cedera yang mungkin tidak langsung terlihat antara lain pendarahan di otak dan mata, kerusakan saraf tulang belakang, serta patah tulang rusuk, tengkorak, kaki, dan tulang lainnya. Banyak bayi dengan SBS menunjukkan tanda dan gejala pelecehan anak sebelumnya.

Dalam kasus ringan SBS, seorang bayi mungkin tampak normal setelah diguncang, tetapi seiring waktu mereka dapat mengalami masalah kesehatan atau perilaku.

4. Satu lagi, ada risiko bayi mengalami gangguan pendengaran

Viral Tradisi Gebrak Bayi, Jangan Ikut-ikutan Bisa Bahaya!ilustrasi bayi baru lahir (pexels.com/Alicia)

Menggebrak atau memukul-memukul sesuatu di dekat bayi bisa menimbulkan suara keras, dan ini pun bisa menimbulkan risiko pada bayi.

Dijelaskan dalam laman National Health Service, bayi dan anak kecil lebih sensitif terhadap suara keras. Saluran telinga mereka lebih kecil sehingga tekanan suara yang dihasilkan lebih besar dibandingkan dengan orang dewasa. Dengan kata lain, suara keras bahkan terdengar lebih keras untuk anak-anak.

Kemungkinan bahaya pendengaran untuk anak-anak antara lain:

  • Mainan dengan bunyi yang keras.
  • Volume TV.
  • Volume perangkat elektronik seperti HP atau tablet.
  • Suara petasan atau kembang api.
  • Acara seperti festival, acara olahraga, dan konser.
  • Mesin white noise. Lama waktu bayi terpapar suara harus diperhatikan. Jika kamu menggunakan mesin atau aplikasi tidur bayi, uji coba suaranya sebelum digunakan untuk memastikan suara yang dikeluarkan tidak terlalu keras.

Berapa tingkat desibel yang aman untuk bayi?

Sebagai aturan praktis, bayi jangan sampai terpapar kebisingan dengan tingkat lebih dari 60 desibel (dB). Tingkat kebisingan yang direkomendasikan untuk di tempat perawatan bayi di rumah sakit lebih rendah, yaitu 50 dB. Sebagai referensi, percakapan yang tenang adalah antara 50 dan 55 dB dan jam alarm adalah 80 dB.

Namun, suara tidak sesederhana kedengarannya. Suara diukur dalam dB, yang bukan skala linier. Ini adalah skala logaritmik. Artinya, suara 100 dB sebenarnya dua kali lebih keras dari suara 90 dB.

Bahkan, suara sehari-hari bisa terlalu keras untuk bayi. Di bawah ini rentang paparan harian yang dianggap berlebihan untuk anak-anak oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO).

  • Suara di rumah: 50–80 dB
  • Peralatan rumah tangga: 78–102 dB
  • Suara di inkubator: 60–75 dB, suara puncak 120 dB
  • Suara di rumah sakit: >70 dB
  • Suara di tempat penitipan anak: 75–81 dB
  • Suara puncak dari mainan: 79–140 dB
  • Suara latar belakang bising di sekolah: 46,5–77,3 dB

Masalah yang dapat ditimbulkan oleh suara keras dapat memengaruhi lebih dari sekadar pendengaran mereka. Penelitian menunjukkan bahwa melebihi tingkat kebisingan di atas batas aman untuk bayi dan anak-anak juga dapat memengaruhi kesehatan psikologis mereka, dilansir Decibel Pro.

Video tradisi gebrak bayi yang viral ini memunculkan kekhawatiran pada beberapa orang. Prosesi ini diklaim bisa membuat bayi tidak mudah kaget saat dewasa. Akan tetapi, perlu diingat bahwa bayi baru lahir yang terlihat kaget ini menunjukkan refleks Moro, misalnya karena suara keras atau sensasi jatuh. Refleks kaget ini biasanya hilang sendiri dalam beberapa bulan.

Baca Juga: Cuaca Panas Ekstrem Tingkatkan Risiko Kematian Bayi secara Mendadak

Topik:

  • Nurulia
  • Delvia Y Oktaviani

Berita Terkini Lainnya