Cerita Seru Liviany Claudia Hadapi Quarter Life Crisis, Butuh Proses!

Fase krisis diangkatnya jadi platform 'Quarter Life Panic'

Saat kecil, ada kalanya kita ingin tumbuh dewasa dan bekerja. Namun, ternyata tumbuh dewasa artinya juga harus siap ditampar dengan realitas. Krisis seperempat abad atau quarter life crisis menjadi fase krusial yang dihadapi oleh banyak orang.

Krisis di mana seseorang berada di titik hidup yang sangat membingungkan dan penuh ketimpangan. Sayangnya, tak banyak orang berhasil memanfaatkan momen krisis ini menjadi suatu hal yang berdampak bagi orang lain.

IDN Times berkesempatan untuk berbincang dengan Liviany Claudia, Founder Quarter Life Panic, pada Jumat (7/10/2022) secara daring. Di tengah pergumulan hidup dewasa muda, ia justru menjadikan quarter life crisis sebagai wadah untuk belajar dan saling membantu melalui platform 'Quarter Life Panic'. Bagaimana kisah serunya menghadapi quarter life crisis?

1. Dilema perkara pekerjaan menjadi titik quarter life crisis dalam hidup Liviany Claudia

Cerita Seru Liviany Claudia Hadapi Quarter Life Crisis, Butuh Proses!Liviany Claudia, founder Quarter Life Panic (dok. Liviany Claudia)

Kehidupan dewasa nyatanya tak seindah yang dulu mungkin pernah kita idam-idamkan. Periode quarter life crisis (QLC) merupakan masa-masa krisis di mana seseorang sangat mudah untuk merasa takut, bertanya-tanya, dan sangat khawatir dengan masa depannya. Hal ini pula yang dirasakan oleh perempuan yang akrab disapa Livi.

Background keluarga yang berbisnis dari awal membuat Livi merasa tertarik untuk terjun ke dunia bisnis. Namun, beralih profesi dari pekerja kantoran menjadi pebisnis nyata menyisakan sedikit penyesalan dalam hidupnya.

"Aku mempertanyakan 'Haduh, emang ini yang mau aku kerjakan terus?' Aku mempertanyakan itu. Mungkin masa-masa krisisku mulai dari situ karena aku mempertanyakan apakah aku akan tetap lanjut di sini atau aku berani ke step yang buat orang itu gede dan cukup risky," ujarnya.

Banyak pertimbangan yang harus ia ambil untuk meninggalkan posisi pekerjaan yang cukup stabil dan memilih mengembangkan bisnis. Bagi perempuan lulusan Universitas Kristen Petra ini, bisnis dan kantoran merupakan dua hal yang memiliki plus minus.

"Aku merasa aku adalah orang yang sangat planning. Tapi kalau aku udah planning dan gak sesuai sama plan-ku itu aku sedih. Jadi buat aku mungkin itu yang bikin krisisku tinggi karena aku orangnya pengen take control," ceritanya.

Quarter life crisis dinilai sangat berdampak dalam hidup setiap orang. Pertanyaan "what if" kerap muncul dalam pikiran Livi. Namun, fase ini justru bisa membuatnya lebih mengenal diri sendiri di tengah ketidakpastian yang ada.

"Dulu waktu belum kerja kan kita mikir, ya udah nanti kita kerja abis itu dapet posisi dan gaji yang oke. Tapi seiring beranjak dewasa, kan udah mendapatkan itu. Akhirnya mulai mempertanyakan memang itu yang aku cari? Jangan-jangan definisi sukses tiap orang itu beda. Orang mau mengembangkan diri di mana itu juga beda," tutur perempuan yang pernah menjabat sebagai Finance Executive ini.

2. Konsep awal Quarter Life Panic adalah tempat sambat dan diary refleksi

Cerita Seru Liviany Claudia Hadapi Quarter Life Crisis, Butuh Proses!Liviany Claudia, founder Quarter Life Panic (dok. Liviany Claudia)

Keresahannya ini membuat Livi akhirnya menelurkan 'Quarter Life Panic'. Platform yang tumbuh di Instagram ini menjadi wadah anak muda untuk saling berbagi keresahan hidup dan belajar dari permasalahan satu sama lain.

Semula Livi menjadikan Quarter Life Panic (QLP) sebagai diary refleksi untuk menuangkan segala macam pemikirannya yang cukup ruwet dan belum ada jawabannya. Ia juga sempat merasa sendirian mengalami keresahan seperti ini. Namun, pemikirannya salah ketika ia mendapati bahwa banyak teman-teman lain juga merasakan hal yang sama.

"Kegalauan atau kekhawatiran mungkin buat aku nightmare, tapi bisa jadi berkat buat orang lain. Akhirnya aku membuat QLP. Konsepnya di awal membuat itu sebagai tempat sambat," imbuhnya.

Menurutnya, QLP juga menjadi tempat untuk bisa memvalidasi perasaan, itu juga salah satu cara menghadapi fase krisis ini. Selama ini ia terlalu banyak menemukan akun-akun yang lebih membahas tentang hal-hal yang positif saja. Padahal, idealnya seseorang yang mengalami Quarter Life Crisis (QLC) didominasi oleh perasaan negatif daripada positif.

"Yang aku sekarang percayai itu semua perasaan kita valid. Mau kita marah, kecewa, sedih, dan lain sebagainya itu valid karena kita punya perasaan. Jangan sampai didegradasi kayak 'oh gak boleh kayak gini gitu'. Ya memang kadang ada hal-hal yang kita merasa ada kondisi yang gak ideal terus kita marah. Ya gak apa-apa, tapi abis itu what's next? Buat aku kadang orang skip ini," resahnya.

Berawal dari mengelola QLP sendirian, kini Livi bersama 5 orang anggota lainnya bersama-sama bersinergi membangun QLP. Nama Quarter Life Panic pun terinspirasi dari kesehariannya sebagai pekerja kantoran saat itu.

"Panic is not crisis, bukan sinonimnya. Panic lebih ke respons kalau kita mengalami QLC. Itu yang kurasakan juga waktu mengalami QLC kayak panic attack. Dulu ketika kerja kantoran, hampir setiap hari aku bangun dengan overwhelmed panic attack kayak gak siap gitu menjalani hari," katanya.

dm-player

3. Mengembangkan QLP sama dengan membantunya menghadapi fase quarter life crisis

Cerita Seru Liviany Claudia Hadapi Quarter Life Crisis, Butuh Proses!Tim Quarter Life Panic (dok. Liviany Claudia)

Dengan latar belakang pendidikan dan keahlian yang berbeda-beda, Livi dan tim tetap berusaha untuk tidak memberikan false information kepada siapa pun. Satu hal yang menjadi prinsipnya dalam mengelola QLP adalah sama-sama belajar.

Livi mengatakan, "Aku bilang aku bukan expert, aku akan bagikan dari sisi praktikal yang pernah aku lakukan dan yang aku tahu harusnya itu works, 'is that okay?' Tapi ketika aku mempersiapkan webinar atau apa, aku belajar dari jurnal-jurnal dan sebagainya istilah-istilah psikologi. Kayak misal oh ternyata QLC itu ada fasenya, ada aspeknya. Itu aku belajar dari jurnal, artikel supaya memperkaya juga pengetahuanku tentang QLC."

Yang jadi harapannya di tahun baru, Livi ingin QLP menjadi wadah para expert untuk berkumpul. Apa yang dibagikannya melalui QLP mungkin tidak terlalu dalam secara teori. Namun, Livi berusaha untuk memberitahu practical things to do dalam menghadapi fase krisis di masa muda ini.

Ia lanjut mengungkapkan, "Kita melihat beberapa pilar kan. Ada relationship, karier, finansial, sama self development. Jadi kita mau bahas itu secara praktikal satu-satu. Berharap ke depannya, kita juga bisa dapat aspek-aspek di bidang itu untuk diobrolin lagi. Misal finansial, zaman sekarang mungkin bingung gimana ya di usia sekarang kayak dituntut punya rumah dan sebagainya. Jadi kita mungkin mau kasih pandangan ke followers sesuai expertise-nya masing-masing."

Melalui QLP, Livi mengajak banyak orang untuk saling berdiskusi dan belajar bersama. Masalah seseorang bisa menjadi inspirasi orang lain untuk mengatasi persoalan yang sama. Dari situlah akan ada banyak perspektif dan approach yang berbeda pula untuk menyikapi fase quarter life crisis.

Livi mengaku bahwa QLP juga yang membantunya untuk menghadapi fase QLC. Ia mengatakan, "Aku orangnya overthinking. Adanya QLP ini membantu untuk meluruskan benang ruwet di kepalaku tapi bukan berarti sudah selesai. Aku merasa bahwa mindset itu adalah hal yang harus ditanamkan berkali-kali. Itu yang paling susah. Kita udah hidup dengan mindset yang sama selama bertahun-tahun. Ketika mau ganti yang baru itu gak semudah itu. Jadi anggapannya QLC itu mungkin ada nyambat-nyambatnya tapi lebih ke practical things to do."

Baca Juga: Anindita Zein, Alumni LPDP yang Berdayakan Ibu lewat 'Lab Belajar Ibu'

4. Melewati fase Quarter Life Crisis serupa dengan pembelajaran yang tak berkesudahan

Cerita Seru Liviany Claudia Hadapi Quarter Life Crisis, Butuh Proses!Liviany Claudia, founder Quarter Life Panic (dok. Liviany Claudia)

Seperti halnya melewati fase duka, fase quarter life crisis juga sifatnya ber-progress. Mungkin dulu Livi kesulitan menghadapi fase ini, justru kini ia merasa sudah jauh lebih baik meskipun belum selesai. Menurutnya, semua hal itu butuh proses yang gak secepat membalikkan telapak tangan.

"Aku harus berusaha terus menjadi the better version of myself dari hari ke hari. Even aku ber-progress satu persen pun that's okay. Itu applies to all. Ada waktu-waktu di mana pekerjaan atau hidup ini terasa membosankan, stuck, gak tau arahnya ke mana. Tapi ketika aku berusaha doing better dan fokus, akhirnya aku melewati semua," ungkap berambut panjang ini.

Terlebih Livi memandang bahwa pandemik juga turut andil membuat orang-orang bekerja tanpa istirahat. Seolah tak ada perbedaan yang jelas antara waktu untuk bekerja maupun di rumah. Namun, hal itu tak menjadi kendala asalkan kita bisa melihat tujuan akhir.

"Aku itu melihatnya kalau orang ngomongin tujuan hidup ya aku percaya dengan tujuan hidup. Tapi proses pencarian tujuan hidup itu i think it's a lifetime process. Itu ngomongin sesuatu yang besar. Aku merasa tujuanku gak tercapai kalau aku kerja kantoran," pungkasnya.

5. Setiap perempuan berhak tahu bahwa apa pun yang dilakukannya bisa membuahkan karya

Cerita Seru Liviany Claudia Hadapi Quarter Life Crisis, Butuh Proses!Liviany Claudia, founder Quarter Life Panic (dok. Liviany Claudia)

Dari percakapan hangat dengan Livy, terdapat benang merah bahwa permasalahan setiap orang tidak mungkin sama. Apa yang menjadi trigger QLC pada Livi, mungkin belum tentu terjadi pada orang lain.

Meski begitu, Livi memiliki hati yang luas untuk terus membantu orang lain melewati fase krisis seperempat abad ini. Terlepas dari apa masalah mereka, setiap orang butuh teman untuk bisa mendengarkan maupun memberi solusi. Hal ini juga yang ingin dikembangkan Quarter Life Panic untuk membuat community based dan mengembangkan tools-tools guna membantu para remaja.

Mungkin kisah seru Livi ini bisa memberimu inspirasi untuk berkarya. Seperti apa yang dikatakannya bahwa perempuan yang berkualitas akan tahu the only limit is the sky. Meski banyak stigma yang mengatakan sebagian besar perempuan akan menjadi Ibu Rumah Tangga (IRT), Livi tetap percaya bahwa perempuan selalu bisa berkarya.

"Perempuan yang berkualitas itu tahu apa pun yang dia lakukan bisa menghasilkan karya. Apa pun yang dia lakukan bermakna. Pentingnya di pemaknaan tentang apa yang dia lakukan. Ketika dia bisa melakukan sesuatu yang menurut dia bermakna dan menghasilkan karya, menurutku berkualitas. Dia juga berusaha menjadi pribadi yang better dari hari ke hari," ucapnya seraya menutup obrolan hangat ini.

Baca Juga: Kisah Inspiratif Fery Farhati Selama Jadi Istri Gubernur DKI Jakarta

Topik:

  • Febriyanti Revitasari

Berita Terkini Lainnya