Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi ibu berbicara dengan putrinya (freepik.com/tirachardz)
ilustrasi ibu berbicara dengan putrinya (freepik.com/tirachardz)

Sebagai orangtua, kita pasti ingin anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang cerdas, bijak, dan penuh empati. Tapi tahukah kamu bahwa salah satu cara paling sederhana dan paling berdampak untuk mewujudkan itu semua adalah lewat cara kita berbicara kepada mereka?

Banyak orangtua berpikir kecerdasan anak ditentukan dari sekolah terbaik, les tambahan, atau mainan edukatif. Padahal, kunci pertama perkembangan kecerdasan anak justru ada di rumah, dalam percakapan sehari-hari. Dan bukan hanya seberapa sering kita bicara, tapi bagaimana kita berbicara itulah yang akan membentuk pusat bahasa, nalar, dan emosi anak.

Para ilmuwan dari Harvard Graduate School of Education, melalui inisiatif Project Zero, mengungkap bahwa jenis percakapan tertentu dapat memperkuat area penting di otak anak yang berkaitan dengan berpikir kritis, berbahasa, hingga kreativitas.

Ini bukan sekadar teori. Penelitian demi penelitian menunjukkan bahwa percakapan berkualitas di masa kecil berdampak langsung pada kosakata, kemampuan membaca, IQ, hingga prestasi anak di masa depan.

Nah, berikut ini cara bicara dengan anak yang terbukti secara ilmiah bisa meningkatkan kecerdasan mereka. Yuk, kita bahas satu per satu!

1. Ajukan pertanyaan penalaran: "apa yang membuatmu berpikir begitu?"

ilustrasi ayah berbicara dengan anak (pexels.com/Pavel Danilyuk)

Saat anak menyampaikan ide atau pendapat, meskipun terdengar aneh atau keliru tahan dulu keinginan untuk langsung membetulkan. Sebaliknya, tanyakan, “Apa yang membuatmu berpikir begitu?”

Pertanyaan ini sederhana, tapi dampaknya luar biasa. Ini melatih anak untuk merefleksikan proses berpikirnya sendiri. Mereka belajar menyusun argumen, mengenali sebab-akibat, dan mengekspresikan pemikiran secara runtut. Ini adalah dasar dari berpikir kritis dan logis.

Menurut Harvard’s Project Zero, strategi ini termasuk dalam pendekatan Claim–Support–Question, di mana anak diminta menyampaikan pendapat (claim), mendukung dengan alasan (support), dan menjawab pertanyaan lanjutan (question).

Misalnya:

  • Anak berkata: “Menurutku dinosaurus masih ada.”
  • Orangtua: “Menarik. Apa yang membuatmu berpikir begitu?”

Percakapan ini membuka ruang berpikir, bukan hanya soal benar atau salah, tapi kenapa dan bagaimana anak sampai pada pemikirannya. Dengan begitu, kita bukan hanya mendidik anak untuk pintar, tapi juga untuk berpikir.

2. Pancing dengan rasa ingin tahu: "menurutmu, kenapa bisa begitu?"

ilustrasi anak dan orangtua menatap langit (pexels.com/Kindel Media)

Rasa ingin tahu adalah bahan bakar utama kecerdasan. Anak-anak secara alami tumbuh dengan berbagai pertanyaan, tapi terkadang lingkungan kita justru meredam pertanyaan mereka dengan jawaban cepat atau bahkan sikap tak sabar.

Sebagai orangtua, kita bisa memantik kembali rasa ingin tahu itu dengan pertanyaan yang memancing imajinasi. Misalnya, “Kalau langit bukan biru, kamu ingin warnanya apa? Kenapa?”

Metode ini dikenal dalam pendekatan Look–Think–Wonder, yang mendorong anak untuk melihat (look), berpikir (think), dan bertanya (wonder). Ini bukan hanya meningkatkan kemampuan observasi, tapi juga melatih anak untuk menikmati proses berpikir dan bertanya, tanpa takut salah.

Anak yang terbiasa berpikir dengan cara ini akan tumbuh menjadi individu yang kreatif, kritis, dan tahan terhadap tekanan untuk selalu cepat dapat jawaban. Mereka belajar bahwa tidak semua pertanyaan punya jawaban instan dan itu tidak masalah.

3. Latih anak mendeskripsikan proses: "ceritakan, awalnya gimana? lalu apa?"

ilustrasi menemani anak bermain balok (pexels.com/Ksenia Chernaya)

Anak-anak sering kali bisa menyelesaikan sesuatu, tapi belum tentu bisa menjelaskan bagaimana mereka melakukannya. Nah, di sinilah pentingnya percakapan yang mengajak anak mendeskripsikan proses.

Misalnya, setelah anak menyusun menara dari balok:

  • “Ceritain dong, kamu mulai dari yang mana dulu?”
  • “Terus kenapa pilih yang besar di bawah?”

Dengan cara ini, anak belajar menyusun urutan berpikir, memilih kata yang tepat, dan menyampaikan ide secara sistematis. Ini meningkatkan keterampilan naratif dan kognitif secara bersamaan.

Menurut penelitian yang dimuat dalam Journal of Cognition and Development, anak-anak yang sering diminta untuk menjelaskan bagaimana mereka berpikir atau mengapa mereka melakukan sesuatu cenderung menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam daya ingat serta prestasi akademik saat mereka memasuki usia sekolah dasar.

4. Ajak anak membandingkan dan menghubungkan: "apa persamaan ini dan itu?"

ilustrasi anak dan ibu bermain ayunan (pexels.com/Chu Chup Hinh)

Membandingkan dua hal yang terlihat berbeda, tapi punya kesamaan, adalah latihan penting untuk membangun kemampuan berpikir abstrak. Anak belajar menyaring informasi, mengenali pola, dan membuat hubungan antarkonsep.

Contoh lain:

  • “Apa kesamaan antara ayunan dan perahu?”
  • “Apa bedanya kamu dan karakter kartun favoritmu?”

Cara ini bisa memperluas pemahaman anak terhadap dunia. Mereka mulai menyadari bahwa segala sesuatu saling terhubung. Ini adalah pondasi dari kemampuan analisis dan sintesis, dua elemen penting dalam kecerdasan tingkat tinggi.

Strategi ini merupakan bagian dari pendekatan Compare–Connect–Consider, yang digunakan oleh Harvard’s Project Zero. Strategi ini melibatkan tiga langkah penting:

  1. Compare (Bandingkan): Anak diajak mencari kesamaan dan perbedaan dari dua objek, ide, atau situasi. Ini melatih keterampilan kategorisasi dan pemahaman konseptual.
  2. Connect (Hubungkan): Anak ditantang untuk mengaitkan ide-ide tersebut dengan pengalaman pribadi, pelajaran lain, atau hal-hal yang mereka ketahui. Di sinilah otak bekerja untuk membentuk struktur informasi yang kompleks.
  3. Consider (Pertimbangkan): Anak diajak merefleksikan, “Kenapa perbandingan ini penting?” atau “Apa yang bisa aku pelajari dari hubungan ini?” Ini adalah langkah metakognitif yang meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi seperti evaluasi, refleksi, dan penarikan kesimpulan.

Menurut penelitian dari Harvard, strategi ini efektif dalam meningkatkan higher-order thinking skills, karena menuntut anak tidak hanya menerima informasi, tetapi juga mengolah, menghubungkan, dan mengevaluasinya. Ini adalah jenis kecerdasan yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah kompleks di masa depan.

5. Bantu anak melihat kompleksitas: "kenapa kata-kata buruk bisa menyakiti orang?"

ilustrasi ibu berbicara dengan putrinya (pexels.com/Pavel Danilyuk)

Topik-topik sosial seperti perasaan, konflik, atau konsekuensi dari tindakan sering kali dihindari karena dianggap terlalu rumit. Padahal, justru lewat percakapan semacam ini, anak belajar memahami kompleksitas kehidupan dan nilai moral.

Saat kita mengajak anak berdiskusi tentang suatu kejadian, tanyakan:

  • “Apa yang kamu pikirkan tentang kejadian itu?”
  • “Apa dampaknya buat orang lain?”
  • “Kalau kamu di posisi itu, apa yang kamu rasakan?”

Jenis diskusi ini mengembangkan kesadaran moral, kemampuan reflektif, dan empati. Anak belajar bahwa dunia tidak hanya tentang mereka, dan bahwa keputusan yang baik butuh pertimbangan matang.

Penelitian dari Yale Center for Emotional Intelligence menunjukkan bahwa anak yang terbiasa diajak berdiskusi tentang perasaan dan situasi kompleks menunjukkan kemampuan pengambilan keputusan yang lebih baik dan lebih mampu menyelesaikan konflik secara damai.

6. Ajak anak masuk ke perspektif orang lain: "kalau kamu jadi dia, gimana rasanya?"

ilustrasi ibu berbicara dengan putrinya (pexels.com/Ketut Subiyanto)

Kemampuan melihat dari sudut pandang orang lain (perspective taking) adalah bagian dari kecerdasan sosial yang sangat penting. Ini adalah dasar dari empati, komunikasi efektif, dan kepemimpinan.

Orangtua bisa melatih ini dengan bertanya:

  • “Kalau kamu jadi Ibu Guru yang marah tadi, menurutmu kenapa dia kesal?”
  • “Kalau kamu jadi temanmu yang nggak diajak main, kamu akan merasa apa?”

Dengan pertanyaan seperti ini, anak belajar mengesampingkan egonya dan berusaha memahami perasaan orang lain. Ini tidak hanya memperkuat hubungan sosial, tapi juga mengaktifkan bagian otak yang berkaitan dengan pemrosesan sosial dan emosi, menurut studi dari National Institutes of Health.

Dr. Mary Gordon, pendiri program Roots of Empathy, menyatakan, “Anak-anak yang diajarkan untuk berempati tumbuh menjadi orang dewasa yang lebih bijak, penuh toleransi, dan memiliki kecerdasan emosional yang tinggi.”

Setiap percakapan dengan anak adalah kesempatan emas. Bukan hanya untuk mempererat hubungan, tapi juga untuk membangun jaringan otak yang kelak akan menjadi fondasi bagi prestasi, kreativitas, dan karakter mereka di masa depan. Dan yang paling indah? Semua ini tidak butuh biaya, hanya butuh waktu, perhatian, dan cinta.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team