Budaya Flexing dan Pengaruhnya Terhadap Trend Millenial

Gak pamer sama dengan ketinggalan zaman?

Akhir-akhir ini, sebagai masyarakat Indonesia kamu tentunya mendengar beberapa kata dari Bahasa Inggris yang begitu populer di kalangan anak muda. Mulai dari insecure, mental health crisis, gaslighting, bahkan flexing. Namun belakangan sedang heboh di media sosial dan juga platform online mengenai flexing.

Flexing adalah tindakan memamerkan sesuatu secara berlebihan hingga membuat orang yang melihatnya merasa tidak nyaman atau terganggu. Ironisnya budaya flexing ini seakan berkembang menjadi trend masa kini di kalangan anak muda. Lantas, apa yang terjadi sebenarnya dan apa dampak yang bisa ditimbulkan dari ini semua?

Baca Juga: 5 Alasan Utama di Balik Perilaku Flexing, Demi Status Sosial?

Terlihat kesal ketika ada orang flexing, namun juga penasaran sama barang apa saja yang dimiliki orang lain

Budaya Flexing dan Pengaruhnya Terhadap Trend Millenialilustrasi belanja (pixabay.com/borevina)

Banyak orang yang seakan risi dengan orang yang melakukan flexing di media sosial. Namun, coba kamu lihat berapa jumlah followers-nya di media sosial. Rata-rata orang yang dihujat netizen juga memiliki jumlah pengikut yang tidak sedikit. Itu artinya, sebenarnya masyarakat pun secara tidak sadar memberikan ruang kepada pelaku flexing.

Itulah mengapa untuk bisa viral di zaman sekarang, tak hanya dengan cara berprestasi saja, namun juga dengan cara yang negatif. Karena masyarakat masih menyediakan ruang dan penasaran tentang apa saja yang dimiliki oleh orang tersebut.

dm-player

Tentu saja hal ini tak dapat dibiarkan dan akan menimbulkan dampak pada kehidupan anak millenial, di antaranya: 

  • Menimbulkan kecemburuan sosial di antara masyarakat;
  • Meningkatkan terjadinya utang untuk keperluan yang tidak mendesak;
  • Menjadikan budaya pamer menjadi trend yang asyik untuk ditiru;
  • Jadi tidak mampu membedakan kenyataan dan khayalan;
  • Dan lain-lain.

Selain itu budaya pamer kekayaan, kemesraan, dan sebagainya, juga bisa memberikan kerugian kepada si pelaku, misalnya saja:

  • Pihak pajak bisa langsung mengaudit tentang pajak si pelaku flexing;
  • Membuat pelaku bisa menjadi bahan incaran orang yang ingin bertindak jahat;
  • Membuat harus selalu merasa kurang dan harus bisa mendapat perhatian lebih orang lain;
  • Mudah membuat rasa insecure kepada pelaku, apabila merasa ada yang lebih baik;
  • Dan lain-lain.

Maka dari itu, sebaiknya budaya flexing ini jangan dijadikan hal yang maklum dalam masyarakat. Biar pun niatnya melihat konten flexing sebagai hiburan, namun ini tentu kurang baik buat dilakukan dalam jangka waktu yang lama. 

Bagi masyarakat dan juga instansi yang mengatur konten dalam sosial media, lebih baik langsung menindak tegas para pelaku flexing. Jangan memberikan ruang dan panggung yang membuat pelaku semakin bisa terkenal dan menebar hal yang belum tentu benar dimiliki kepada masyarakat lainnya. 

Baca Juga: 10 Pengingat untuk Kamu si Hobi Flexing, Segera Hentikan!

Laurensius Aldiron Photo Verified Writer Laurensius Aldiron

Seorang pegawai kantoran pada umumnya, yang memilih menulis untuk mengeluarkan opini yang tak bisa disampaikan secara langsung..

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Merry Wulan

Berita Terkini Lainnya