Perjalanan Asaelia Aleeza Meretas Stigma Isu Kejiwaan yang Dinilai Aib

Misinya melawan persepsi negatif dengan edukasi

Kesehatan jiwa merupakan kondisi di mana individu sehat dalam segala aspek yang mendukungnya untuk bisa bekerja secara produktif dan berkontribusi terhadap masyarakat. Gak dipungkiri, isu seputar kesehatan mental atau kejiwaan masih menjadi tantangan serius bagi bangsa Indonesia. 

Mirisnya, Data Riskesdas tahun 2018 menyebutkan bahwa isu kejiwaan ini justru banyak terjadi pada usia produktif (15-24 tahun). Permasalahannya, isu yang meningkat ini tidak sejalan dengan kesadaran masyarakat. Prihatin dengan kondisi ini, Asaelia Aleeza akhirnya membentuk organisasi non profit yang bertujuan melawan stigma tersebut.

Ia membagikan cerita dan pengalamannya mengembangkan 'Ubah Stigma' dalam wawancara khusus dengan IDN Times, pada Kamis (16/9/2021). Ingin tahu kisahnya? Simak cerita lengkapnya dalam artikel ini.

1. 'Ubah Stigma' berangkat dari keprihatinan terhadap isu kesehatan mental yang masih tabu

Perjalanan Asaelia Aleeza Meretas Stigma Isu Kejiwaan yang Dinilai AibAsaelia Aleeza dan Emily, Co-Founder Ubah Stigma (Dok. Istimewa)

Keprihatinan Asaelia Aleeza terhadap kondisi kesehatan mental di Indonesia menjadi fondasi utama terbentuknya organisasi non profit bernama Ubah Stigma. Sebagai anak muda yang baru memulai kehidupan perkuliahannya beberapa tahun silam, ia mulai mengenal dan menyadari pentingnya kesehatan mental.

Asaelia merasa bahwa panggilan hidupnya adalah melayani orang lain. Namun saat itu, ia belum tahu bagaimana cara yang tepat untuk berkontribusi dan menjadi berkat untuk orang lain.

Ketertarikannya terhadap dunia kesehatan mental ini berawal dari latar belakang pendidikan, yaitu psikologi. Berlandaskan minat yang sama, Asaelia sering berkomunikasi dengan Emily Jasmine (teman sekaligus co-founder Ubah Stigma).

"Suatu ketika kita ngobrol, 'kenapa ya orang indonesia itu gak berani ke psikolog?'. Saya pikir 'iya juga ya, oh ternyata itu karena stigma di Indonesia. Keluarga, komunitas, sosial itu belum terbuka tentang hal itu. Kalau ada orang yang ngomongin mental health, pasti dihakimi atau menjadi aib dalam sebuah keluarga," jelasnya.

Menurutnya, permasalahan akan kesehatan mental ini bukan dari individu itu sendiri melainkan stigma masyarakat. Apalagi Indonesia masih erat dengan budaya kolektif, yang mana masyarakat mudah mendengarkan apa kata orang lain. Kesehatan mental acapkali dipandang sebelah mata.

Pengalamannya berkuliah di luar negeri membuat Asaelia merasakan sendiri perbedaan penanganan atau layanan kesehatan mental yang diberikan. Di Indonesia, layanan khusus untuk kesehatan mental terbilang minim. Sementara di Inggris, pelayanan dan aksesibilitasnya lebih terstruktur, bahkan ada institusi khusus.

2. Sesuai nama organisasi, Asaelia punya misi besar untuk mengubah persepsi negatif melalui 'Ubah Stigma'

Perjalanan Asaelia Aleeza Meretas Stigma Isu Kejiwaan yang Dinilai AibLet's Talk about Mental Health (Dok. Istimewa)

"Saya lihat anak muda itu punya banyak talent dan passion. Kalau mereka produktif dan memiliki kesehatan mental yang baik itu bisa menghasilkan sesuatu yang besar, gak cuma untuk diri sendiri tapi juga untuk komunitas dan masyarakat," tutur Asaelia.

Passion-nya terhadap anak muda makin menguatkan Asaelia untuk mengambil perubahan demi melawan stigma. Bersama dengan temannya Emily, Asael mulai membuat event pertama bertajuk Let's Talk about Mental Health.

Nyatanya, respons yang didapatkan positif dan helpful. Rencana membentuk komunitas yang fokus mengubah stigma, mengalami perubahan menjadi lebih baik lagi. Kini, Ubah Stigma resmi berbentuk NGO (Non Profit Organization) secara hukum.

Sesuai dengan namanya, Ubah Stigma bertujuan untuk mengubah stigma atau persepsi negatif masyarakat terhadap kondisi kesehatan mental yang acap dianggap tabu. "Kalau ingin mengubah stigma, ya caranya edukasi orang," ucapnya.

"Kami memang fokus ke edukasi kesehatan mental. Jadi semua program program yang kami lakukan itu fokusnya mengedukasi. Mungkin sekarang mulai banyak mental health services yang memberikan peer counseling. Tapi kami tetap fokusnya edukasi," jelasnya.

Dalam tim, Asaelia menekankan untuk staying relevant dengan setiap isu yang dibahas dalam ranah kesehatan mental. Hal ini ia rasakan selama 1.5 tahun bergumul dengan pandemik, muncul banyak mental health issues pada masyarakat dengan variasi range usia.

Mulai dari mahasiswa dan pekerja yang merasa burnout hingga zoom fatigue. Untuk itulah, Ubah Stigma hadir memberikan konten-konten yang bisa membantu generasi Z dan millenial untuk tetap 'waras' di masa sulit ini.

3. Tantangan terbesarnya adalah menyeimbangkan edukasi dan self diagnose

Perjalanan Asaelia Aleeza Meretas Stigma Isu Kejiwaan yang Dinilai AibLet's Talk about Mental Health (Dok. Istimewa)

Selain timbulnya permasalahan baru akibat pandemik, Asaelia mengaku bahwa tantangan terbesar dalam membangun Ubah Stigma ialah menyeimbangkan edukasi dengan self diagnose.

"Saya melihat ada fenomena di mana orang itu mengikuti tren atau mengikuti apa kata influencer. Orang mungkin yang gak punya atau gak terdiagnosa dengan mental illness jadi menduga-duga diri sendiri. Jadi mental health issues itu digunakan sebagai tren, dibandingkan sesuatu yang memang seseorang alami," terangnya.

Kalimat "It's okay to not be okay" pasti familiar terdengar. Yang ingin digarisbawahi oleh Asaelia ialah jangan stuck menjadi 'be not okay' terus, melainkan harus bangkit. 

Perempuan yang sedang menempuh Magister Psikologi Profesi ini juga melihat bahwa sumber daya manusia dan aksesibilitas terhadap fasilitas atau layanan kesehatan mental di Indonesia kurang memadai. Contohnya masih banyak orang yang bingung harus kemana dan prosesnya seperti apa.

Isu kesehatan mental saat ini sudah tidak setabu dulu. Mulai banyak orang yang berani speak up. Sayangnya masih banyak orang yang belum memahami sepenuhnya apa itu kesehatan mental, gangguan mental, hingga penanganannya.

Berkaca dari kondisi tersebut, ia menyadari bahwa sosialisasi baik dari organisasi maupun pemerintah yang relatable dengan kondisi masyarakat itu penting digaungkan. Sebagai organisasi, Asaelia dan tim juga berupaya berinovasi dalam membuat beragam program yang bisa menjangkau banyak orang.

Baca Juga: Maureen Hitipeuw, Perangkul Sesama Ibu Tunggal untuk Hidup Berdaya

dm-player

4. Setiap program yang diluncurkan Ubah Stigma merupakan bentuk social support

Perjalanan Asaelia Aleeza Meretas Stigma Isu Kejiwaan yang Dinilai AibSenigma, Program Ubah Stigma (Dok. Istimewa)

Menjelang World Mental Health Day pada bulan Oktober mendatang, Ubah Stigma memiliki acara rutin tahunan bernama Senigma. Di tahun 2019, Senigma sempat diselenggarakan secara offline. 

Senigma merupakan art exhibition yang berisi karya-karya dari siapa pun, termasuk mereka yang memiliki isu kejiwaan untuk bisa mengekspresikan diri melalui seni.  Program ini merupakan bentuk apresiasi terhadap hari Kesehatan Mental Dunia. 

"Jadi kami interview beberapa orang dari senigman (sebutan untuk mereka yang terlibat dalam acara Senigma). Mereka bilang bahwa mereka bersyukur bahwa adanya platform Senigma ini, mereka gak hanya mengedukasi tentang kesehatan mental. Tapi mereka juga merasa didengar. Itu salah satu misi kami juga sih. Orang yang punya mental health issues selama ini harus memendam semuanya. Mereka akhirnya punya platform untuk ekspresi diri, refleksi diri, menyuarakan apa yang mereka rasakan," cerita Asaelia.

Dengan semangat, Asaelia kembali menjelaskan program lainnya. Senigma bertujuan untuk mengekspresikan diri melalui seni. Sementara Let's Talk about Mental Health berupa diskusi panel antara expert dengan penyintas.

Selain itu ada Let's Learn yaitu workshop untuk orang-orang agar bisa menerapkan langkah praktis menghadapi isu kesehatan mental. Misalnya memberikan edukasi dalam menerapkan self compassion atau bagaimana caranya dealing with toxic family.

Lulusan Master Ilmu Kesehatan Mental Klinis dari University College London ini juga berupaya mengembangkan organisasi yang produktif dengan menjangkau berbagai kalangan. Target Ubah Stigma memang anak muda, tetapi Asaelia juga berupaya memberikan berkontribusi bagi sekolah-sekolah di Indonesia.

"Kami sedang membangun program generasi tangguh, itu program untuk anak umur 10-12 tahun. Jadi ini untuk meningkatkan kesejahteraan anak-anak yang bisa membekali mereka nanti di masa dewasa. Gimana caranya mereka bisa bounce back, gimana caranya bisa meregulasi emosi supaya kesehatan mental mereka masih aman," ucapnya.

5. Core value yang penting dimiliki untuk lebih aware terhadap isu kesehatan mental

Perjalanan Asaelia Aleeza Meretas Stigma Isu Kejiwaan yang Dinilai AibUbah Stigma (Dok. Istimewa)

Ada beberapa value penting yang harus ditanamkan setiap orang agar bisa melawan stigma yang ada. Untuk mengubah stigma, tentu gak bisa terjadi instan. Kita harus menjadi orang yang open minded.

"Saya percaya kalau dengan open mindedness, orang itu bisa bertumbuh. Jadi gak cuma untuk orang lain, tapi juga untuk diri sendiri. Kalau mau belajar, mau menjadi orang yang always improving ourselves itu harus open minded," lugasnya.

Bicara soal stigma atau perspektif negatif terhadap isu kejiwaan, Asaelia menekankan tiga hal penting. Ada active listening, empathy, dan self compassion.

"Cobalah untuk mendengar juga apa yang mereka punya untuk di-share dan tidak menghakimi mereka. Ingatlah bahwa setiap kita mendengar pasti ada alasannya kenapa mereka berkata seperti itu," terangnya.

"Dari active listening itu untuk bisa open mindedness, kita juga harus memiliki empati terhadap orang lain. Coba taruh posisi kita di tempat orang lain, jangan semau-mau kita sendiri. Jangan merasa kita yang paling benar. Balik lagi, semua orang memiliki stand point sendiri dan ada alasannya mereka memiliki stand point itu. Entah itu latar belakang keluarga atau trauma yang mereka miliki. Jadi perlu empati dan compassion. Self compassion itu juga yang membuat orang jadi terbuka sama kita. Jadi gak hanya mencoba mengubah stigma mereka," pungkasnya.

Kalau kamu mau mengubah stigma, otomatis mereka juga harus percaya dan nyaman dengan kamu. Hal-hal itu yang harus kamu miliki dan asah. Contohnya, open mindedness ini juga diterapkan Asaelia ketika bekerja dengan tim Ubah Stigma. 

"Saya belajar banyak ketika bekerja dengan banyak perempuan yang hebat-hebat. Belajar bagaimana sebagai perempuan itu kita gak boleh membandingkan diri dengan sesama. Saya bisa melihat bahwa 'wah dia itu memang ahli di ranahnya sendiri'. Ketika dia sudah mencapai sesuatu, melihat jerih payah mereka maka kita harus celebrate bareng dengan mereka," lanjutnya. 

6. Bersama tim Ubah Stigma, Asaelia berkomitmen untuk bisa berbuah bagi kehidupan orang lain

Perjalanan Asaelia Aleeza Meretas Stigma Isu Kejiwaan yang Dinilai AibUbah Stigma (Dok. Istimewa)

Ketika ditanya perihal harapan besarnya, Asaelia dan Ubah Stigma akan berusaha untuk terus konsisten. Ia ingin memberikan impact yang fruitful, serta bisa mengubah kehidupan orang lain dan generasi selanjutnya. Ia juga berharap generasi Z bisa melihat kesehatan mental sebagai kesejahteraan, sama pentingnya dengan kesehatan fisik.

Bagi perempuan berambut panjang ini diperlukan keberanian untuk speak up demi menjadi agent of change. Intention yang baik, akan membawa kita pada hal yang baik juga.

"Have more conversation, itu yang paling penting. Engage melalui conversation itu benar-benar bisa mengubah pikiran kita dan memberikan critical thinking. Gak hanya melihat dari sudut pandang kita sendiri, tapi kita juga bisa melihat dari sudut pandang orang lain," ujarnya sembari menarik napas.

7. Pesan Asaelia untuk Gen Z yang sedang menghadapi Quarter Life Crisis

Perjalanan Asaelia Aleeza Meretas Stigma Isu Kejiwaan yang Dinilai AibUbah Stigma (Dok. Istimewa)

Serasa menutup obrolan hangat ini, Asaelia menyampaikan pesannya untuk generasi Z yang sedang mengalami quarter life crisis. Ia percaya bahwa segala sesuatu terjadi pada waktu yang tepat.

"Cobalah untuk melihat quarter life crisis ini sebagai proses. Proses pembentukan karakter dan ketangguhan kita juga. Nanti pada saat kita udah melewati quarter life crisis itu, kita akan mengerti proses itu memang untuk kebahagiaan dan mendewasakan diri sendiri," ujarnya menyemangati.

Seperti menikmati perjalanannya membangun Ubah Stigma, Asaelia mengajak kita untuk enjoy menjalani hidup. Tak lupa, ia melihat pentingnya menerapkan mindfulness.

"Dengan mindfullness, kita itu balik ke apa yang terjadi sekarang dan apa yang bisa kita lakukan sekarang. Bukan membandingkan diri dengan orang lain. Jadi benar-benar fokus terhadap diri sendiri, pada apa yang bisa ku kerjakan sekarang," tutupnya.

Itulah kisah Asaelia Aleeza berjuang membangun Ubah Stigma untuk melawan persepsi negatif terhadap isu kesehatan mental yang kerap dianggap tabu. Semoga banyak insight yang bisa menyadarkanmu akan pentingnya kesehatan mental, ya. Yuk, saling menyebarkan semangat positif!

Baca Juga: Kisah Rosiana Alim Ubah Mindset Pejuang Dua Garis tentang Infertilitas

Topik:

  • Agustin Fatimah

Berita Terkini Lainnya