#MahakaryaAyahIbu: Rumah Tua Kami, Mahakarya Cinta yang Kokoh Tak Tertandingi

Ah, aku merindukan kebersamaan itu, bersama ayah, saudara, dan para tetangga, saat dulu.

Artikel ini merupakan karya tulis peserta kompetisi storyline "Mahakarya untuk Ayah dan Ibu" yang diselenggarakan oleh IDNtimes dan Semen Gresik. 


Aku masih ingat, saat dulu untuk pertama kalinya aku mengenal rumah dalam kamus kesadaran kanak-kananku. Aku duduk di hadapan ayah sambil mengeja kata demi kata yang diajarkan olehnya.

Rumah kami dulu rumah panggung kecil yang terbuat dari papan dan kayu, menurut sejarah yang pernah kudengar, papan dan kayu itu dibuat langsung oleh ayah dari pohon jati yang dibelinya. Ketika itu, aku tidak terlalu paham, yang aku tahu hanyalah banyak hal tentang berburu burung puyuh di tengah ladang dan sesemak, atau bermain perahu saat sungai mulai pasang mendekati sumur kecil kami. Samar-samar dalam ingatanku, mungkin jika tidak salah saat masa-masa seru itu usiaku masih 7 tahun, entahlah aku tidak tahu pasti kebenarnya.

Ketika kehidupan mulai mapan, ayah mengajak kami sekeluarga untuk berhijrah ke pusat desa, menyeberangi muara sungai yang berarus tenang dengan warna kekuning-kuningan itu, sambil bernyayi riang tidak sabar untuk segera sampai kedaratan.

Rumah kami yang baru, tak jauh berbeda dengan rumah panggung kami sebelumnya, bahan dasar adalah papan dan kayu dengan lantai tanah yang dingin. Ibu dan aku tersenyum saat memasuki rumah baru itu, menikmati suasana baru yang lebih ramai, dengan rumah-rumah tetangga berjejer rapi membentuk deretan mempesona. Tak ada lagi kesepian, tak ada lagi puyuh dan perahu, aku benar-benar hidup di suatu tempat yang penuh bahasa sapa dan kegembiraan.

Waktu terus bergulir, bersamaan dengan dikenalkan oleh ayah padaku arti pentingnya sebuah pendidikan. Aku masih ingat, bagaimana saat itu untuk pertama kalinya aku memasuki gerbang sekolah yang gagah ditemani oleh ayah dan ibu. Mulai berkenalan dengan teman-teman kecil dengan banyak rupa, dan sifat yang sungguh sangat ku suka. Ada yang pendiam, ada pula yang malu-malu, tidak lupa anak-anak yang cengeng, atau anak-anak yang cepat mengakrabkan diri sepertiku.

dm-player

Tiga tahun kemudian, aku telah samapai di kelas tiga. Ayah memutuskan untuk merenovasi rumah sederhana kami. Dengan hasil jerih payah bertani karet, ayah membeli bahan bangunan, mulai dari pasir, bebatuan, bata, besi, memesan kosen, dan membeli bahan yang paling pokok seperti semen dengan karung coklatnya yang khas itu.

Hari yang ditunggu-tunggu olehku tiba, rumah kami akan direnovasi. Orang-orang yang membantu beberapa ada yang ku kenali, Neng Ri salah satunya, adik ayah nomor dua sekaligus pamanku itu membantu mengaduk semen dan pasir di belakang sana, wajahnya terlihat ceria. Di depan beberapa orang bersama ayah sibuk mengukur petak tanah, dari obrolan mereka ku dengar bahwa di sana akan dibuatkan sebuah kamar untukku nantinya.

Sedangkan para ibu-ibu sibuk menyiapkan kue-kue untuk bapak-bapak yang bekerja, sambil bercerita dan tertawa, hari itu pekarang rumah kami yang direnovasi benar-benar ramai dengan kedatangan para saudara dan tetangga yang ikut membantu bergotong royong membangun rumah kami.

Sorenya, rumah kamipun selesai, rumah itu sangat kuat dan kokoh tak tertandingi. Para saudara dan tetangga yang membantu tersenyum puas dengan mahakarya kerjasama yang luar biasa itu, ayah berulang kali mengucapkan terimakasih tiada tara atas bantuan mereka.

Ibu bersama ibu-ibu tetangga mengantarkan kue dan teh yang telah disiapkan tadi kepada para pekerja yang beristirahat sambil bercerita, sedang kami para anak-anak dengan suka rela membantu dengan cerianya. Hari itu, rumah kami selesai dengan cinta semua orang.

**

Aku turun dari mobil mewah berwarna hitam. Segera ku kembangkan senyum saat mataku menangkap ayah dan ibu berdiri menyambut di ambang pintu. Aku diam sebentar di pekarangan rumah, kutatap lamat-lamat rumah tua tempat ayah dan ibu menunggu, sebuah nostalgia melintas begitu saja, membuat tetesan lembut terjatuh melewati lekuk pipiku.

Rumah inilah yang mengajarkan padaku sebuah arti dari cinta dan kerja keras, mengajarkan padaku bagaimana menjadi pribadi berhati kokoh dan kuat, melewati hidup dengan syukur atas semua nikmat. Ah, aku merindukan kebersamaan itu, bersama ayah, saudara, dan para tetangga, saat dulu.

Em Photo Writer Em

Penulis Lepas

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Ernia Karina

Berita Terkini Lainnya