Masyarakat Ciacia di Kota Baubau Fasih Membaca Hangeul, Ini Sejarahnya
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Indonesia merupakan negara dengan berbagai suku dan bahasa. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional ditulis dengan menggunakan aksara Latin, dan beberapa bahasa daerah dari suku-suku di Indonesia menggunakan aksara tersendiri. Aksara dari bahasa tradisional suku-suku di Indonesia disebut sebagai Aksara Nusantara.
Mengutip Indonesia.go.id, ada 12 aksara daerah yang telah dikenal di Indonesia yaitu aksara Jawa, Bali, Sunda Kuno, Bugis atau Lontara, Rejang, Lampung, Karo, Pakpak, Simalungun, Toba, Mandailing, dan Kerinci (Rencong atau Incung). Ini dapat berarti bahwa sebagian besar bahasa daerah tidak ataupun belum memiliki aksara sendiri.
Suku Ciacia merupakan suku di Indonesia yang diketahui menggunakan aksara Korea, yaitu Hangeul, dalam penulisan bahasa daerah mereka, bahasa Ciacia. Bagaimana sejarah bahasa Ciacia menggunakan aksara Korea? Simak ulasan berikut.
1. Bahasa Ciacia umum digunakan di kota Baubau
Bahasa suku Ciacia disebut bahasa Ciacia atau bahasa Buton Selatan. Bahasa ini merupakan salah satu bahasa daerah yang umum digunakan oleh penduduk kota Baubau dan sekitarnya, yang berada di selatan pulau Buton, Sulawesi Tenggara.
Dilansir JENDELA Pendidikan dan Kebudayaan yang dirilis oleh Kemendikbud, ada sekitar 93 ribu orang penutur bahasa Ciacia di kota Baubau. Uniknya, bahasa ini memiliki tradisi tulis berupa kutika, yaitu coretan-coretan yang ditorehkan pada kertas atau papan kayu.
2. Bahasa Ciacia tidak memiliki aksara sendiri
Indonesia dianggap sebagai salah satu negara dengan keragaman bahasa terbanyak di dunia. Hal ini tidak mengherankan mengingat ada begitu banyak ragam suku di Indonesia. Diperkirakan ada lebih dari 700 bahasa yang dituturkan oleh masyarakat di Indonesia. Selain bahasa Indonesia, bahasa-bahasa tersebut merupakan bahasa lokal daerah-daerah di Indonesia.
Sayangnya, kebanyakan bahasa lokal atau daerah belum memiliki aksara sendiri, termasuk bahasa Ciacia. Walau memiliki kutika, bahasa Ciacia tidak memiliki aksara tetap yang dapat melafalkan bahasa tersebut dengan tepat. Hal ini dapat mengancam kelestarian bahasa Ciacia dan bahasa daerah lainnya yang tidak memiliki aksara untuk menuliskannya.
3. Keinginan melestarikan bahasa Ciacia
Jika suatu bahasa lokal hilang, berkurang pula kekayaan budaya di Indonesia. Hal ini juga disadari oleh masyarakat Ciacia. Mereka tidak ingin bahasa tersebut hilang, dan ingin melestarikan bahasa Ciacia menjadi salah satu kekayaan budaya Indonesia.
Editor’s picks
Keinginan ini membuat masyarakat Ciacia dan pemerintah setempat berusaha mencari cara agar bahasa tersebut tidak hilang. Untuk melestarikan dan mengajarkan suatu bahasa, secara lisan saja tidak cukup. Perlu ada aksara yang dapat menuliskan bahasa Ciacia. Masyarakat Ciacia dan pemerintah lokal memulai upaya untuk menemukan aksara untuk bahasa Ciacia.
4. Pencarian aksara yang cocok untuk bahasa Ciacia
Aksara Latin yang digunakan pada penulisan bahasa Indonesia, dicoba untuk digunakan dalam penulisan bahasa Ciacia. Namun hal ini menemui kendala, karena ternyata kurang tepat dalam menuliskan pelafalan bahasa Ciacia.
Bahasa Wolio, merupakan salah satu bahasa lokal yang umum digunakan di pulau Buton. Awalnya bahasa ini juga tidak memiliki aksara sendiri. Namun kemudian bahasa Wolio menggunakan aksara Buri Wolio, yaitu aksara yang diadaptasi dari aksara Arab.
Dilansir Talk Talk Korea, bahasa Ciacia juga pernah mempertimbangkan aksara Arab untuk menuliskan bahasa mereka, layaknya bahasa Wolio. Namun ada banyak ketidaksesuaian dalam pelafalan bahasa Ciacia dengan aksara Arab.
Masalah ketiadaan aksara pada bahasa Ciacia pun akhirnya turut dibicarakan pada International Symposium on Archipelago Manuscripts atau Simposium Internasional Pernaskahan ke-9 yang diadakan di kota Baubau pada Agustus 2005.
5. Penggunaan Hangeul dalam penulisan bahasa Ciacia
Salah satu peserta simposium tersebut adalah Prof. Chun Thay Hyun, yang berasal dari Korea Selatan. Ia merasa tertarik ketika mendengar permasalahan bahasa Ciacia, dan melakukan studi dan penelitian terhadap bahasa Ciacia. Ia kemudian menemukan bahwa ada kemiripan dalam pengucapan dan struktur antara bahasa Ciacia dan bahasa Korea.
Pendapat Prof. Chun Thay Hyun yang merupakan peneliti dari Institut Penelitian Hunminjeongeum, mengenai kemiripan antar kedua bahasa tersebut akhirnya membuahkan kemungkinan penggunaan aksara Korea pada bahasa Ciacia.
Hal ini kemudian disambut baik oleh Walikota Baubau pada saat itu, Mz. Amirul Tamim. Mereka melihat bahwa aksara Korea sepertinya akan cocok menuliskan pelafalan bahasa Ciacia.
Aksara Korea akhirnya digunakan dalam bahasa Ciacia pada tahun 2008. Institut Penelitian Hunminjeongeum kemudian mengundang dua orang dari suku Ciacia ke Korea untuk membuat buku yang dicetak dalam aksara Korea. Pelajaran aksara Korea juga diajarkan di sekolah di kota Baubau, dan digunakan dalam mata pelajaran bahasa daerah Ciacia.
Bahasa daerah merupakan salah satu bentuk kekayaan budaya nasional. Melestarikannya juga berarti menjaga kekayan budaya dan menghargai warisan leluhur.
Baca Juga: 10 Bahasa Bali yang Sama dengan Bahasa Daerah, Namun Berbeda Makna
IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.