#MahaKaryaAyahIbu: Broken Home Tak Berarti Mengubur Impian, Hidup Masih Terus Berlanjut

Terimakasih bapak dan ibu, tetaplah menjadi motivasi, kala tuntutan hidup membuatku menyerah kembali.

Artikel ini merupakan karya tulis peserta kompetisi storyline "Mahakarya untuk Ayah dan Ibu" yang diselenggarakan oleh IDNtimes dan Semen Gresik. 


Hujan masih terlalu siang untuk membasahi jalanan. Di depan emperan sebuah toko dekat perempatan, langkahku hentikan sekedar menunggu reda hujan dan bus yang lewat menaikkan penumpang. Di ujung jalan tempatku berpangku, sepasang paruh baya bersama satu anaknya dengan muka penuh guratan beban, menjajakan mainan anak yang dibuatnya dari sebilah bambu. Mereka terlalu bahagia kala menyantap satu bungkus nasi bertiga.

"Untuk tertawa dan pamer kemesraan ternyata sesederhana itu", ujarku.

Di antara hiruk pikuk kota, kendaraan yang masing-masing mempercepat lajunya. Sepeda tua yang mereka bawa untuk bertiga nampaknya sudah cukup kuat berkeliling kota. Dan aku sosok yang selalu iri melihat kebersamaan itu. Orangtuaku merupakan salah satu korban betapa kejamnya hidup. Betapa pentingnya berpendidikan karena pengetahuan saja tak cukup menuntut hidup layak. Bapak dan Ibuku tak pernah kenal pendidikan formal seperti yang orang lain uluk-ulukkan.

Jangankan sarjana, ijasah sekolah dasar saja tak punya. Bekerja bisa dibilang sepengalaman mereka. Keahlian yang simbah turunkan ya hanya berdagang, harta tak punya, tanah tak ada, apalagi sawah. Setelah menikah rumah yang dibangun seadanya di tanah milik saudaralah tempatku di lahirkan. Satu tahun setelah kelahiranku, adikku lahir di tempat sama. Mungkin karena semakin hari kebutuhan bertambah, sedang pekerjaan itu-itu saja. Uang tak pernah cukup memenuhi segala kebutuhannya, umurku baru menginjak 4 tahun. Aku ingat waktu itu setiap hari bapak dan ibuku mengeluhkan hidupnya. Mendengar kata-kata kasar sudah sering sekali aku dan adiku mendengar.

Singkatnya, menginjak kelas dua sekolah dasar, kami tinggal di rumah baru ya sedikit saja lebih layak saja. Malam itu tetanggaku berkumpul, tangis sana sini, jeritan anak belum genap sepuluh tahun semakin menambah genting suasana. Kalau ingat malam itu rasanya aku ingin kembali menyatuan mereka. Tepat malam itu puncak pertengkaran bapak dan ibu, hingga akhirnya ibu memilih berpisah dan menyewa kios. Sedangkan aku dan adikku ikut tinggal bersama bapak. Semenjak hari itu, hidup kami terasa pelik dan rumit.

dm-player

Bapakku berjuang menyekolahkan kami berdua dan kakak tiri dari istri pertama bapakku. Hutang sana sini, rumah di cagak bambu supaya tidak rubuh harapannya begitu. Berkali-kali bapak jatuh bangkrut tak punya apa-apa, tetapi begitulah bapakku tidak pernah menyerah pada keadaan. Katanya,

"Yang bisa bapak tinggalkan ya hanya ilmu supaya kalian tak seperti bapak, uang bisa di cari”.

Mendengar kata-kata tersebut rasanya mencabik hati, betapa tangguhnya ia mendouble peran sebagai bapak sekaligus ibu bagi kami. Keluhnya tak sebanyak ketika anak-anaknya merengek meminta. Jawabnya selalu, “nanti bapak usahakan secepatnya”. Aku tidak tahu apakah memang semua laki-laki mampu sepertinya. Hinga sepuluh tahun perpisahannya tahun ini, ia tak pernah mencari ibu baru untuk kami dan rasanya kamipun tak pernah kurang kasih sayang.

Keriput bapak sudah tidak bisa ditutupi kulit gosong akibat terik matahari. Rambut putih kian dimana-mana, tubuhnya tak sekuat dulu. Apalagi tepat aku kelas tiga sekolah menengah lalu. Cobaan bertubi-tubi menghantam hati bapak yang kokoh tak tertandingi. Kakakku harus menghadapi calon mertua yang tidak merestui, sehingga bapaklah yang setiap hari memperjuangkannya.

Setelah enam bulan setiap hari harus menghadapi hujatan, merelakan hartanya, memendamnya sendirian. Akhirnya kakakku menikah, bukan berarti cobaan sudah berhenti. Aku yang harus membayar biaya setahun menunggak untuk kelulusan semakin mempersulit, hingga akhirnya tubuh tuanya menyerah juga. Ya, waktu itu diabetes menyerangnya. Niatku melanjutkan kuliah sepertinya harus kukubur dalam-dalam. Biaya darimana? Kalau harus memaksa rasanya aku tak tega.

Tetapi, bukan bapakku bila menyerah, katanya apapun nanti aku harus kuliah. Alhamdulillah setelah mendaftar sana sini akhirnya dapat beasiswa. Setidaknya bisa sedikit mengurangi beban bapak yang semakin hari semakin renta. Darinya aku selalu belajar sekalipun keluarga kami bukan keluarga sempurna. Tetapi, menyerah bukanlah jalan. Bapak adalah mahakarya Tuhan paling sempurna dimata kami. Sekalipun terkadang rasa iri, minder selalu menghampiri.

Hidup masih terus berlanjut, sebenarnya korban broken home tak selalu buruk seperti kata orang. Tergantung bagaimana pribadi masing-masing mengookohkan hatinya serta memperjuangkan impiannya. Untuk bapak dan ibu dari anakmu yang sedang meniti karirnya ini, bersabarlah menunggu. Akan ku bangunkan rumah lebih layak lagi, lebih kokoh lagi.

Inginku bangunkan kembali pondasi rumah tangga kalian kembali. Tetaplah menjadi motivasi, kala tuntutan hidup membuatku menyerah kembali. Impian tak hanya untuk orang dari masalalu yang baik dan keluarga yang sempurna. Kadang hidup tak seekspetasi itu. Terimakasih bapak dan ibu sudah mengajarkan bersyukur atas apapun takdir yang Tuhan berikan. Sekalipun kata sayang tak pernah terlontaar, untuk membalas memang tak mampu selagi bisa berusaha, bahagia kalianlah di hari tua yang paling kami impikan.

Nur Tri Hartati Photo Writer Nur Tri Hartati

anak teknik tapi hobi sastra suka seni

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Ernia Karina

Berita Terkini Lainnya