Farid Mardhiyanto: Pandemik Sukses Bikin Tour Guide Harus 'Putar Otak'

Jakarta Good Guide ajak kamu mengupas sisi lain kota Jakarta

Pandemik COVID-19 nyata berimbas pada lesunya sektor pariwisata. Pemberlakuan lockdown dan ditutupnya akses masuk turis ke Indonesia, jadi tantangan berat bagi industri pariwisata. Hal ini dirasakan oleh Farid Mardhiyanto, Founder Jakarta Good Guide, (JGG) pemandu wisata berlisensi yang akan mengajakmu menyusuri keindahan dan cerita di balik megahnya Kota Metropolitan.

Mau tidak mau, JGG harus putar otak untuk bisa bertahan di tengah hantaman pandemik yang tak kunjung usai. Meski sempat down, menariknya, animo masyarakat terhadap tren walking tour atau tur jalan kaki ini makin meningkat.

Lantas, bagaimana kisah awal mula Farid Mardhiyanto mendirikan Jakarta Good Guide? Simak perjalanan seru Farid Mardhiyanto yang terangkum dari wawancara eksklusif bersama IDN Times pada Rabu (15/6/2022) di bawah ini.

1. Farid merupakan lulusan Hubungan Internasional yang banting setir dari pekerja kantoran menjadi tour guide

Farid Mardhiyanto: Pandemik Sukses Bikin Tour Guide Harus 'Putar Otak'Farid Mardhiyanto, Founder Jakarta Good Guide (instagram.com/thisis_farid)

Sudah jadi hal yang lumrah terjadi, hubungan antara pekerjaan dengan pendidikan tak sejalan. Farid Mardhiyanto merupakan bagian dari mereka yang menjatuhkan pilihan kariernya pada bidang yang disukai. Mulai tahun 2016, Farid memilih jadi full timer tour guide.

Jauh sebelum jadi pemandu wisata atau tour guide, lulusan Universitas Padjajaran ini sempat menjajal dunia broadcasting selama hampir 10 tahun sebagai penyiar radio. Profesi ini merupakan pekerjaan pertamanya semasa kuliah di Bandung. Usai kuliah, ia meneruskan karier di bidang jurnalistik sebagai reporter salah satu stasiun televisi swasta.

Walau sudah mengambil lisensi dari Dinas Pariwisata DKI Jakarta sebagai tour guide di tahun 2012, Farid tetap melakoni profesinya yang lain. Keterbatasan waktu dan beragam hal lain, akhirnya menuntun Farid untuk banting setir dari pekerja kantoran menjadi full timer tour guide. Siapa sangka bahwa pemandu wisata yang satu ini merupakan Sarjana Hubungan Internasional?

“Sampai kemudian memutuskan untuk berhenti dari kantor karena merasa kayaknya lebih enak kerja jadi tour guide karena secara waktu lebih fleksibel, bisa atur sendiri, gitu-gitu sih,” jelasnya.

Meski kini tetap menjalani pekerjaan serabutan lainnya, sebagian besar waktunya dihabiskan sebagai tour guide. Lalu, bagaimana bisa seseorang yang tidak memiliki basic pariwisata justru membangun jasa pramuwisata? Farid menjelaskan bahwa ia ber-partner dengan Candha Adwitiyo yang kemudian jadi Co-Founder JGG, yang mana memiliki latar belakang pendidikan pariwisata.

2. Travelling sana sini, tapi tak tahu menahu tentang kota sendiri

Farid Mardhiyanto: Pandemik Sukses Bikin Tour Guide Harus 'Putar Otak'Farid Mardhiyanto, Founder Jakarta Good Guide (instagram.com/thisis_farid)

Berangkat dari tuntutan pekerjaan, mengunjungi berbagai daerah di Indonesia bak makanan sehari-hari. Dalam waktu satu bulan, Farid menghabiskan dua minggu menjelajahi berbagai kota. Profesinya sebagai reporter kala itu, menuntut pria berkacamata ini untuk riset, berbincang dengan warga lokal, serta mengenal daerah wisata dan kulinernya.

“Aku sebenarnya memang suka travelling. Nah, waktu di stasiun televisi itu, aku merasa kerjaan itu menuntut aku untuk travelling ke kota-kota luar. Jadi, aku ke Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, bahkan sampai Papua, Lombok, Bali, berkali-kali gitu dan itu sering banget,” ceritanya.

Namun, ada satu hal yang terabaikan oleh Farid. Mungkin, ia mengenal berbagai daerah, tapi ia mengaku kurang tahu-menahu tentang kotanya sendiri, Jakarta. Dari situ, muncullah rasa penasaran terhadap kota Jakarta yang membuatnya membaca buku, berbincang dengan banyak orang, mencari tahu sejarah, dan ikut tur di Jakarta.

Meski hanya 3 tahun menjadi reporter, Farid punya banyak pengalaman mengikuti tur. Hal inilah yang semakin memicu ketertarikannya terhadap kota Jakarta. Berkat usulan teman untuk menjadi tour guide, Farid semakin terikat dengan profesi yang ternyata sejalan dengan kemampuannya ini.

Menurutnya, tour guide ini merupakan pekerjaan yang sangat sesuai dengan dirinya. Bukan hanya karena travelling, tetapi kesukaannya untuk bercerita. Dua modal terbesar untuk menjadi tour guide sudah ia miliki, yakni kemampuan story telling serta berbahasa Inggris.

“Aku dasarnya memang suka cerita. Jadi memang suka ngomong gitu. Jadi kayaknya, memang dua itu modal yang pas untuk jadi tour guide. Kalau jadi tour guide kan harus suka ngomong kan, kalau gak suka ngomong agak repot tuh kan, bisa diam-diaman. Terus yang ketiga, sepertinya aku itu lumayan mendapatkan bakat di bidang bahasa. Jadi, Bahasa Inggris aku itu bisa dibilang lumayan lah gitu. Akhirnya daripada gak terpakai, kalau jadi tour guide kan memang kita ketemu sama orang asing dan Bahasa Inggris itu sudah yang paling basic gitu, jadi sudah pasti terpakai gitu sih,” cerita Farid.

3. Menilik perjalanan Jakarta Good Guide yang berikan jasa keliling kota dengan mengungkap sisi historis di balik gedung-gedung bertingkat

Farid Mardhiyanto: Pandemik Sukses Bikin Tour Guide Harus 'Putar Otak'Jakarta Good Guide (instagram.com/jktgoodguide)

Bersama dengan Candra Adwitiyo, Farid Mardhiyanto membangun JGG pada tahun 2014. Awal mulanya, JGG menargetkan para turis untuk ikut tur keliling kota Jakarta. Ia melihat sebenarnya banyak turis yang jalan-jalan sendiri hanya berbekal buku saja.

Menanggapi hal itu, ia punya keinginan untuk menceritakan banyak hal kepada turis. Itulah mengapa nama-nama rute yang dipilih JGG menggunakan Bahasa Inggris, seperti City Center, China Town, dan Old Town. Menariknya, tujuan utama JGG menargetkan turis bukan karena ingin semakin banyak turis yang datang ke Jakarta.

“Sebenarnya, ketika aku bikin Jakarta Good Guide, sih aku tidak terpikir untuk menarik lebih banyak turis untuk datang ke Jakarta. Aku pun sadar bahwa kayaknya turis ke sini itu, entah mereka mau bisnis atau pun mereka hanya transit. Terus aku pikir, ya sudah, kita masuknya ke situ. Makanya, kita bikin utamanya itu, pertamanya itu, adalah kita bikinnya walking tour. Walking tour itu kan durasinya paling dua sampai tiga jam ya, gak terlalu lama,” tuturnya.

Farid merasa bahwa ia bisa mengisi waktu singkat para turis dengan kisah-kisah kota Jakarta. Daripada berdiam diri di hotel atau melanglang buana sendirian, mereka bisa menghabiskan waktu untuk mengenal kota Jakarta. Tentunya, ia memutuskan adanya walking tour ini dengan alasan tertentu.

“Kalau misalnya diikuti atau mengikuti aktivitas walking tour, pasti akan ngeh lebih banyak tentang kota Jakarta ini. Siapa tahu cerita ke orang lain, terus pendapatnya berubah tentang kota Jakarta, terus kemudian memutuskan lebih lama di Jakarta? Nah, itu kayak tujuan ke sekian lah, efek kedua atau ketiganya. Tapi efek pertamanya memang untuk tujuan mengisi waktu mereka yang sebentar ini di Jakarta,” lanjutnya.

Sampai sekarang, walking tour masih menjadi andalan Jakarta Good Guide. Namun, tetap ada layanan pemandu wisata yang menggunakan mobil atau bis. Ada pula private tour yang diterima oleh JGG, seperti US Embassy yang paling sering mengajak stafnya untuk menelusuri ibukota.

“Ketika tahun pertama, itu kita cuma baru satu rute, itu-itu aja, City Center sekitaran Monas. Lagi-lagi karena tujuan utama kita turis asing. Jadi kita pikir, turis asing pengen tahu ceritanya Monas, Masjid Istiqlal, Katedral, Istana, Museum, gitu kan. Nah, kemudian di tahun kedua itu, mulai bertambah ke Pecinan, Glodok, terus ke Kota Tua. Terus akhirnya kita punya empat rute, satu lagi di Menteng. Nah, terus kemudian 2015-2016 kita setiap bulan akhirnya tambah rute, Pasar Baru, Cikini, Jatinegara, Cilincing gitu,” jelasnya.

Semakin lama rute wisata jalan kaki atau walking tour ini semakin banyak, ditambah dengan museum tour. Saat ini, Farid menjelaskan bahwa ada 30-an rute walking tour yang bisa dinikmati di Jakarta.

“Jakarta Good Guide ini sebenarnya sih, kita tidak tidak memberikan hal yang baru karena justru tempat-tempat yang kita datengin adalah tempat-tempat yang sudah ada dari zaman dulu. Kita hanya membantu mereka mengenal naras atau cerita yang selama ini mungkin mereka belum pernah baca atau belum pernah tahu,” lanjutnya.

Baca Juga: Perjalanan Karier Agus Suwage, 3 Dekade Berkarya Sebagai Seniman

4. Ini dia suka duka jadi tour guide

Farid Mardhiyanto: Pandemik Sukses Bikin Tour Guide Harus 'Putar Otak'Jakarta Good Guide (instagram.com/jktgoodguide)

Di mata masyarakat awam, mungkin tour guide terlihat memiliki segudang privilege. Namun sebaliknya, tak jarang para tour guide juga menemukan beberapa kendala dan hal yang kurang menyenangkan. Seperti yang dirasakan Farid ketika bertugas, ia merasa bahwa masyarakat masih skeptis dengan pekerjaannya.

“Kalau di Jakarta itu, orang-orang tuh, bukan peserta ya, tapi orang-orang umum ataupun keamanan itu masih agak sedikit skeptis. Contohnya, ada satu bangunan nih bagus kan, eh bangunan punya cerita bersejarah penting gitu ya, yang menarik. Tapi kita gak boleh berhenti di depannya gitu atau kita gak boleh lihat di sekelilingnya karena alasan keamanan. Jadi, itu agak sedikit apa ya? Kan kita ingin memberikan kepuasan kepada peserta tur dan ingin menceritakan sebenarnya, membantu menceritakan narasi dari kota ini. Cuma, kadang terbentur dengan itu,” papar Farid.

Kondisi ini sangat bertolakbelakang dengan apa yang ia rasakan ketika mengikuti tur di luar negeri. Baik itu Eropa, Amerika, mereka sangat welcome menerima turis asing untuk masuk atau berdiri di depan bangunan penting. Selain itu, tour guide juga nyatanya kerap dibikin pusing oleh infrastruktur yang belum tersedia dengan baik.

“Sama dukanya adalah ketika infrastruktur di Jakarta, di kotanya itu belum tersedia, kayak misalnya nyeberang. Sekarang kan basically jalan kaki ya, nyebrang susah, tiba-tiba trotoar gak ada. Terus, misalnya kita masuk gang itu banyak motor ataupun mobil yang parkir sembarangan. Itu yang challenging lah tantangannya kalau misalnya jalan kaki di Jakarta,” imbuh Farid.

Meski begitu, masih ada hal lain yang menyenangkan sebagai tour guide. Ia bisa bertemu banyak orang dan memperluas network. Ada perasaan senang juga ketika apa yang Farid berikan, disukai oleh banyak orang. Selama 7 tahun mengelola JGG, hal yang paling berkesan untuknya itu ketika ia bisa mengubah pandangan atau pendapat peserta mengenai kota Jakarta.

Ia bercerita, “Waktu itu, ada peserta aku kebetulan turis asing, orang Amerika. Dia ikut tur Kota Tua kalau gak salah. Sudah jalan, kan panas tuh ya Kota Tua. Panas karena dekat pelabuhan dan segala macam. Terus, di akhir itu, dia ngomong ke aku, pas sudah bubar semuanya, sudah bilang terima kasih, sudah bayar, apa segala macam. Terus dia ngomong ‘Terima kasih, ya! Gara-gara lo tuh pandangan gue tentang kota Jakarta tuh berubah. Sebelum ini tuh, pandangan gue tentang kota Jakarta adalah polusi, macet, rawan kriminalitas, gelap gitu. Tapi ternyata setelah dua jam jalan sama lo, banyak ceritanya dan seru ya. Orang yang gue temuin di jalan itu tuh orangnya ramah-ramah gitu, senyum, nyapa’.”

Siapa sangka blusukan ke gang sempit, berkeliling bangunan lama, menemukan banyak hidden gem bersejarah, ternyata memiliki tempat tersendiri di hati peserta turnya? Bagaikan oase di tengah padang gurun, ia menemukan angin segar yang menggenjot semangatnya. Ada kepuasan tersendiri juga ketika ia melihat unggahan peserta tur di media sosial yang menuai respons positif.

Tahun 2016 bisa dikatakan puncak JGG menerima 80 persen turis asing dari Singapura, Australia, Belanda, Eropa, hingga Amerika. Berkat media sosial juga, semakin banyak pendatang. Namun, tren berubah di tahun 2018. Mulai banyak warga lokal yang berkunjung dan memilih wisata jalan kaki keliling di Jakarta. 

dm-player

“Nah, kemudian COVID-19 mengubah lagi trennya menjadi 95 persen orang lokal lah ya. Sekarang sudah mulai ada lagi orang Australia, Singapura, orang Amerika juga sudah mulai ada. Tapi, porsinya masih sedikit. Masih lebih banyak orang Indonesia yang bahkan ada beberapa dari kayak Surabaya, Semarang yang jalan-jalan ke Jakarta, terus ikut walking tour itu,” pungkasnya.

5. Jakarta Good Guide harus 'putar otak' dan pandai mencari peluang saat pandemik

Farid Mardhiyanto: Pandemik Sukses Bikin Tour Guide Harus 'Putar Otak'Jakarta Good Guide (instagram.com/jktgoodguide)

Pandemik datang dan menyerang hampir seluruh sektor bisnis, termasuk industri pariwisata. Pemberlakuan lockdown, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), akses masuk turis dan tempat wisata ditutup sementara. Kondisi membuat banyak orang mulai kalang kabut untuk bisa mempertahankan usaha mereka.

Hal yang sama juga berlaku bagi Jakarta Good Guide. Farid mengatakan bahwa pandemik sempat membuat aktivitas Jakarta Good Guide terhenti. Dampak nyata lainnya yang terjadi adalah animo masyarakat naik turun tak menentu.

“Aktivitas kita pasti jauh berkurang ya. Cuma sebulan pertama pandemik dari Maret ke April itu kita sebenarnya tidak ada kegiatan sama sekali karena kita hanya berpikir ini mungkin cuma dua minggu, tiga minggu, tapi ternyata kan sebulan lama gitu,” sebutnya.

Mau tidak mau, JGG harus ‘putar otak’ dan memberikan inovasi terbaru. Rupanya, angin segar datang dari salah seorang peserta tur yang memberikan ide membuat tur virtual hanya bermodalkan beberapa video conference dan beberapa video atau foto pendukung.

“Kita bikin lah tur virtual ini menggunakan Zoom, menggunakan Google Maps, dan menggunakan foto atau gambar yang sudah kita kumpulkan. Jadi, akhirnya kita bikin tur virtual. Tur virtualnya awalnya di Jakarta, rute-rute walking tour yang biasa kita datengin. Terus kemudian, setelah berapa bulan berkembang, ternyata banyak permintaan. Ada ide pikiran bikin tour virtual ke luar negeri. Untungnya tour guide kita pernah menjadi tour leader. Ada yang beberapa ke Eropa, ada yang beberapa ke Jepang atau China. Akhirnya bikinlah itu, jadi selama setahun itu, 2020 sampai 2021 pertengahan, kita bikin tur virtual akhirnya,” terang Farid.

Sayangnya, peralihan metode dari yang semula tatap muka hingga tatap layar ini, membuat para tour guide merasa kesulitan. Mau tidak mau, tour guide dihadapkan dengan situasi baru yang membuat mereka harus mempelajari hal baru lagi dalam waktu yang singkat. Kendala yang dialami pun jadi semakin banyak.

Farid mengatakan, “Wah, itu kesulitannya besar sekali, banget, sampai temen-temen tadinya tuh gak pede karena kita biasanya berhadapan dengan orang ya. Nah, ini berhadapan dengan laptop, gadget, terus ngetik-ngetik segala macem, internet. Jadi menurutku lebih melelahkan daripada walking tour beneran ya.”

Selama ini, tour guide terbiasa berbicara secara langsung. Sementara, adanya tur virtual membuat mereka mendapatkan feedback yang kurang maksimal. Yang terpenting, Farid mengatakan bila pandemik ini secara tidak langsung mengasah kemampuan monolog tour guide dan kesiapan dengan kendala teknis yang mungkin bisa terjadi tiba-tiba.

“Orang kalau itu virtual biasanya cuma nonton doang gitu. Misalnya bercanda (saat tatap muka), biasanya ada yang ketawa gitu, kali ini gak. Itu sih yang harus dipelajari lagi skill-nya. Selain itu, kita juga berurusan dengan teknis yang lumayan gak bisa kita kontrol. Salah satunya adalah internet. Di sini, kita baru merasakan bahwa internet di Indonesia itu kayak naik turun deh, gak stabil. Sudah pakai WIFI rumah atau WIFI yang kenceng, tethering, itu pasti ada aja  masa di mana tiba-tiba nge-freeze ataupun koneksinya tiba-tiba putus. Setidaknya kelempar dari Zoom keluar, terus hilang. Itu stres sih atau panik banget di situ. Jadi, hal-hal yang nonteknis yang kadang tuh, suka bikin lebih deg-degannya,” tambahnya.

Aktivitas pariwisata memang hampir mati total akibat terdampak pandemik. Mungkin, hal ini juga yang membuat animo masyarakat naik turun untuk mengikuti tur. Pertama kali membuat tur virtual, antusiasmenya gak main-main. Namun semakin lama, akhirnya masyarakat mulai bosan.

JGG terpaksa mencari jalan keluar baru dengan menyasar perusahaan yang biasanya mengadakan outing. Situasi yang kurang memungkinkan untuk outing, akhirnya bisa terselesaikan dengan tur virtual.

6. Tiap tour guide punya cara dan kesan yang berbeda

Farid Mardhiyanto: Pandemik Sukses Bikin Tour Guide Harus 'Putar Otak'Jakarta Good Guide (instagram.com/jktgoodguide)

Selain materi yang bisa dibaca, hafalkan, dan dengar, seorang tour guide harus people person. Menurut Farid, untuk menjadi tour guide sama dengan orang harus suka bergaul, bertanya, dan menyenangkan orang lain.

“Kalau dia udah gak people person, akan jauh lebih sulit bagi dia untuk menjadi tour guide yang menyenangkan. Gini, menurutku jadi tour guide yang menyenangkan itu jauh lebih penting daripada menjadi tour guide yang pintar,” ujarnya.

Pengalaman bertahun-tahun jadi tour guide membuka pandangan Farid bahwa menyenangkan dan pintar adalah dua kondisi yang berbeda. Sosok tour guide yang pintar itu bisa upgrade diri sendiri. Sementara sosok yang menyenangkan memang harus ada dasar dalam diri sendiri. Pasalnya, melatih seseorang jadi sosok yang menyenangkan itu lebih susah. 

“Pribadi kamu itu memang sudah harus menyenangkan dulu karena untuk melatih menjadi orang yang menyenangkan, lebih susah dibandingkan menghafalkan materi sih. Menurutku, itu skill yang harus dimiliki. Kalau bahasa bisa les, materi bisa baca, bisa denger, bisa latihan, apalagi kalau foto bisa print sendiri. Kalau misalnya skill, secara teknis bisa belajar. Tapi kalau jadi people person, pribadi yang menyenangkan buat orang lain itu yang menurutku dasar jadi tour guide,” ucapnya.

JGG setiap hari membuka rute untuk walking tour. Otomatis, tour guide wajib tahu seluk-beluk tempat-tempat atau daerah yang mereka kunjungi. Farid memaparkan bahwa sebenarnya ia sering mengikuti pelatihan baik dari senior, asosiasi, sejarawan, maupun arkeolog. Buku juga jadi sumber acuannya untuk membuat materi.

“Kita biasanya baca tulisannya Mas Bonnie Triyana, sejarawan Mas J.J. Rizal, kemudian Pak Alwi Shahab, tahu juga tulisannya Pak Candrian Attahiyat, pokoknya sejarawan-sejarawan gitu lah. Jadi kalau misalnya internet itu kita kurasi sih, ini terpercaya gak ya? Jadi gak semuanya dimasukkan,” tambahnya.

Selain itu, Farid juga mendengar langsung dari orang yang berada di tempat atau berkaitan dengan tempat tersebut. Namun, memang tidak semua tempat memiliki ahli sejarah atau pun orang yang bertanggung jawab sehingga ia menggunakan perspektif dari banyak orang untuk disampaikan kembali kepada wisatawan.

Menariknya lagi, setiap tour guide pasti memiliki cerita atau kesan yang berbeda. Hal ini diungkapkan Farid bahwa tiap tour guide akan mengambil sentimen atau angle yang berbeda-beda. Dasarnya sama, tapi feeling yang diberikan setiap tour guide akan berbeda.

“Mungkin banyak orang gak sadar kalau misalnya si tour guide memang punya dasar cerita yang sama. Biasanya, hampir tujuh persen itu dasarnya sama, tapi setiap tour guide punya kesukaan cerita yang beda-beda nih. Cerita atau sudut pandang, fakta-fakta menarik yang disukai oleh tour guide antara satu dengan yang lain itu agak berbeda,” katanya.

7. Mengadopsi style luar negeri, Jakarta Good Guide terapkan konsep “pay as you wish”

Farid Mardhiyanto: Pandemik Sukses Bikin Tour Guide Harus 'Putar Otak'Jakarta Good Guide (instagram.com/jktgoodguide)

Bila selama ini kita terpaku oleh harga yang sudah ditetapkan dari guide, JGG punya cara yang berbeda. Farid sebagai Founder Jakarta Good Guide, sengaja mengadopsi gaya tur luar negeri yang mengusung konsep “pay as you wish”. Apakah itu?

Konsep ini berawal dari pengalamannya sewaktu mengikuti walking tour di London. Mereka menggunakan istilah ‘free walking tour’ sehingga setiap orang yang ingin ikut tur bisa langsung berkumpul di meeting point tanpa harus registrasi terlebih dahulu.

“London ya kota wisata yang udah mendunia. Akhirnya ramai yang datang, ada yang sendiri, ada yang berdua, bertiga. Ini kayaknya walking tour pertama yang aku ikutin. Jadi aku berpikir ‘oh ini free’. Setelah dua jam keliling dan diceritain segala macem, di akhir tur, si guide-nya ngomong ‘silakan memberikan apresiasi kepada saya untuk tur ini’. Aku lihat sekeliling kok orang-orang sepertinya udah tahu kalau free walking tour ini ending-nya ngasih tip ke tour guide. Terus aku pikir, oke ternyata begini ya caranya,” ucap Farid.

Namun, istilah free walking tour di Indonesia bisa saja menimbulkan kesalahpahaman. Akhirnya, Farid memutuskan untuk menggunakan konsep “pay as you wish”, yang mana setiap orang berhak memberikan berapa pun yang mereka inginkan sesuai kepuasan mereka terhadap tur tersebut. Tidak ada batasan harga tertentu untuk bisa mengikuti tur JGG.

“Sekarang kan kita pakai QR, udah gak pakai cash lagi. Lagian kalau pun pakai cash juga, aku kan biasanya kasih kayak semacam pouch gitu buat dikelilingin kayak kotak amal gitu. Jadi kan gak tahu juga orang ngasih berapa atau dianya gak masukin, ya gak ketahuan. It’s part of the risk, bagian dari resiko kita bikin sistem “pay as you wish” ini. Dulu sempet ada yang bilang, supaya lebih pasti, orang suruh bayar aja di awal sepuluh ribu. That’s not the idea, idenya bukan seperti itu. Idenya kayak memudahkan orang supaya bisa ikutan," ungkapnya.

8. Walking tour jadi opsi wisata yang 'aman' di masa new normal

Farid Mardhiyanto: Pandemik Sukses Bikin Tour Guide Harus 'Putar Otak'Jakarta Good Guide (instagram.com/jktgoodguide)

"Pandemik ini membuat walking tour itu sebenarnya salah satu tur yang 'aman' karena lebih banyak di outdoor. Kalau di outdoor itu kan lebih aman dan membuat kita sadar kalau perlu lebih banyak waktu untuk berada di luar ruangan. Entah itu di kantor atau rumah, di luar ruangan itu lebih aman itu sih. Walking tour itu membuat orang jadi bisa berwisata tanpa harus terlalu jauh mencarinya," cerita Farid.

Pandemik nyata membawa banyak perubahan. Hampir semua orang pernah merasakan berbagai macam kesulitan karena dampak pandemik, tak terkecuali JGG. Gak selamanya negatif, justru walking tour dan virtual tour yang diadakan oleh JGG merupakan pengobat rindu jalan-jalan dan opsi wisata yang ramah lingkungan.

"Akhirnya ya pandemik membuat kita lebih slow down sih hidupnya, mengurangi pergerakan-pergerakan yang kayaknya seharusnya sih gak perlu ya. Sekarang segala sesuatunya bisa dilakukan secara online gitu kebanyakannya. Me-reset cara pikir kita," ujarnya sekaligus menutup sesi wawancara.

Menurutnya, seorang tour guide sudah seharusnya punya mindset untuk melayani orang lain. Untuk itu, Farid dan tim pun bersepakat untuk tetap profesional dengan berkomitmen untuk tetap jalan sekalipun hanya satu orang yang datang.

Selama ini, Kota Metropolitan terkenal dengan gedung bertingkat dan mall yang menyebar luas. Bagaimana tidak? Banyak orang lebih memilih nongkrong dan bercengkrama santai tanpa harus terpapar teriknya sinar matahari. Namun, hal ini berhasil dipatahkan oleh JGG.

Di balik sisi modern kota Jakarta, Farid berusaha membuka pandangan orang lain bahwa kita bisa merekam jejak nostalgia dan sisi historis dengan cara yang santai. Semoga semangat Farid Mardhiyanto menyebarkan budaya melalui JGG ini bisa menular ke kamu, ya!

Baca Juga: Cara Nia Sugihrehardja Hidupkan Limbah Karton Susu Jadi Makin Berkelas

Topik:

  • Febriyanti Revitasari

Berita Terkini Lainnya