Kisah Sarfraz Manzoor, yang Ingin Jadi Terbaik untuk Putrinya
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Seorang lelaki juga memiliki kasih sayang yang besar, khususnya untuk anaknya. Itu yang dibuktikan oleh Sarfraz Manzoor kepada putrinya. Sarfraz kehilangan ayahnya karena serangan jantung mendadak ketika ia akan berumur 24 tahun. Ayahnya bernama Mohammed Manzoor, di mana kematiannya menimbulkan lubang yang begitu besar dalam diri Sarfraz.
Hal yang paling dirindukan Sarfraz adalah pelukan ayah ketika ia tidur. Ia merasa terlindungi dan sangat bersyukur bisa meringkuk di kasur dan diapit kedua orang tuanya. Sarfraz merasa aman dengan keberadaan dua malaikat pelindungnya. Perasaan aman itu membuatnya terpukul di tahun-tahun awal kematian Mohammed.
Sarfraz dirundung kesedihan yang dalam. Ia berusaha mengingat di mana biasanya ayahnya berada. Ketika keberadaan ayahnya semakin hilang, ia mencoba mengingat lebih keras suara Mohammed. Sarfraz juga berusaha membangkitkan rasa ketika ia berpegangan tangan dengan ayahnya tersebut. Bahkan perasaan bisa memegang kapal di tumit kaki pun ayahnya pun membuatnya cukup bahagia.
Sumber Gambar: theguardian.com
Editor’s picks
Kematian Mohammed tak hanya menghapuskan posisi ayah di keluarga kecil Sarfraz. Dia juga kehilangan sosok guru, kakak, dan pelindung yang mengajarinya tentang keberanian menghadapi dunia. Kala itu Sarfraz masih sangat ingin belajar bagaimana menjadi seorang lelaki tangguh. Perlu diketahui, Mohammed pernah hidup di Inggris sendirian selama 11 tahun. Ia bekerja di sana untuk menghidupi Sarfraz dan Ibunya yang tinggal di Pakistan.
Kepergian Mohammed adalah bom atom. Meluluhlantakan peradaban Sarfraz; manuskrip, catatan sejarah keluarga, dan memudarkan dokumentasi perjalanan keluarga. Hingga menjadi secuil ingatan tak berarti.
Namun Sarfraz menampik kenyataan bahwa kematian ayahnya membuat hidup hanya seperti potret foto tak bermakna. Ia bangkit, tak ingin lagi menangisi kenyataan tersebut. Ia tahu ayahnya tak akan senang dengan kondisinya kala itu. Sarfraz ingin membuat ayahnya bangga, bahwa pengorbanannya tak sia-sia. Bahwa apa yang telah ditumbalkan ayahnya sebagai pekerja imigran masih utuh, bukannya hilang bersama kematiannya.
Sarfraz merancang ulang hidupnya. Ia menikah, meskipun sebagian besar keluarga tidak menyetujui istrinya. Istrinya adalah ras kulit putih yang berbeda agama. Namun ternyata kasih sayang terhadap kemanusiaan mampu menembus batas ras dan agama. Itu malah ditunjukan oleh putrinya, Laila.