4 Pahlawan Indonesia yang Diasingkan ke Banda Neira

Sempat mendirikan sekolah selama pengasingan

Kemerdekaan Indonesia tidak begitu saja terwujud, tentu diwarnai perjuangan hingga pertumpahan darah rakyat Indonesia. Mereka harus menghadapi penangkapan hingga pengasingan di pelosok daerah, bahkan kerap kali dipindahkan dari satu pulau ke pulau lainnya hingga bertahun-tahun.

Salah satu daerah yang pernah menjadi tempat pengasingan adalah Banda Neira. Pulau kaya rempah di Provinsi Maluku yang menyimpan keindahan alam bak kepingan surga. Di sini pula terdapat jejak kolonial Belanda dan saksi bisu perjuangan pahlawan Indonesia

Beberapa pahlawan kemerdekaan Indonesia pernah diasingkan di Banda Neira. Siapa saja mereka? Simak selengkapnya berikut ini, ya!

1. Sutan Syahrir

4 Pahlawan Indonesia yang Diasingkan ke Banda Neirapotret Sutan Syahrir (instagram.com/arsip_indonesia)

Sutan Syahrir lahir pada 5 Maret 1909 di Padang Panjang, Sumatra Barat. Ia berasal dari keluarga terpandang, ayahnya, Mohammad Rasad gelar Maharaja Soetan bin Soetan Leman gelar Soetan Palindih, merupakan penasihat Sultan Deli dan kepala jaksa saat pemerintahan kolonial Belanda. Ibunya, Puti Siti Rabiah, berasal dari Koto Gadang, Agam, Sumatra Barat.

Ia mengenyam pendidikan setara sekolah dasar di Europeesche Lagere School (ELS). Kemudian, masuk Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO ), setara dengan SMP. Pada masa inilah, ia mulai banyak membaca buku-buku berbahasa asing terbitan Eropa dan karya sastra dari luar. Selepas menyelesaikan pendidikan di MULO, ia hijrah ke Bandung dan melanjutkan sekolah di Algemeene Middelbare School (AMS), sekolah termahal dan terbaik di Bandung kala itu.

Selama mengenyam pendidikan di AMS, ia menjadi siswa terbaik dan masih tekun membaca buku-buku terbitan Eropa. Ia mengikuti klub kesenian dan aktif dalam klub debat. Hebatnya lagi, ia mendirikan Tjahja Volksuniversiteit (Cahaya Universitas Rakyat) untuk anak-anak buta huruf dari keluarga kurang mampu.

Pengalaman berorganisasi semasa sekolah menjadi salah satu bekalnya untuk menjajaki dunia politik. Ia menjadi penggagas Jong Indonesië (Himpunan Pemuda Nasionalis) yang berdiri pada 20 Februari 1927. Ia kerap berurusan dengan aparat, karena mengkritik pemerintahan kolonial saat itu.

Setelah lulus dari AMS, ia kuliah di Fakultas Hukum, Universitas Amsterdam, Belanda. Di sana, ia mempelajari teori-teori sosialisme dan cenderung radikal terhadap hal-hal berbau kapitalisme. Di Belanda pula ia menjadi bagian Perhimpunan Indonesia (PI) yang dipimpin Mohammad Hatta. Keduanya menyerukan pergerakan menuju kemerdekaan Indonesia.

Ia memilih berhenti kuliah pada 1931, setelah semangat pergerakan di Indonesia menurun akibat pengawasan ketat oleh kolonial Belanda. Sutan Syahrir bergabung dengan Partai Nasional Indonesia (PNI Baru) dan menjadi ketua pada 1932.

Pergerakan PNI Baru di bawah komando Sutan Syahrir dan Bung Hatta dianggap radikal, yang membuat keduanya ditangkap dan dipenjarakan oleh pemerintah kolonial Belanda. Mereka diasingkan ke Boven Digoel dan diasingkan kembali di Banda Neira, Maluku Tengah selama 6 tahun. "Jangan mati sebelum ke Banda Neira," menjadi kalimat Sutan Syahrir yang dikenang hingga saat ini.

Semasa Jepang mengakui kekalahan pada sekutu, Sutan Syahrir sempat mendesak Soekarno-Hatta untuk mendeklarasikan kemerdekaan, tapi ditolak. Pasca kemerdekaan Indonesia, Sutan Syahrir menjabat sebagai Perdana Menteri pertama Republik Indonesia. Ia juga dikenal sebagai perancang dari perubahan kabinet presidensil menjadi parlementer di Indonesia.

2. Mohammad Hatta

4 Pahlawan Indonesia yang Diasingkan ke Banda Neirapotret Mohammad Hatta (instagram.com/arsip_indonesia)

Mohammad Hatta bernama asli Muhammad Athar berasal dari keluarga ulama lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat, pada 12 Agustus 1902. Ia merupakan Wakil Presiden Indonesia pertama yang pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia, Menteri Pertahanan, dan Menteri Luar Negeri Indonesia.

Bung Hatta menempuh pendidikan dasar di Sekolah Melayu, Bukittinggi. Kemudian, ia melanjutkan pendidikan di ELS dan MULO di Padang. Pada 1919, ia pergi ke Batavia untuk melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik School. Selama di Batavia, ia tergabung dalam Jong Sumatranen Bond Pusat.

Pada 1921, Bung Hatta pergi ke Rotterdam, Belanda untuk belajar Ilmu Perdagangan dan Bisnis di Nederland Handelshogeschool yang kini bernama Erasmus Universiteit. Di sana, ia bergabung dalam Perhimpunan Hindia yang kemudian berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia dan tinggal sekitar 11 tahun.

Sekembalinya Bung Hatta dari Belanda, ia menolak masuk kalangan Sosialis Merdeka dan dituduh kurang konsisten. Pada 1934, Ia diasingkan ke Boven Digul bersama Sutan Syahrir selama setahun. Kemudian, dipindahkan ke Banda Neira, lalu ke Sukabumi.

Baca Juga: 5 Fakta Banda Neira, Nyaris Ditukar dengan Manhattan, New York!

dm-player

3. Cipto Mangunkusumo

4 Pahlawan Indonesia yang Diasingkan ke Banda Neirapotret Cipto Mangunkusumo (commons.m.wikimedia.org/Anonymous)

Cipto Mangunkusumo lahir pada 4 Maret 1886 di Pecangaan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Ia merupakan putra sulung Mangunkusumo, priayi yang merakyat di tanah Jawa. 

Ia lulusan School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (Stovia), sekolah kedokteran di Batavia (sekarang Jakarta). Pada 1905, ia menjadi dokter pemerintah. Kemudian, ia ditugaskan ke Demak dan kerap menolong rakyat miskin dan mendapat julukan “dokter rakyat”. Cipto Mangunkusumo berjasa memberantas penyakit pes di Malang, Jawa Timur pada 1912.

Ia melebarkan sayap ke pergerakan politik untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Cipto Mangunkusumo bersama Douwes Dekker dan Soewandi Soerjaningrat mendirikan Indische Partij. Kemudian, mereka dikenal sebagai tiga serangkai.

Sayangnya, partai tersebut tidak berjalan lama, lalu mendirikan Komite Bumiputera. Bumiputera menuliskan artikel-artikel yang mengajak rakyat Indonesia tidak perlu ikut merayakan kemerdekaan Belanda. 

Cipto Mangunkusumo menjadi anggota Volksraad yang dibangun Belanda pada 1918. Ia menyadari bahwa lembaga tersebut hanya mempertahankan kejayaan Belanda. Sehingga, Belanda mendapat banyak kritikan.

Ia diasingkan ke Bandung pada 1920 dan bertemu dengan anak-anak muda revolusioner.  Pada 1927, Cipto Mangunkusumo diasingkan ke Banda Neira, karena dituduh ikut serta dalam pemberontakan. Selama 13 tahun hidup di Banda Neira, ia lalu dipindahkan ke Makassar dan selanjutnya ke Sukabumi. 

4. Iwa Kusumasumantri

4 Pahlawan Indonesia yang Diasingkan ke Banda Neirapotret Iwa Kusumasumantri (commons.m.wikimedia/Ministry of Information of Indonesia)

Iwa Kusumasumantri merupakan putra sulung Raden Wiramantri, Kepala Sekolah Rendah di Ciamis. Ia lahir di Ciamis, Jawa Barat, pada 30 Mei 1899.

Ia mengenyam pendidikan di Eerste Klasse School (Sekolah Kelas Satu) Ciamis, sekolah khusus pribumi dari kalangan orang berada dengan penghasilan tertentu. Kemudian, ia meneruskan ke Hollandsch Inlandsche School (HIS), sekolah dasar berpengantar bahasa Belanda.

Pada 1915, Iwa Kusumasumantri melanjutkan sekolah di Opleidingschool voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Bandung. Karena tidak sesuai hati nuraninya, di keluar dari OSVIA dan masuk ke Recht School, Sekolah Menengah Hukum di Batavia.

Ia aktif di organisasi pemuda Tri Koro Darmo yang kemudian berganti nama Jong Java. Ia bekerja di kantor Pengadilan Negeri Bandung. Kemudian dipindah ke Pengadilan Tinggi (Raad van Justitie) di Surabaya. Baru dua bulan, ia meminta pindah ke Jakarta untuk dapat belajar di Belanda.

Iwa Kusumasumantri melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum, Universitas Leiden, Belanda, menggunakan biaya sendiri. Selama kuliah, ia aktif dalam pergerakan nasional melalui organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda.

Iwa Kusumasumantri kembali ke tanah air setelah pemberontakan PKI pada 1926-1927. Ia menjadi anggota PNI dan sebagai pengacara di Jakarta bersama Mr. Sartono. Ia juga menjadi pemimpin surat kabar di Medan bernama Mata Hari Indonesia.

Pandangannya yang progresif revolusioner dalam politik dianggap membahayakan pemerintah kolonial Belanda. Pada 1929, ia ditangkap dan dipenjara di Medan selama setahun. Kemudian, dipindah ke Glodok dan Struis-Wyck di Batavia.

Iwa Kusumasumantri bersama keluarganya diasingkan ke Banda Neira. Selama pengasingan, ia menulis buku (masih berupa naskah) berjudul Nabi Muhammad dan Empat Khalifah. Hal ini merupakan bukti  jiwa das sikap religiusitasnya.

Pada 1941, ia dipindah ke Makassar dan sempat menjadi Kepala Pengadilan Makassar. Tidak berselang lama, ia beserta keluarga kembali ke Jawa. Iwa Kusumasumantri menjadi Menteri Sosial dan Perburuhan pada Kabinet Republik Indonesia Pertama. 

Selama masa pengasingan, keempat tokoh tersebut mendirikan sekolah untuk anak-anak Banda Neira. Hal tersebut juga sebagai bentuk perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia. Kegiatan belajar mengajar berangsung di salah satu rumah pengasingan yang masih bisa kamu jumpai saat ini. 

Baca Juga: 4 Rumah Pengasingan di Banda Neira, Saksi Sejarah Indonesia

Fatma Roisatin Nadhiroh Photo Verified Writer Fatma Roisatin Nadhiroh

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Naufal Al Rahman

Berita Terkini Lainnya