Review A Head Full of Dreams: Kisah Coldplay Menuju Panggung Dunia

#ReviewFilm Tak hanya menghibur namun juga sangat intim

Ketika sutradara Matt Whitecross membuka film dengan rekaman video (footage) keempat personel Coldplay berjalan di lorong sempit sebelum memasuki panggung–disertai voice-over  Chris Martin yang berpesan: "Jangan buka filmnya dengan footage kami memasuki panggung!"– saya sudah menduga dokumenter ini akan jadi tontonan yang menghibur dan lucu.

Namun, apakah substansi dokumenter akan dikorbankan demi menghibur dan lucu?

Coldplay: A Head Full Of Dreams adalah film dokumenter yang menyajikan 20 tahun perjalanan Chris Martin, Guy Berryman, Jonny Buckland, dan Will Champion dari band yang awalnya cuma rekaman demo di kamar asrama mahasiswa menjadi Coldplay, band rock yang mengisi penuh stadion tiap kali mereka konser.

1. Coldplay: AHFOD merupakan hasil dari "syuting" selama dua dekade

https://www.youtube.com/embed/Lhzu6bQxFo4

Kesan takjub yang penonton rasakan tentu saja kepada arsip video Whitecross. Sutradara sekaligus teman bagi anggota Coldplay ini sudah hadir sejak band asal Inggris itu masih bernama Starfish.

Ketekunannya mengabadikan momen-momen spesial Coldplay–latihan dan gigs pertama, ganti nama, teken kontrak rekaman dan ribuan konser–baru berbuah manis dua dekade kemudian saat A Head Full of Dreams, tanpa saya sangka, menjadi dokumenter yang tak hanya menghibur namun juga sangat intim.

Baca Juga: 10 Lagu Coldplay yang Enak Banget Buat Didengerin Sebelum Tidur

2. Berisi footage yang belum pernah dirilis sebelumnya

Review A Head Full of Dreams: Kisah Coldplay Menuju Panggung DuniaTrafalgar Releasing

Dokumenter musik dengan judul yang sama dengan nama album atau tur biasanya hanya berisi penampilan band di atas panggung yang diselingi dengan wawancara seadanya dan kejadian-kejadian konyol selama perjalanan.

Whitecross dan Coldplay membuang jauh-jauh format "set list yang didokumentasikan" tersebut. Lagi-lagi, berkat koleksi footage yang kaya, penonton justru disuguhi dengan narasi yang runut, wawancara yang berisi refleksi diri anggota band tanpa meninggalkan status Coldplay sekarang sebagai band megah dengan musik dan aksi panggung yang berwarna.

Beberapa footage bahkan terlalu "ajaib" untuk dipercaya. Seperti saat Martin berkata pada kamera di tahun 1998, "Kami akan jadi band yang luar biasa besar! Kami akan ditayangkan televisi nasional dalam waktu empat tahun. Empat tahun!" Dan bang, empat tahun dan tiga hari kemudian mereka tampil di Glastonbury Festival sebagai artis utama.

3. Kisah perjalanan band (dan sedikit drama personel) jadi daya tarik utama

Review A Head Full of Dreams: Kisah Coldplay Menuju Panggung DuniaTrafalgar Releasing

Tak bisa dimungkiri kalau film ini menempatkan Martin sebagai suara utama dari Coldplay. Terlepas dari posisinya sebagai penyanyi, dia memang diberkati dengan skill komunikasi yang sedikit lebih baik daripada rekan seband lainnya. Dia bisa bercanda, serius, jujur, bahkan agak puitis dalam menyampaikan pandangannya.

Penyanyi berusia 41 tahun itu jadi sorotan hampir di setiap frame, terutama ketika film menceritakan hubungannya dengan aktris Gwyneth Paltrow, yang harus diakui anggota band, mengalihkan perhatian publik dari musik dan karya mereka.

Meski begitu, film ini bukan soal si vokalis semata. Penyampaian cerita justru makin hidup saat Berryman, Buckland, dan Champion ikut mengisahkan perjalanan mereka dari sudut pandang masing-masing. Di luar footage video yang seabrek, rekaman suara wawancara memang menjadi alat storytelling utama sutradara untuk membangun narasi film.

Saking padatnya wawancara yang menyertai tiap footage, penonton pasti akan kesulitan membedakan tiap-tiap suara jika tidak ada tulisan siapa yang sedang bicara di layar.

4. Sebuah band yang menjadi "keluarga"

Review A Head Full of Dreams: Kisah Coldplay Menuju Panggung DuniaTrafalgar Releasing

Kekuatan utama A Head Full of Dreams adalah usaha Coldplay untuk menyatakan bahwa kesuksesan mereka hadir berkat keragaman watak yang ada di dalam band, manajemen dan kru. Meski berbeda pandangan, mereka selalu satu. Seperti keluarga. 

Bahkan, tidak jarang Coldplay menyebut diri mereka "kami berlima" untuk menggambarkan bahwa Phil Harvey–teman semasa kuliah yang sempat menjadi manager Coldplay– juga bagian dari "keluarga" tersebut.

Akan tetapi kekuatan pesan ini bisa jadi kelemahan bagi film. Kesan "keluarga" menjadi semacam berlebihan dan overused di dalam film. Bukan tidak mungkin jika pesan ini dianggap sebagai bentuk eksklusifitas oleh jutaan penggemar yang juga ingin menjadi bagian dari keluarga tersebut.

Selain dari kritik di atas, Coldplay: A Head Full of Dreams merupakan film yang sangat menghibur dan tidak akan membuang waktu penonton, baik dia penggemar maupun bukan. Rating 3/5 cocok untuk menggambarkan kualitas dokumenter ini.

Baca Juga: Ini Daftar 10 Lagu Coldplay Terpopuler, Favoritmu yang Mana?

Topik:

  • Yogie Fadila
  • Erina Wardoyo

Berita Terkini Lainnya