Bersyukur atau Toxic Positivity? Jangan Keliru, Ini 5 Penjelasannya!

Bersyukur itu bukan tentang menyangkal emosi, ya!

Bersyukur memang merupakan salah satu cara untuk lebih menikmati dan menghargai kehidupan. Namun, banyak orang yang salah kaprah tentang definisi bersyukur. Hal tersebut pada akhirnya mengarah ke toxic positivity. Karena akhirnya kamu akan berpura-pura baik-baik saja tentang semua masalah yang terjadi.

Pada kenyataannya, hidup pun gak harus selalu bahagia dan positif. Karena terkadang manusia juga perlu merasakan sedih, marah, kecewa, dan emosi lainnya. Oleh sebab itu, jangan sampai keliru antara bersyukur dan toxic positivitySimak penjelasannya di bawah ini!

1. Apa itu bersyukur?

Bersyukur atau Toxic Positivity? Jangan Keliru, Ini 5 Penjelasannya!Ilustrasi sedang bersyukur (pexels.com/Karolina Grabowska)

Sebelum mengetahui perbedaannya, kamu perlu memahami terlebih dahulu bagaimana bentuk rasa syukur yang sebenarnya. Bersyukur merupakan rasa berterima kasih atas segala nikmat dan kebahagiaan yang kamu rasakan.

"Bersyukur dapat digambarkan sebagai penghargaan yang mendalam terhadap sesuatu, baik berwujud maupun gak berwujud. Sehingga, menghasilkan efek psikologis yang positif," jelas Lucy Spicer, seorang psychological coach, dilansir Vogue.

Dengan kata lain, bersyukur merupakan emosi yang sehat dan positif. Biasanya, dilakukan untuk menghargai hal-hal yang kecil atau besar dalam kehidupan manusia. Sehingga, bersyukur memang sering dikaitkan dengan kebahagiaan.

2. Apa itu toxic positivity?

Bersyukur atau Toxic Positivity? Jangan Keliru, Ini 5 Penjelasannya!Ilustrasi sedang murung (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Secara umum, toxic positivity merupakan kondisi ketika kamu menuntut diri sendiri agar selalu berpikir positif. Sehingga, nantinya akan menyebabkan kamu denial terhadap emosi yang bersifat negatif. Afirmasi dan pemikiran positif yang kamu tanamkan ini sifatnya adalah dipaksakan.

"Toxic positivity merupakan tindakan gak sehat yang menutupi realitas emosi seseorang dengan terus menerus terlibat dalam afirmasi positif, namun dipaksakan. Itu bisa dikatakan juga sebagai penyangkalan emosional," kata Lucy Spicer.

Contoh paling umum adalah ketika kamu sedang merasakan kesedihan atau kehilangan. Lalu, kamu mengatakan pada diri sendiri bahwa, 'Aku gak boleh menangis dan bersedih.' Hal tersebut pada akhirnya membuat kamu menyangkal emosi yang sedang dirasakan.

3. Bersyukur bukan berarti harus toxic positivity

Bersyukur atau Toxic Positivity? Jangan Keliru, Ini 5 Penjelasannya!Ilustrasi sedang murung (pexels.com/Andres Ayrton)
dm-player

Melansir Vogue, Hasina Khatib, seorang penulis dan creative consultant, menyebutkan bahwa toxic positivity memaksa kita untuk selalu bersyukur dan menyangkal rasa sedih atau kecewa yang sedang terjadi. Padahal, bersyukur berbeda dengan toxic positivity. Saat merasa sedih dan kecewa, bukan berarti kamu gak bersyukur.

Rasa syukur adalah ketika kamu mengakui apa yang sedang terjadi, lalu berusaha mengubah emosi negatif itu menjadi positif. Kamu gak harus selalu menyangkal emosi negatif, hanya karena ingin menjadi orang yang selalu bersyukur. Karena sebelum bersyukur pun, kamu harus mengakui terlebih dahulu apa yang sedang dirasakan.

Baca Juga: 5 Dampak Negatif dari Toxic Positivity, Terima Setiap Perasaan!

4. Toxic positivity gak bersifat positif, melainkan berbahaya bagi kondisi mental

Bersyukur atau Toxic Positivity? Jangan Keliru, Ini 5 Penjelasannya!Ilustrasi sedang cemas (pexels.com/Alex Green)

Umumnya, toxic positivity dan bersyukur sering dipandang sebagai hal yang sama, yakni memberikan rasa optimis serta bisa lebih menghargai kehidupan. Hasina menyebutkan, dengan bersyukur, terdapat ruang untuk kamu mengakui kesulitan atau emosi negatif, sebelum akhirnya kembali melanjutkan kehidupan.

Sedangkan toxic positivity menganggap bahwa semuanya harus dilihat dari sisi yang baik dan menyangkal aspek negatifnya. Spicer menyebutkan, toxic positivity ini akan berbahaya pada kondisi psikologis. Karena kamu akan selalu menekan emosi negatif. Alih-alih hilang, emosi itu malah akan bertumpuk dalam dirimu.

5. Cara bersyukur tanpa melakukan toxic positivity

Bersyukur atau Toxic Positivity? Jangan Keliru, Ini 5 Penjelasannya!Ilustrasi hidup bahagia (pexels.com/Julian Jagtenberg)

Melansir mind body green, Jody Kemmerer, seorang dialectical behavior therapist, menyebutkan bahwa kamu gak bisa memilih perasaan atau emosi apa yang akan datang kepadamu. Namun, kamu bisa mengontrol atau merespons bagaimana menghadapi emosi dan perasaan tersebut.

Sebaiknya, kamu jangan takut dan ragu untuk memvalidasi emosi yang sedang dirasakan. Gak masalah jika sewaktu-waktu kamu ingin merasa sedih, marah, kecewa, takut, atau bahkan cemas. Lalu, setelah itu kamu bisa mencoba mengubah emosi negatif ke positif dengan berbagai kegiatan.

Misalnya adalah membuat jurnal tentang hal-hal yang kamu syukuri di hari tersebut. Hal itu ternyata bisa membantu kamu untuk melatih rasa syukur. Jadi, kamu harus tetap memvalidasi emosi yang dirasakan, namun jangan sampai berlarut-larut.

Nah, itu dia penjelasan tentang bersyukur dan toxic positivityIntinya, ketika kamu bersyukur, bukan berarti harus melakukan toxic positivity. Jangan sampai keliru lagi, ya!

Baca Juga: 5 Kebiasaan Buruk yang Memicu Sikap Toxic Positivity

Nisa Meisa Photo Verified Writer Nisa Meisa

Carpe Diem

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Pinka Wima

Berita Terkini Lainnya