Muda Sadar Budaya: Tekad Anjani S. Arum Memantik Asa Pembatik Cilik

Melestarikan budaya untuk senyum Indonesia

Suasana asri nan sejuk khas dataran tinggi, tepatnya di Dusun Binangun, Desa Bumaji, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Jawa Timur menjadi rumah bagi Batik Tulis Banteng Agung. Ya, motif batik bantengan khas Kota Batu yang sudah dikenal hingga kancah internasional.

Anjani Sekar Arum (30), perempuan dari keluarga seniman yang menjadi pencetusnya. Kecintaannya terhadap budaya, terutama batik menjadi salah satu jalan meraih SATU Indonesia Awards 2017. Apresiasi yang diberikan Astra kepada generasi muda tersebut menjadi bukti kontribusi positif Anjani bagi masyarakat.

Perjuangannya untuk melestarikan budaya melalui batik memang tidak selalu mulus. Namun tekadnya untuk mengobarkan semangat dan menebar senyum untuk seniman batik masih berlangsung hingga saat ini.

1. Terinspirasi dari budaya bantengan

Muda Sadar Budaya: Tekad Anjani S. Arum Memantik Asa Pembatik Cilikmotif batik banteng (instagram.com/anjanibatikgaleri)

Saat itu Pemerintah Kota Batu menyelenggarakan acara tahunan bertajuk Gebyar Bantengan Nusantara. Bertujuan untuk mengangkat kesenian lokal Kota Batu. Sekitar 1.600 kepala banteng dan lebih dari 5.000 budayawan bantengan turut berpartisipasi.

Bukan hal yang mengejutkan, sebagian besar dari mereka merupakan seniman bantengan. Bahkan, nyaris selalu ada di lingkup RT maupun RW. Tidak hanya orang dewasa, anak-anak biasanya telah mengenal bantengan.

Partisipasi mereka untuk melestarikan kesenian asli Kota Batu berhasil meraih Rekor MURI. Minat masyarakat terhadap kesenian bantengan pun semakin meningkat.

Sejak saat itu, tekad Anjani semakin kuat untuk menjadikan bantengan sebagai ikon motif batik khas Kota Batu. Jika menggunakan motif seperti apel atau stroberi, di daerah lain pun banyak. Contohnya saja di kota tetangga, Kabupaten Malang yang juga menjadi motif khas.

Kota Batu yang kala itu baru berdiri, belum memiliki motif batik khas daerah. Sehingga perlu motif batik yang berbeda dari daerah lain. Hal tersebut yang melatarbelakangi lahirnya motif batik banteng.

2. Pameran pertama hingga keliling dunia

Muda Sadar Budaya: Tekad Anjani S. Arum Memantik Asa Pembatik CilikAnjani Sekar Arum di pameran batik (instagram.com/anjanibatikgaleri)

Motif batik banteng pertama kali dibuat dan diluncurkan pada 29 Agustus 2014 di Gallery Raos. Saat itu juga, batik banteng disahkan sebagai batik khas Kota Batu.

Berawal dari pameran sederhana, hingga keliling dunia dilakoni untuk memperkenalkan dan menunjukkan budaya bantengan melalui motif batik. Meski, pelaku dari Indonesia hanya dua orang, tidak menyurutkan tekadnya. Ia berkolaborasi dengan seniman dari luar negeri.

“Batik bantengan ini, akhirnya semakin dikenal oleh masyarakat. Karena bukan sekadar membuat batik, tapi ada filosofi dan maknanya. Motif ini adalah budaya khas Batu yang memiliki bermakna,” kata Anjani yang juga kerap disampaikannya ketika memperkenalkan batik bantengan.

Kiprah batik banteng pun semakin melejit, bahkan berpartisipasi dalam pameran di Eropa. Ia mengaku bukan berjualan batik. Namun ingin memperkenalkan bantengan sebagai budaya Kota Batu, melalui sebuah karya.

3. Meramu kecintaannya terhadap seni, budaya dan pengalaman

Muda Sadar Budaya: Tekad Anjani S. Arum Memantik Asa Pembatik Cilikkegiatan membatik (instagram.com/anjanibatikgaleri)

Pemilik Sanggar Batik Tulis Andhaka ini, pernah menempuh pendidikan Jurusan Seni dan Desain, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang (UM). Salah satu langkah untuk mengasah minat dan bakatnya di bidang seni.

Ia memang lahir dan tumbuh di tengah keluarga seniman. Bapaknya merupakan Ketua Komunitas Penggiat Budaya Kota Batu, khususnya bantengan. Paman, nenek, dan keluarga lainnya merupakan seniman.

Anjani sudah terbiasa melukis sejak kecil, sayang di masa setelah kelulusannya dari bangku kuliah tidak lagi menggantungkan hidup pada sebuah kanvas. Masuknya seni grafis atau cetak, sedikit menggusur kepopuleran lukisan.

Ia memutuskan untuk membuat batik. Ketika laku, ia juga ingin menghidupi budayawan. Memulai memang bukan perkara mudah, ia cukup kesulitan mencari pembatik.

Mencari pembatik di Batu cukup sulit, terlebih Batu bukan Kota Batik. Apalagi hanya ada tiga pembatik saat itu, tapi semuanya tertutup terhadap masyarakat. Sehingga sulit, jika ingin belajar membatik.

Beruntung, Anjani bertemu dengan Bu Mina, pemilik Batik Raden. Sejak saat itu, ia mulai belajar batik dengan ciri khasnya sendiri, yakni batik bantengan dengan seizin para budayawan. Karena, penghasilan dari batik yang dijualnya, sebagian digunakan untuk menghidupi budayawan.

Anjani ingin menyenangkan sejumlah “pendekar” yang sudah sepuh dan masyarakat bantengan yang sebagian besar merupakan masyarakat menengah ke bawah. Supaya mereka tetap turut melestarikan budaya.

Baca Juga: Kisah Inspiratif TUKONI, Bantu Ratusan UMKM Terdampak Pandemik

4. Menyulut asa pembatik cilik

Muda Sadar Budaya: Tekad Anjani S. Arum Memantik Asa Pembatik CilikKomunitas Pembatik Cilik (instagram.com/anjanibatikgaleri)

Walau jalan berliku, Anjani berhasil menunjukkan komitmennya. Mulai 2014-2017, kegiatannya yang berhubungan dengan batik mulai diekspos oleh media. Seperti pelatihan membatik secara gratis atau mengajak anak-anak untuk membatik.

Uniknya, Anjani justru lebih tertarik untuk memberdayakan anak-anak. Ia berkaca pada pengalamannya ketika menjadi guru selama 5 tahun di SMPN 1 Batu. Cukup memprihatinkan saat melihat karya siswa yang mangkrak, tidak terawat. Padahal, karya bagus.

“Lebih baik mengajak anak-anak berlatih membatik. Kemudian, biarkan mereka berkarya dan kita ajarkan prosesnya seperti apa, lalu kita bantu jualkan,” tutur Anjani.

Minat anak-anak pun meningkat, apalagi saat musim liburan. Sedangkan Anjani membantu memasarkan hingga menjualkan karya mereka. Hasilnya pun, bisa mereka nikmati untuk memenuhi kebutuhan.

Seiring berjalannya waktu, kurikulum sekolah berubah. Hal tersebut turut mengurangi waktu untuk berkarya. Di sisi lain, ia mulai mengajak ibu-ibu untuk berlatih batik, walau tidak setiap hari.

Sambil mencari pembatik cilik, juga mencari pembatik ibu-ibu. Sehingga kegiatan membatik tetap berjalan.

Proses mendesain dan pewarnaan dilakukan di Sanggar Andhaka, sedangkan proses mencanting dilakukan di rumah masing-masing. Sehingga, pekerjaan rumah tangga pun tidak terbengkalai.

dm-player

Menyulut semangat memang tidak mudah, terbatasnya kualitas sumber daya manusia menjadi salah satu hambatan. Tidak semua telaten melalui proses membatik dalam jangka panjang. Beberapa di antaranya pun mundur di tengah jalan, tapi tidak menyurutkan semangat Anjani dalam berkarya untuk Indonesia.

5. Kegiatannya menarik perhatian media hingga meraih SATU Indonesia Awards

Muda Sadar Budaya: Tekad Anjani S. Arum Memantik Asa Pembatik CilikAnjani Sekar Arum dan Andy F. Noya

Upaya Anjani untuk melestarikan budaya menarik perhatian media. Salah satu media mendaftarkannya dalam SATU Indonesia Awards (SIA) yang diselenggarakan Astra Indonesia. Media tersebut pula yang menuliskan kisah perjalanan Anjani.

Awalnya ia kurang paham, apalagi bukan termasuk orang yang suka mengikuti kegiatan seperti itu. Sebab, ia fokus mengembangkan anak-anak dan ibu-ibu di sini (Kota Batu). Bahkan, ia baru mengetahui si penulis yang mendaftarkannya dalam SATU Indonesia Awards sekitar satu tahun lalu.

Ia baru menyadari, setelah Panitia SIA memberikan petunjuk teknis. Kala itu, Anjani sudah masuk 24 besar dari sekitar 3.800 peserta. Ia tidak menyangka bahwa program sekecil ini, bisa masuk SIA. Ternyata, panitia telah memantau kegiatan Anjani lebih dari 3 tahun. Selama itu, programnya semakin melejit dan semakin banyak pula yang dikembangkan.

Kelebihan yang menjadikan Anjani berhasil meraih penghargaan SIA, yakni membuka lapangan usaha baru dan tetap melestarikan budaya. Budaya batik dan bantengan yang turut “memelihara” para budayawan.

Ia berhasil meraih penghargaan SATU Indonesia Awards 2017 di Pilar Kewirausahaan dan menjadi Juara Favorit.

6. Tetap berkarya di tengah pandemi COVID-19

Muda Sadar Budaya: Tekad Anjani S. Arum Memantik Asa Pembatik Cilikmasker salah satu produk turunan batik (instagram.com/anjanibatikgaleri)

Sebelum pandemi COVID-19, Anjani sudah sudah memiliki pangsa pasar tersendiri untuk batik yang dihasilkan. Bahkan, sampai banjir pesanan. Sebab, sampai saat ini hanya ada 5 pembatik di Kota Batu, hanya 2 yang memiliki galeri, sisanya merupakan industri rumahan.

Sedangkan di Pemkot Batu, ada ribuan pegawai yang diwajibkan menggunakan seragam batik Batu. Dari 5 pembatik tersebut, hampir 40 persen dinas dilayani oleh Anjani, sisanya pembatik lain.

Seolah tidak bisa berhenti melayani, hanya untuk seragam dinas, belum lagi pesanan dari luar. Banyaknya pesanan, membuatnya belum memikirkan produk turunan dari batik.

Sejak pandemi COVID-19, ia memikirkan untuk menghabiskan stok yang sudah ada dan cara untuk bertahan. Tidak dipungkiri bahwa pandemi menjadi masa yang cukup berat untuk dilalui. Kondisi awal pandemi pun berdampak terhadap perekonomian. Tidak sedikit yang harus gulung tikar dan kolaps.

Berbeda dengan usaha mikro, kecil, dan menengah (UKM) yang dikelola Anjani. Bukannya mengurangi, tapi justru menambah jumlah tenaga kerja. Ia menampung sejumlah orang yang tengah membutuhkan pekerjaan untuk penghidupan.

Astra Indonesia pun turut membantu kebutuhan usaha yang tengah dijalankan Anjani. Akhirnya, ia membuat kelompok-kelompok usaha yang bisa memproduksi produk turunan dari batik. Jika sebelumnya hanya memproduksi kain batiknya saja, kini dibuat dalam bentuk lain, seperti jaket atau tas.

Bersama Astra, ia membantu pelaku kesenian bantengan yang kehilangan pekerjaan karena pandemi. Jangan sampai terlantar, sebab mereka lah yang melestarikan. Mereka yang membutuhkan mata pencaharian dibina, diberi perlatan, dan difasilitasi untuk memproduksi produk turunan dari batik.

Sedangkan Anjani mengemban tanggung jawab untuk mencarikan pasar. Ia menjalin kerjasama dengan berbagai pihak melalui webinar, untuk menjual produknya. Supaya kelompok-kelompok tersebut tetap bertahan.

Hikmah di balik pandemi, membuat Anjani harus terus berkembang. Tidak hanya mengandalkan selembar kain batik, tapi juga membuat produk turunannya.

Selama pandemi, perdagangan secara online semakin marak. Namun, tidak demikian dengan batik yang diproduksi Anjani. Produk yang telah diproduksi saat ini, tidak dibuat lagi. Melainkan, membuat karya baru dengan motif bantengan yang bervariasi.

Batik Anjani memang terkenal mahal, karena batik tulis dan tidak memproduksi batik printing maupun cap. Untuk ongkos kerja saja di atas Rp200 ribu, tidak heran kalau harganya tergolong mahal. Bahkan, ada yang mencapai Rp3 juta.

Hal tersebut memicu persoalan baru, orang yang tidak bertanggung jawab bisa saja memproduksi dengan motif serupa dan menjualnya dengan harga lebih murah. Pengalaman itu pernah dialami Anjani, beruntungnya batik banteng telah memiliki hak paten. Beruntung, oknum yang ingin menduplikasikannya pun telah mengakui.

Untuk mengenalkan produknya, Anjani tetap memanfaatkan media sosial. Namun, keperluan pemasaran, ia membangun kerjasama dengan pihak lain secara langsung. Tidak melalui e-commerce, ia pun memiliki galeri.

7. Mimpi membangun Komunitas Pembatik Cilik dan membuat Kampung Wisata Edukasi Pembatik Cilik

Muda Sadar Budaya: Tekad Anjani S. Arum Memantik Asa Pembatik Cilikkegiatan pembatik cilik di sekolah (instagram.com/anjanibatikgaleri)

Dua tahun belakangan, Anjani menetap di Yogyakarta. Namun, ia masih harus hilir mudik Yogyakarta-Kota Batu.

Di bawah naungan Yayasan Pendidikan Astra (YPA), ia turut membangun Kampung Wisata Edukasi Pembatik Cilik di Yogyakarta. Namun, keinginan awalnya membangun Komunitas Pembatik Cilik Indonesia terlebih dahulu. Dengan harapan, setiap daerah memiliki komunitas pembatik cilik.

Pasalnya, menciptakan “bibit” tidak mudah. Misalnya sejumlah sekolah di Yogyakarta, menjadikan batik sebagai muatan lokal, bukan lagi ekstrakurikuler. Berbeda dengan di Batu yang masih menjadi ekstrakurikuler wajib. Sayangnya, tidak dikelola dengan baik, sehingga karya yang dihasilkan pun kurang bermanfaat.

“Padahal Astra sudah membangun 8 sekolah di wilayah terpencil di Gunung Kidul. Sekolah tersebut telah dibiayai Astra dan dilengkapi fasilitas Laboratorium Batik. Sejumlah guru pun telah disekolahkan khusus membatik, tapi belum berkembang.”

Anjani pun dipanggil YPA untuk mengelola sekolah binaan tersebut di Yogyakarta. Mulai dari membuat tempat penampungan khusus siswa berprestasi, yang dikelola oleh para stakeholder di bidang batik.

“Impian saya, ya menciptakan itu, memang. Tidak hanya di Kota Batu, melainkan di kota-kota yang ada di Indonesia, khususnya yang berhubungan dengan batik,” jelasnya.

Untuk mewujudkan impiannya, Anjani tengah membangun Wisata Edukasi Batik di area yang sama dengan galeri dan sanggar miliknya. Ia pun memberdayakan masyarakat setempat untuk menjalankan wisata tersebut.

Setelah dari Yogyakarta, ia berencana mengembangkan program serupa di Banjarmasin dan Palembang. Bukan lagi untuk mengembangkan kota sendiri, melainkan hingga di lingkup nasional.

Anjani Sekar Arum mulai mewujudkan mimpinya secara mandiri. Ia turut melestarikan budaya dan memantik semangat dengan cara berbeda. Generasi muda sadar budaya, untuk satu Indonesia!

Baca Juga: Seni Tani, Gerakan Petani Milenial Hidupkan Lahan Tidur di Kota

Fatma Roisatin Nadhiroh Photo Verified Writer Fatma Roisatin Nadhiroh

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Izza Namira

Berita Terkini Lainnya