Survei SMRC:Pelaksanaan Kebijakan Belajar Online Masih Jauh dari Ideal

Adanya pandemik memunculkan tantangan ganda

Webinar Survei SMRC bertajuk 'Asesmen Publik tentang Pendidikan Online di Masa COVID-19' telah diselenggarakan pada Selasa (18/8/2020) Pukul 13.00-16.00 WIB. Acara ini dipandu oleh Saidiman Ahmad sebagai moderator dengan melibatkan beberapa narasumber yang di antaranya adalah Tati D. Wardi, Totok Suprayitno, Hetifah Sjaifudian, dan Dorita Setiawan. 

Mendiskusikan perihal temuan tentang kekurangan dan kelebihan dari pembelajaran daring selama masa pandemik, narasumber dengan peran yang beragam memaparkan tanggapannya serta solusi yang perlu dilakukan oleh pemerintah. Berikut hasil singkat dari diskusi yang telah dirangkum oleh IDN Times. 

1. Hasil survei menyebutkan ada 20 persen warga yang punya anggota keluarga sekolah atau kuliah tidak memiliki akses internet

Survei SMRC:Pelaksanaan Kebijakan Belajar Online Masih Jauh dari IdealTati D. Wardi, Manajer Kebijakan Publik SMRC pada Webinar Survei SMRC: Asesmen Publik tentang Pendidikan Online di Masa COVID-19. 18 Agustus 2020. IDN Times/Fajar Laksmita

Tati D. Wardi selaku Manajer Kebijakan Publik SMRC (Saiful Mujani Research & Consulting) memaparkan hasil survei Asesmen Publik tentang Pendidikan Online di Masa COVID-19. Salah satu kesimpulan menyebutkan bahwa ada 20 persen warga yang punya anggota keluarga masih sekolah atau kuliah tidak memiliki akses internet. 

Survei SMRC:Pelaksanaan Kebijakan Belajar Online Masih Jauh dari IdealSaifulmujani.com

Selanjutnya apabila dikaitkan dengan data demografi, kelompok perempuan, warga pedesaan, warga berpendidikan rendah, dan warga tinggal di Maluku dan Papua adalah kelompok warga yang merasakan berat dengan biaya sekolah online. Kelompok ini juga merasa kondisi ekonomi rumah tangganya sekarang jauh lebih buruk dibanding sebelum wabah COVID-19. 

Hasil survei ini menunjukkan bahwa ada kesenjangan yang menyolok akan akses internet. Terutama terkait kebutuhan warga untuk keberlangsungan pembelajaran di masa COVID-19. 

2. Ada subjek atau mata kuliah yang membutuhkan penanganan khusus karena saat pembelajaran daring tidak terpenuhi

Survei SMRC:Pelaksanaan Kebijakan Belajar Online Masih Jauh dari IdealDorita Setiawan, Manager of Institutional Research and Effectiveness at Sampoerna University pada Webinar Survei SMRC: Asesmen Publik tentang Pendidikan Online di Masa COVID-19. 18 Agustus 2020. IDN Times/Fajar Laksmita

Melalui pembelajaran daring, siswa diharapkan untuk tidak duduk di depan komputer selama 4-5 jam terus. Pertemuan melalui online adalah salah satu cara yang bisa dilakukan sekolah dalam proses pembelajaran jarak jauh. Hal yang terpenting di sini  bagaimana siswa atau mahasiswa ikut serta dalam proses pembelajaran secara mandiri. 

Dorita Setiawan, Manager of Institutional Research and Effectiveness at Sampoerna University menuturkan perihal LMS (Learning Management System) yang dimiliki oleh Sampoerna University. Dari awal pihaknya sudah memiliki sistem bagaimana mengatur dan memastikan mahasiswa yang bermasalah selama mengalami pembelajaran daring, hingga apa saja yang harus dilakukan.

Ia menambahkan, "Kita gak hanya bicara tentang silabus, tapi apa yang menjadi kebutuhan mahasiswa ketika belajar. Pada COVID-19 ini, fungsi yang paling tinggi pada LMS adalah kita tahu mana mahasiswa yang bermasalah kemudian dilakukan konseling dan tutoring. Dari perkuliahan daring, ada yang membutuhkan penanganan khusus karena subjek atau mata kuliah saat daring tidak terpenuhi", ujar Dorita.

Hal yang terpenting menurutnya adalah bagaimana mahasiswanya bisa ikut serta dalam proses belajar dan bagaimana mahasiswa bisa mandiri. Melalui LMS, ia memiliki track secara personal, pihak kampus sudah secara institusional memberi pengawasan secara berkala. Namun tentu saja ketika ada pandemik secara tiba-tiba, pihaknya harus melakukan banyak adaptasi. 

3. Pandemik memunculkan tantangan ganda di ranah pendidikan, yaitu pada persoalan kurikulum serta bagaimana siswa memperoleh pembelajaran

Survei SMRC:Pelaksanaan Kebijakan Belajar Online Masih Jauh dari IdealSaifulmujani.com

Menilik tentang banyaknya kasus pelajar yang masih kesulitan memperoleh akses layanan internet dan hardware, Dorita Setiawan lantas menuturkan bahwa tugas ranah pendidikan pada masa pandemik ini menjadi berganda.

Ia menjelaskan, "Saya ingin mengatakan bahwa pandemik ini mendatangkan tantangan yang berganda, tidak hanya kurikulum tapi juga bagaimana mahasiswa mendapatkan pembelajaran yang dibutuhkan. Kami melakukan training berkala untuk mengetahui cara menyajikan pembelajaran sederhana yang detail tapi juga bisa dilakukan mahasiswa. Pembelajaran itu tidak selalu dilaksanakan melalui internet." 

dm-player

Akademisi ini juga menekankan bahwa online learning tidak mampu menggantikan pertemuan pembelajaran secara bertatap muka langsung. Namun apa pun keputusan dari pemerintah atau sekolah dalam membuka atau menutup sekolah, maka harus diperhatikan secara komprehensif. 

Baca Juga: 55 Persen Sekolah di Zona Hijau Belum Siap Hadapi New Normal

4. Perlu adanya langkah upaya lebih jauh yang meringankan biaya pembelajaran online, yang mana mayoritas berasal dari pulsa

Survei SMRC:Pelaksanaan Kebijakan Belajar Online Masih Jauh dari IdealHetifah Shaifudian, Anggota DPR-RI Komisi X pada Webinar Survei SMRC: Asesmen Publik tentang Pendidikan Online di Masa COVID-19. 18 Agustus 2020. IDN Times/Fajar Laksmita

Hasil temuan survei dari warga yang memiliki anggota keluarga sekolah atau kuliah online menyebutkan mayoritas 67 persen merasa sangat atau cukup berat membiayai sekolah atau kuliah online. Sekitar 47 persen dari mereka mengeluarkan biaya internet lebih dari Rp100 ribu per bulan untuk belajar atau kuliah online. 

Hetifah Shaifudian, Anggota DPR-RI Komisi X, memaparkan beberapa evaluasi perihal pembelajaran jarak jauh di masa pandemik. "Perlu adanya upaya-upaya lebih jauh yang meringankan biaya pembelajaran online, yang mayoritas berasal dari pulsa", terang beliau. 

Survei SMRC:Pelaksanaan Kebijakan Belajar Online Masih Jauh dari IdealSaifulmujani.com

Selain itu, ia memaparkan bahwa perlu adanya evaluasi dari program pemerintah yang meringankan seperti fleksibilitas BOP/BOS, penambahan KIP, dan lain-lain. Pihaknya juga menganjurkan keterlibatan Pemda dalam pendataan tepat sasaran, by name by address, untuk siswa yang memerlukan bantuan akses internet ini. 

5. Salah satu solusi dari masalah yang timbul pada pembelajaran secara online adalah dengan meringkas kurikulum nasional agar lebih adaptif

Survei SMRC:Pelaksanaan Kebijakan Belajar Online Masih Jauh dari IdealTotok Suprayitno, Kabalitbang Kemendikbud pada Webinar Survei SMRC: Asesmen Publik tentang Pendidikan Online di Masa COVID-19. 18 Agustus 2020. IDN Times/Fajar Laksmita

"Kita buat kurikulum nasional yang harus kita ringkas. Anak-anak SD kita berikan modul pembelajaran untuk anak, orangtua, dan guru. Harapannya terjadi tiga pihak yang saling komunikasi. Modul orangtua adalah untuk bagaimana komunikasi dengan guru, modul untuk guru adalah untuk melaporkan perkembangan anak didik. Selanjutnya mendampingi anak belajar itu penting dan bisa diterapkan kembali", papar Totok Suprayitno selaku Kalitbang Kemendikbud. 

Selanjutnya ia menerangkan bahwa keputusan membolehkan tatap muka untuk zona hijau dan kuning bukanlah keputusan yang ringan. Ada beberapa daftar kesepakatan yang harus dipenuhi seperti persetujuan elemen dari Pemda, Pemprov, Kabupaten, pihak sekolah terkait, hingga orangtua. Masih banyak filter lanjutannya, termasuk mencari keseimbangan dalam dimensi kesehatan dan keselamatan siswa.

6. Pendidik diharapkan membuat mapping dan sharing dengan sekolah lain perihal media pembelajaran saat daring

Survei SMRC:Pelaksanaan Kebijakan Belajar Online Masih Jauh dari IdealWebinar Survei SMRC: Asesmen Publik tentang Pendidikan Online di Masa COVID-19. 18 Agustus 2020. IDN Times/Fajar Laksmita

Selain kurikulum yang disederhanakan, Totok berharap bahwa guru mampu membuat mapping atau sharing dengan sekolah lain. Beberapa guru sebenarnya mampu dan telah  berinisiatif  membuat webinar untuk membahas media dan contoh pembelajaran yang akan dibagikan pada anak didik. 

"Jadi guru yang ingin berkembang jangan dilarang, tapi lebih dilihat kepada penggunaan nalarnya yang bagus. Saya ingin itu bisa membangkitkan kebijakan," tambahnya. 

Banyak persoalan yang ditimbulkan saat pelaksanaan pembelajaran dari rumah, terutama akses internet dan gawai peserta didik yang masih belum memadai. Di sisi lain, hasil survei yang menyebutkan bahwa kebijakan belajar online masih belum ideal perlu direspons dengan bijaksana.

Apabila persoalannya adalah fasilitas yang tidak memadai, maka perlu adanya survei per kasus di setiap sekolah untuk menemukan titik bantuan yang harus disasar. Ketika masalahnya merujuk pada penurunan kompetensi atau sisi well-being siswa karena harus belajar daring, maka yang perlu ditingkatkan adalah kompetensi guru dan pengembangan media pembelajaran. 

Baca Juga: Haruskah Sekolah dan Kampus Terapkan New Normal Pandemik Virus Corona?

Topik:

  • Pinka Wima
  • Bayu Aditya Suryanto

Berita Terkini Lainnya