IWF 2021: Mengolah Rasa Menjadi Aksara, yang Penting Kata atau Fakta? 

Gak asal gigit, terus lupa… 

“Ada titik cerah dalam dunia literasi kuliner sekarang ini. Mulai muncul ketertarikan di bidang food writing dan food journalism itu sendiri,”

Pembuka yang hangat dari Kevindra Soemantri, narasumber di Indonesia Writers Festival, Kamis, 28 Oktober 2021 saat bicara soal kuliner dan berbagai macam latar belakang sebagai seorang penulis makanan. Terkait literasi kuliner sendiri, banyak yang belum tahu kalau ada proses panjang yang harus ditempuh seorang penulis makanan untuk menyampaikan isi pikirannya.

Bukan sekadar pencicip makanan atau pengkritik rasa, penulis makanan merupakan pekerjaan seru nan mengenyangkan yang membuka wawasan orang banyak. Tentu, sebuah tanggung jawab besar kalau urusannya dengan edukasi masyarakat luas.

Itu sebabnya, dari sesi menyenangkan di Indonesia Writers Festival tersebut, berikut ini beberapa hal penting yang butuh diperhatikan waktu mengolah rasa menjadi aksara. Bukan hanya tentang kata-kata, tapi juga ada etikanya!

1. Makanan apa yang kamu suka? Itu topik utamanya! 

IWF 2021: Mengolah Rasa Menjadi Aksara, yang Penting Kata atau Fakta? ilustrasi seseorang sedang makan (unsplash.com/Aral Tasher)

Ketika kamu ingin menjadi penulis makanan, yang paling pertama kamu tanyakan pasti; bagaimana cara menulisnya dan apa yang harus ditulis. Nah, ini bisa dimulai dari makanan apa dulu yang kamu suka, baru mulai menuliskannya. Kenapa? Karena jelas kamu paham betul bagaimana rasa dan bumbu yang kamu harapkan ada di dalamnya.

Kevindra Soemantri, dalam wawancaranya bersama IDN Times juga mengatakan bahwa bagi pemula, menulis makanan kesukaan merupakan topik utama. Dari situ, kamu belajar membiasakan dirimu dengan diksi terkait makanan, yang ke depannya bisa membuatmu lebih peka terhadap rasa itu sendiri.

2. Menjadi penulis makanan bukan hanya soal mengecap saja 

IWF 2021: Mengolah Rasa Menjadi Aksara, yang Penting Kata atau Fakta? ilustrasi seseorang sedang makan (unsplash.com/Pablo Merchán Montes)

“Bukan hanya asal nyicip, tapi banyak proses di baliknya yang harus kamu tahu,” kata Kevindra.

Semakin detail kamu menjelaskan sebuah makanan, semakin valuable-lah tulisan kamu. Dalam artian, seorang penulis makanan bukanlah tukang cicip, yang sedikit makan lalu lupa bagaimana rasanya.

Ada proses panjang di balik sebuah makanan yang seharusnya menarik bagi para penulis. Misalnya sejarahnya, penjualnya, siapa yang masak, dan bagaimana mulanya makanan tersebut tercipta. Ya, menjadi penulis makanan ternyata cukup menguras tenaga, tapi buat kamu yang memang "suka makan" dan ingin menjadi seorang penulis makanan, hal-hal ini wajib kamu sematkan dalam ingatan.

Baca Juga: IWF 2021: 5 Tips Menulis Makanan Daerah dari Kevindra Soemantri

3. Riset kuliner yang memperkokoh pengetahuan bisa memperlancar aksara 

IWF 2021: Mengolah Rasa Menjadi Aksara, yang Penting Kata atau Fakta? ilustrasi seseorang sedang bekerja (unsplash.com/JMicrosoft Edge)

Dalam menulis kuliner, ada empat pilar yang menjadi punggawa penting:

  • Penulisan resep
  • Penulisan feature atau interview
  • Penulisan restaurant criticism atau kritik makanan, dan
  • Penulisan food literature atau literature makanan
dm-player

Semua pilar di atas memiliki cara riset yang berbeda yang harus kamu pisahkan satu dengan yang lain. Nah, sebagai penulis, kamu harus memetakan dulu siapa target audiens yang ingin kamu tuju. Dalam artian, kamu gak mungkin kan menulis resep makanan mewah namun target pasarmu ternyata bukan orang-orang yang bisa menyediakan bahan tersebut di dapur mereka?

Ini yang menjadi alasan kenapa riset itu begitu penting dalam penulisan makanan. Kamu bukan hanya bisa memperkaya aksara, tapi jenis tulisan dan motif di baliknya juga jelas dan bisa tersampaikan dengan tepat ke pembaca.

“Yang paling penting saat melakukan riset penulisan kuliner, adalah mencari tahu asal tempatnya itu di mana, daerahnya seperti apa, siapa yang memasak, dan mengedepankan 5W1H, yang semuanya gak bisa dianggap sepele,” tambah Kevindra.

Jangan lupakan objektivitas dan plot dalam tulisan kamu, ya. Ketika menulis makanan yang menggugah selera, jangan sampai kamu terlalu terbawa suasana sampai lupa menetapkan limitasi dan mengedepankan esensi dari tulisan kamu sendiri.

4. Gak harus bisa memasak, tapi bisa masak jelas nilai tambah 

IWF 2021: Mengolah Rasa Menjadi Aksara, yang Penting Kata atau Fakta? ilustrasi seseorang sedang masak (unsplash.com/Becca Tapert)

Masih berkaitan dengan riset, menjadi penulis makanan ternyata gak mengharuskan kamu untuk bisa memasak, lho. Makanya, riset di sini akan membantu segala keperluan pengetahuan yang kamu butuhkan dalam aksara. Namun, ada nilai tambah ketika kamu bisa memasak dan menjadi penulis makanan.

Ketika kamu bisa masak, maka kamu akan lebih tahu bagaimana seharusnya tingkat kematangan dan rasa unik dari suatu makanan tertentu. Sedangkan, ketika kamu gak bisa masak, kamu melewatkan proses "sebelum" makanan itu disajikan di mana itu juga merupakan proses pentingnya.

Jadi, sebaiknya kamu yang belum bisa masak belajar sedikit demi sedikit. Dengan begitu, kamu juga bisa merasakan sendiri bagaimana sensasinya menciptakan sebuah hidangan.

5. Menulis kuliner bukan hanya soal kata-kata, tapi ada etikanya 

IWF 2021: Mengolah Rasa Menjadi Aksara, yang Penting Kata atau Fakta? ilustrasi blog makanan (unsplash.com/Jeff Sheldon)

Penulis makanan bukanlah hakim yang bisa menentukan sebuah makanan itu enak atau tidak enak–karena itu preferensi pribadi dan subjektivitas tidak seharusnya dilibatkan ketika mencicipi sebuah makanan. Akan lebih disarankan kamu untuk menuliskan detail dari makanan itu sendiri seperti tekstur, kematangan, penampilan, maupun bumbu apa yang dominan.

Ada etika yang harus kamu perhatikan saat menulis makanan, bukan hanya soal kata-kata indah dan judgement “enak” atau “tidak enak” belaka, karena ada perbedaan antara menulis ulasan restoran sebagai kritikus dan sebagai konsumen.

Jadilah penulis yang tidak memiliki ekspektasi khusus terhadap hidangan yang akan disajikan. Apalagi ketika kamu ingin menulis review restoran atau makanan tertentu, sediakan kertas kosong dalam pikiran dan meninggalkan subjektivitas, supaya penilaian yang kamu lakukan bisa objektif dan tepat sasaran.

Menjadi penulis makanan bukan hanya bertujuan untuk memperkenalkan kuliner kepada pembaca, tapi juga mengedukasi masyarakat. Makanya, kamu yang berminat untuk menjadi penulis makanan jangan lupa untuk terus mengasah diri dengan belajar, terus menulis, dan bahkan bertanya supaya pengetahuan kulinermu terus bertambah, ya!

IDN Times menggelar Indonesia Writers Festival 2021. Acara yang juga dikenal dengan IWF 2021 ini adalah pertemuan independen yang berkomitmen untuk memberdayakan Indonesia melalui bidang menulis. Acara dengan slogan Empowering Indonesians Through Writing ini dilangsungkan pada 25 hingga 30 Oktober 2021 melalui Zoom dan YouTube channel IDN Times.

IWF 2021 sendiri menghadirkan lebih dari 20 pembicara kompeten di berbagai latar belakang, seperti Gina S. Noer, AULION, Zarry Hendrik, Kevindra Soemantri, Sri Izzati, dan masih banyak lainnya. Simak terus keseruannya di situs idntimes.com, ya!

Baca Juga: IWF 2021: 6 Tips Bikin Konten Sains Makin Seru ala Albizia Akbar

Laura Astrellia Photo Verified Writer Laura Astrellia

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Izza Namira

Berita Terkini Lainnya