[REVIEW] Film Tigers, Ekspos Sisi Kelam Industri Olahraga

Soroti lemahnya perhatian kesehatan mental untuk atlet 

Bukan rahasia lagi kalau olahraga sudah adalah ladang bisnis yang subur. Sponsor yang bertaburan sudah pasti berbanding lurus dengan nilai yang ditransaksikan. Glorifikasi terhadap tim dan atlet pun tak bisa dibendung. Namun, ini sebanding pula dengan tekanan dan kritik pedas yang menghujani kala mereka tampil buruk. 

Sayang, dua sisi yang bertolakbelakang dari industri olahraga ini jarang diekspos berimbang di layar televisi. Audiens hanya disuguhi kemegahan pertandingan dan kegembiraan kemenangan, tanpa tahu apa yang terjadi di balik layar.

Hal tersebut coba didobrak sineas Ronnie Sandahl lewat film bertajuk Tigers (2020). Diadaptasi dari biografi mantan pesepakbola Swedia, Martin Bengtsson, Tigers bakal mengajakmu menyelami kehidupan di balik layar para atlet tim elite dunia yang tak sepenuhnya indah. 

1. Mengikuti kehidupan Martin Bengtsson sejak dikontrak Inter Milan pada usia 16 tahun 

[REVIEW] Film Tigers, Ekspos Sisi Kelam Industri Olahragafilm Tigers (dok. Studio Soho/Tigers)

Ronnie Sandahl membuka filmnya dengan memperkenalkan penonton pada sosok remaja berkepala plontos yang sedang makan siang dengan pria lebih tua. Suasananya hangat dan penuh optimisme. Sandahl baru membocorkan sosok keduanya lewat potongan surat kabar. 

Dari situ, penonton akhirnya tahu bahwa sang remaja bernama Martin Bengtsson. Pesepakbola prodigy asal Swedia yang bersiap menjemput mimpinya bermain sepak bola untuk klub elite Inter Milan. Ia meninggalkan kampung halaman, keluarga, teman, dan sekolahnya untuk itu. Pengorbanan besar untuk seorang bocah belia. 

Baca Juga: [REVIEW] A Summer's Tale, Kisah Cinta Back Burner yang Bikin Geram

2. Jauh dari kata uplifting, film ini berubah suram sejak Bengtsson masuk ke asrama pemain muda

[REVIEW] Film Tigers, Ekspos Sisi Kelam Industri Olahragafilm Tigers (dok. Danish Film Institute/Tigers)

Momen uplifting berubah seketika Bengtsson mendarat di Milan, Italia. Sandahl dengan cermat menempatkan kamera lekat-lekat di wajah aktor utama pilihannya, Erik Enge. Ia seakan hendak menekankan betapa intimidatifnya momen tersebut, ketika seorang remaja berada di satu ruangan penuh pria dewasa. 

Tensi film tak berhenti di situ. Bengtsson kemudian diantar ke sebuah asrama untuk tinggal bersama pemain-pemain muda lain. Ia mencoba menuntut beberapa poin penting yang tercantum dalam kontrak, seperti kamar pribadi dan kursus bahasa Italia. Namun, itu semua hanya ditanggapi santai oleh staf yang mendampinginya. 

Ketidaknyamanan Bengtsson makin terasa ketika teman-teman satu asramanya bersikap cuek. Bahkan terlihat jelas tak menyukai kehadirannya. Dari sini, budaya bullying dan persaingan kotor mulai diekspos Sandahl. Itu seperti kritik pedas untuk segala ocehan dan slogan soal sportivitas dalam olahraga. 

Nyatanya, bocah-bocah remaja yang terjun dalam industri sepak bola dan olahraga pada umumnya tahu betul bahwa mereka adalah aset yang disposable (bisa tergantikan). Tekanan ini tentu berdampak besar pada mentalitas dan pembentukan kepribadian mereka. 

3. Soroti minimnya perhatian terhadap kesehatan mental para atlet 

[REVIEW] Film Tigers, Ekspos Sisi Kelam Industri OlahragaErik Enge dalam film Tigers. (dok. Studio Soho/Tigers)

Tak hanya tekanan dari sesama pemain muda, Bengtsson dalam film Tigers juga dapat banyak tuntutan dari staf dan pelatih. Orang-orang dewasa dalam industri itu dipotret sebagai sosok yang sebenarnya haus uang, tetapi dilakukan dengan modus-modus terselubung. Ini terlihat dari cara mereka memberikan tekanan psikis pada pemain dengan kedok wejangan dan motivasi. 

Sandahl mempertontonkan bagaimana budaya bullying dianggap lumrah dan bahkan dilakukan orang-orang dewasa dalam tim. Seakan jadi tamparan untuk semua pegiat industri olahraga yang kemungkinan besar tak pernah melirik esensi kesehatan mental untuk para atletnya. 

Sikap abai terhadap kesehatan mental para atlet tidak hanya dilakukan jajaran klub. Media dan penggemar seringkali memberikan tekanan yang sama hebatnya. Apalagi dengan invasi media sosial, cyber-bullying jadi lebih mudah dilakukan. Sekalinya tampil buruk, penggemar dan media bisa langsung melontarkan hujatan seketika itu. 

Pengalaman Bengtsson mungkin tidak dialami semua pemain sepak bola. Namun, bukan berarti ini tidak pernah terjadi. Ada banyak Bengtsson lain di luar sana yang memilih untuk tidak membagikan pengalamannya dan menyimpan sendiri trauma mereka. 

Baca Juga: The Little Mermaid, Momen Pembuktian Seorang Halle Bailey

Dwi Ayu Silawati Photo Verified Writer Dwi Ayu Silawati

Pembaca, netizen, penulis

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Naufal Al Rahman

Berita Terkini Lainnya