Justitia Avila dan Suara Lantangnya Dampingi Korban Kekerasan Seksual

Lawan patriarki lewat aksi nyata!

Sudah bukan rahasia lagi jika korban kekerasan seksual harus menempuh perjalanan terjal untuk mendapatkan keadilan di negara kita ini. Tak cukup sampai di situ, perlakuan masyarakat yang cenderung menyalahkan korban sering kali jadi batu sandungan tersendiri. Perjuangan korban pun bisa dibilang jadi berlipat ganda, menuntut keadilan sekaligus berjuang untuk menyembuhkan kesehatan psikis dan rasa traumanya.

Berangkat dari perhatiannya akan hal ini, Justitia Avila Veda pun mendedikasikan dirinya untuk mendirikan Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender atau disebut KAKG. Seperti apa sih sepak terjang perempuan jebolan University of Chicago Law School ini? Yuk, simak kisah inspiratifnya lewat artikel ini!

1. Berdirinya KAKG berawal dari kicauan iseng di Twitter yang jadi viral dan disambut antusias oleh warganet

Justitia Avila dan Suara Lantangnya Dampingi Korban Kekerasan SeksualKolektif Advokat untuk Keadilan Gender berhasil menjadi Penerima Apresiasi Bidang Kesehatan 13th SATU Indonesia Awards 2022.(Instagram.com/advokatgender)

Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender atau disebut KAKG merupakan jasa konsultasi dan pendampingan bagi korban kekerasan seksual yang berbasis teknologi. Tak hanya program hukum, program ini juga menyediakan jejaring penyedia jasa pemulihan psikologis, medis, dan sosial yang dibutuhkan korban selama penyelesaian perkara. Program ini diinisiasi pada bulan Juni 2020 di tengah pandemik dan hingga kini sudah ada 150 kasus yang ditangani.

Pada mulanya Veda membuat kicauan iseng di Twitter yang kemudian justru menjadi viral. Saat itu, ia menawarkan jasa konsultasi umum bagi orang-orang yang pernah mengalami kekerasan seksual atau mengetahui orang-orang yang mengalami kasus tersebut. Tak hanya korban saja yang menghubungi Veda, karena ada pengacara hingga jaksa yang menghubunginya dan tertarik ingin membantu. 

"Di situ saya bilang, saya menawarkan jasa konsultasi belum sampai pendampingan. Karena kalau pendampingan, kita ngomongin proses pendampingan litigasi di penyidik, pengadilan dan seterusnya.

Di situ ternyata viral tweet-nya dan alhamdulillah bukan cuman banyak orang yang reach out untuk tanya dan konsultasi tapi juga banyak orang yang reach out untuk bantu." kata Veda.

Ia pun menceritakan bahwa di 24 jam pertama ada sekitar 40 aduan yang masuk via email, itu pun belum termasuk aduan yang masuk via DM Twitter. Karena semua serba belum rapi, masih sporadis, dan belum terstruktur, ia pun terpikirkan untuk menambah tenaga bantuan sukarelawan.

Pada 2—3 bulan pertama, ia merekrut sepuluh orang pengacara. Mengapa sebagian besar relawan berlatar belakang advokat? Pasalnya menurut undang-undang, profesi advokat memiliki tanggung jawab profesi dan salah satunya adalah probono yaitu pengabdian masyarakat. Bak sekali dayung dua pulau terlampaui, KAKG tak hanya memberi pendampingan bagi para korban kekerasan seksual, tapi juga menjadi wadah yang tepat bagi para pengacara untuk menyalurkan bantuannya.

2. Prosedur dan bentuk konsultasi melalui KAKG, hingga masa pendampingan yang diberikan

Justitia Avila dan Suara Lantangnya Dampingi Korban Kekerasan SeksualKolektif Advokat untuk Keadilan Gender berhasil menjadi Penerima Apresiasi Bidang Kesehatan 13th SATU Indonesia Awards 2022.(Instagram.com/advokatgender)

KAKG menyediakan jasa konsultasi dan pendampingan bagi para korban kekerasan seksual. Untuk konsultasinya, korban atau pendamping bisa kontak melalui layanan hotline yang buka setiap Senin-Jumat pukul 08.00—18.00 WIB.

Hotline ini bisa diakses melalui akun Instagram @advokatgender dan mengisi form yang tersedia untuk menceritakan mengenai kronologi dan kebutuhan. Selain itu, ada pula alamat email yang tersedia di konsultasi@advokatgender.org.

Selanjutnya akan dijadwalkan untuk konsultasi via telepon. Veda mengatakan bahwa ada dua pengacara yang piket tiap hari Senin—Jumat dan memberikan konsultasi hukum, mereka akan memberikan pemahaman kepada korban, apakah memang di kasus mereka ada kekerasan seksual atau tidak. Jika iya, maka diatur oleh peraturan apa, konsekuensi hukumnya apa untuk pelaku, kemudian KAKG juga memberikan assessment atau penilaian terhadap peluang-peluang untuk penyelesaiannya.

KAKG juga akan memberikan gambaran penyelesaian hukum dan non hukum yang bisa ditempuh oleh para korban. Pasalnya, memang sistem hukum kita sangat patriarki dan masih tidak berpihak pada korban, sehingga korban perlu diberikan gambaran akan hal ini.

Jika korban ingin menempuh jalur hukum, maka ada sederet proses yang harus ditempuh seperti tanda tangan surat kuasa hingga melakukan laporan ke polisi. Tak cukup sampai di situ, korban juga akan ditawarkan untuk pemulihan psikologis hingga medis. 

“Di form juga ditanya butuh bantuan psikologis gak, perlu pemulihan medis atau enggak, kalo iya kami juga bakal menarik temen-temen penyedia jasa lain, misalnya network psikolog atau network dokter untuk terlibat ke dalam proses penyelesaian itu, karena biasanya akan extra time, bahkan korban mungkin gak siap langsung penyelesaian hukum, mereka justru pemulihan psikologis dulu," jelasnya.

Untuk lamanya proses pendampingan yang diberikan KAKG terbilang relatif dan tergantung dari beratnya kasus hingga jalur penyelesaian yang dipilih oleh korban (hukum atau non hukum). Perempuan berkacamata ini menjelaskan bahwa untuk jalur hukum bisa memakan waktu paling tidak 10 bulan yang meliputi proses penyidikan dan pelimpahan berkas. Hal ini berbeda jika korban memilih proses penyelesaian non hukum yang terbilang lebih cepat, bahkan ada yang bisa selesai dalam kurun waktu satu pekan.

"Jadi kalo ngomongin proses litigasi, kita kasih jangka waktunya 9-12 bulan, kalo prosesnya penyelesaian non hukum tadi tentu lebih cepat, ada proses di mana aku bawa lawyer, udah berat aja lawyer to lawyer. Ada bargaining yang prosesnya lumayan memakan waktu. Sementara kalo pelaku yang hadir, dan langsung kooperatif gitu satu minggu bisa selesai," tambah Veda.

Sementara untuk proses pendampingan pemulihan, Veda tidak bisa menyebutkan tenggat pastinya karena ia menyadari bahwa proses pemulihan itu sangat panjang. Terutama bagi para korban kekerasan seksual yang trauma dan terluka seumur hidup.

"Pemulihan-pemulihan saya gak tau sih karena itu sangat panjang, saya gak tau gimana orang bisa sembuh dari trauma yang sebenarnya melukai seumur hidup. It's gonna be individual bases (Hal ini tergantung dari individu masing-masing_red)," ungkapnya.

3. Dari penyebaran konten intim hingga KDRT, ini hal-hal yang menimpa korban

Justitia Avila dan Suara Lantangnya Dampingi Korban Kekerasan SeksualIlustrasi konseling (Unsplash.com/Priscilla Du Preez)

Perempuan yang lulus dari UI tahun 2014 ini mengatakan bahwa banyak hal yang dialami oleh para korban kekerasan seksual. Kasus yang paling marak dan mayoritas terjadi adalah kasus penyebaran konten intim. Ternyata hal ini juga dipicu oleh pandemik dan lockdown.

Ketika banyak orang sudah mulai bosan dan tidak bisa beraktivitas dengan tatap muka langsung akhirnya banyak dari mereka yang melakukan komunikasi online. Entah itu melalui aplikasi chatting hingga medsos. Dari yang awalnya hanya ngobrol, kemudian merasa cocok, lalu jadian, dan kemudian terjadilah penyebaran konten intim.

Selain penyebaran konten intim, kasus kekerasan yang marak dilaporkan adalah kekerasan dalam pacaran, kemudian kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Karena adanya pandemik, banyak keluarga yang harus berada di rumah dan tidak bisa keluar sehingga memicu tingkat stres.

"Selain itu ada KDRT, yang di mana sebenarnya hal ini dikonfirmasi juga dari komnas ham perempuan. Mereka melakukan penelitian bahwa selama pandemi, kasus KDRT atau kekerasan di ranah domestik itu meningkat tajam, karena ya tadi, ada suami istri dan anak, pekerja rumah tangga juga ada dalam satu rumah, mungkin mereka tertekan dengan adanya pandemik," ungkap perempuan berambut pendek ini.

4. Selain berjuang memulihkan trauma, korban juga harus siap melawan pasal hukum yang kerap jadi batu sandungan

Justitia Avila dan Suara Lantangnya Dampingi Korban Kekerasan SeksualKolektif Advokat untuk Keadilan Gender berhasil menjadi Penerima Apresiasi Bidang Kesehatan 13th SATU Indonesia Awards 2022.(Instagram.com/advokatgender)

Veda mengakui bahwa untuk kasus penyebaran konten intim ini diatur dalam UU ITE. Namun, pasal ini lebih banyak mendatangkan kerugian daripada manfaat untuk para korban. Bahkan, banyak korban yang pada akhirnya juga turut disalahkan dan bisa berpeluang berganti status menjadi tersangka.

"Karena pasalnya penyebaran konten intim sebenarnya diatur pasal 27 ayat 1 di mana kurang lebih barang siapa yang melakukan, mengirimkan, mentransmisikan bla bla bla dokumen elektronik, informasi elektronik yang mengandung hal-hal yang melanggar asusila.

Permasalahan dari pasal tersebut adalah misalnya ada korban pacaran sama pelaku dan share foto ke pelaku, padahal niatnya untuk konsumsi pribadi, konsumsi berdua saja, tapi kemudian disebarkan sama pelaku, dan saya melaporkan kasus ini ke polisi, polisi akan memandangnya ketika korban pertama kali share konten itu kepada pelaku, itu sendiri sudah termasuk ke rumusan pasal," kata Veda.

Veda pun melanjutkan penjelasannya, ia mengatakan bahwa pasal ini tidak bisa melihat dimensi bahwa konten tersebut untuk konsumsi pribadi. Oleh karena itu, banyak pengacara (tak hanya KAKG saja) yang membantu korban untuk mengkaji ulang jika ingin membawa kasus konten intim ke polisi.

“Karena dalam studi putusan yang kami lakukan juga, itu akhirnya korban juga jadi tersangka yang dimasukin penjara, pacarnya yang menyebarkan dan juga ceweknya yang memberikan foto itu," ungkapnya. 

Meski demikian, co-founder Free The Chain Indonesia ini bisa bernapas lega berkat adanya UU TPKS NO 12 Tahun 2022. Menurutnya undang-undang yang diterbitkan Mei 2022 ini bisa digunakan untuk tindak pidana yang terjadi setelah Mei 2022. Masalahnya hanya Undang-undang baru ini belum diimplementasikan dengan baik.

dm-player

"Jadi UU TPKS sebenarnya it’s a fresh air (sebuah angin segar_red), itu progresif sekali. masalah dari UU baru adalah belum terimplementasi secara baik, ada beberapa kali keluar dari mulut penegak hukum sendiri yang sebenarnya sangat ironis.

Jadi PR-nya berarti memasyarakatkan UU TPKS di lingkungan tenaga aparat hukum dan mengerjakan semua peraturan tuntutan yang dimandatkan UU itu, karena banyak item di UU yang dibilang akan diatur lebih lanjut. Cuma balik lagi peraturan semua produk hukum itu produk politis, jadi yang bikin sedih adalah kalo kepentingan korban harus menunggu proses politik yang ada di negara ini," kata Veda menjelaskan. 

Baca Juga: Indonesia Ramah Autis, Mimpi Alvinia Christiany dan Teman Autis

5. Lelah fisik hingga trauma, kendala yang dialami Veda tak gentarkan langkahnya untuk terus mendampingi korban

Justitia Avila dan Suara Lantangnya Dampingi Korban Kekerasan SeksualKolektif Advokat untuk Keadilan Gender berhasil menjadi Penerima Apresiasi Bidang Kesehatan 13th SATU Indonesia Awards 2022.(Instagram.com/advokatgender)

Veda dan para relawan di KAKG mengakui bahwa program yang mereka inisiasi ini sangat menguras energi. Di samping pekerjaan utama dan waktu untuk keluarga, mereka juga harus mendedikasikan waktu luangnya untuk menolong dan mendampingi para korban kekerasan seksual. Waktu yang harus mereka korbankan tentu tak sedikit mengingat proses pendampingan bisa sangat panjang.

Sebagai gambaran saja, proses pendampingan di polisi bisa sangat memakan waktu, dari mulai jam 08.00 pagi hingga 15.00 sore. Belum lagi rasa lelah dan frustrasi menghadapi para penegak hukum yang terkadang belum memiliki rasa sensitivitas dan masih sering memberikan komentar bernada sumbang.

Ketika kasus yang mereka tangani macet dan berhenti di tengah jalan, rasa sedih, stres, dan tak berdaya akan mendera. Hal ini pula yang memicu munculnya secondary trauma yang para pendamping rasakan. Para pendamping pun membutuhkan layanan psikolog, sama seperti para korban.

Meski lelah fisik dan psikis, Justitia mengamini bahwa hal ini yang membuat KAKG makin solid. Ia merasa bahwa jerih payahnya tak sia-sia mengingat banyak yang membutuhkan bantuannya dan rekan-rekannya. Bahkan, kemenangan ASTRA ini yang makin menguatkan mereka bahwa apa yang mereka lakukan dan perjuangkan selama ini bermakna juga untuk orang lain.

“Terus rasanya kayak keluarga karena jatuh bangun bareng, menang bareng, kalah bareng. Kalo setelah dampingan 10 jam bersama-sama pasti bertemu sense of belonging bersama-sama. Bahkan menang ASTRA rasanya kayak rekognisi bahwa yang kami lakukan ada makna dan manfaatnya, itu cara menguatkan untuk temen-temen di KAKG. ini yang membuat saya sangat bersyukur karena orang-orang di KAKG sangat tulus dan tulusnya total.” ucapnya puas.

6. Mendengarkan korban dan menjadi support system yang baik bisa jadi langkah awal bagi para pendamping korban kekerasan seksual

Justitia Avila dan Suara Lantangnya Dampingi Korban Kekerasan SeksualIlustrasi support system (pexels.com/Rosie Sun)

Mendampingi para korban kekerasan seksual dibutuhkan sensitivitas dan kepekaan yang tinggi. Hal ini bisa kamu lakukan dengan cara mendengarkan korban, tidak menghakimi, dan menjadi support system yang baik.

Terutama ketika kasus ini menimpa anak-anak di bawah 18 tahun, karena belum cakap hukum, korban belum bisa didampingi lawyer dan harus didampingi orangtua sebagai walinya. Yang menjadi masalah adalah ketika korban tidak mau berkomunikasi dengan orangtuanya.

"Orangtua harus mendengarkan keluh kesah anak, karena di fase begitu anak butuh sama orangtua, mereka perlu dukungan keluarga, saudara, teman ketika sedang berkasus sangat penting. Karena psikolog advokat kayak kami tidak akan stay 24 jam, jadi sangat penting untuk mendengarkan dan tidak judgemental dan menjadi support system yang baik.” jelasnya.

Sementara untuk korban usia dewasa, para pendamping juga dituntut untuk bersikap terbuka dan mau menerima. Tidak perlu menghakimi terutama ketika memiliki pandangan hidup yang berbeda dari korban. Hargai perbedaan dan rangkul korban sehingga merasa tetap aman.

Selain itu, Veda juga menggarisbawahi untuk tidak melihat pernikahan antara korban dan pelaku sebagai sebuah solusi. Yang perlu diprioritaskan bukan mengenai memulihkan nama baik keluarga, namun memulihkan psikis dan rasa trauma korban. Hal ini yang perlu edukasi lebih lanjut kepada para generasi orangtua.

Selama mendampingi para korban kekerasan seksual, Justitia juga sering mendapati bahwa keluarga atau teman justru menghalangi proses pendampingan dari KAKG. Pasalnya keluarga atau teman korban merasa takut ketika sudah melibatkan pengacara dan polisi sehingga mempengaruhi korban untuk mundur saja dan tak usah melanjutkan kasusnya. Korban juga kerap kali mengeluhkan sahabatnya yang hanya bertindak sebagai pengamat saja, mengetahui kejadian tersebut namun lebih memilih untuk pura-pura tidak tahu karena cari aman.

“Banyak korban yang cerita sahabatnya jadi bystander (pengamat_red), misalkan padahal dia jadi saksi pas tau, tapi pas dimintai keterangan gak mau, takut ketarik dan takut kenapa-kenapa,” ucapnya.

7. Memviralkan apa yang terjadi pada kisah korban kekerasan seksual bisa jadi dua mata pisau

Justitia Avila dan Suara Lantangnya Dampingi Korban Kekerasan SeksualIlustrasi konseling (Unsplash.com/Christina @ wocintechchat.com)

Sudah bukan rahasia lagi jika aparat baru bergerak cepat menyelesaikan suatu kasus ketika sudah viral. Meski demikian, memviralkan tiap kasus kekerasan seksual bukanlah solusi. Veda meyakini bahwa hal itu bak dua mata pisau yang bisa menguntungkan sekaligus merugikan.

Pasalnya, setelah suatu kasus dibocorkan ke jagat maya, warganet ramai-ramai akan bergerak bak detektif dan mengorek info si pelaku. Yang kemudian terjadi selanjutnya adalah doxing atau penyebaran data diri dan bisa menjadi tindak pidana baru. Buntutnya, hal ini bisa kembali menyeret si korban dan misalnya saja menimbulkan penyebaran konten intim yang justru akan diviralkan.

“Jadi aku selalu kasih advice (saran_red) jangan diviralin, minimal kalo proses hukumnya lagi berjalan karena itu juga mempengaruhi proses hukumnya. Aku gak mau proses hukum terpengaruh sama medsos, soalnya nanti malah pengadilan yang dilakukan oleh masyarakat umum, bukan berdasarkan hukumnya penilaian logisnya.”

Ia juga mengaku bahwa kekerasan seksual biasanya paling banyak terjadi di ranah domestik. Ketika polisi dan pengacara tidak bisa menggapai hal tersebut, maka tugas korbanlah yang harus berusaha mendobraknya. Veda juga melanjutkan bahwa toxic relationship itu nyata dan yang terjadi bisa kekerasan secara psikis, fisik, hingga seksual. Pasalnya memang, kekerasan dalam pacaran menjadi porsi yang besar yang ditangani tim KAKG, selain KDRT.

8. Pesan dari Veda: “Jangan jadi bystander, karena kita bisa jadi penyelamat orang lain.”

Justitia Avila dan Suara Lantangnya Dampingi Korban Kekerasan SeksualKolektif Advokat untuk Keadilan Gender berhasil menjadi Penerima Apresiasi Bidang Kesehatan 13th SATU Indonesia Awards 2022.(Instagram.com/advokatgender)

Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender berhasil menjadi Penerima Apresiasi Bidang Kesehatan 13th SATU Indonesia Awards 2022. Hal ini membuat Veda merasa bahwa KAKG bermanfaat untuk masyarakat. Ia juga berharap makin dikenalnya nama KAKG, maka makin bisa merangkul para korban yang berada di daerah pelosok.

Ke depannya, ia akan menambahkan jumlah pengacara sebagai sukarelawan di KAKG. Selain itu, ia berharap sukarelawan KAKG bisa representatif di tiap provinsi bahkan bisa berkeliling di tiap kota. Ia juga berusaha sekali dua kali untuk ikut berkontribusi mempengaruhi kebijakan di perusahaan atau lembaga berkaitan untuk lebih melindungi para korban kekerasan seksual.

Memang tak bisa dihindari bahwa hukum dan aturan di Indonesia masih kental dengan adanya unsur patriarki, satu cara untuk menaklukkannya adalah dengan melawan, hal termudah adalah untuk tidak menjadi bystander (pengamat_red). Ketika mengetahui kasus kekerasan seksual, berdirilah bersama korban.

Meski demikian, para pendamping juga harus bersikap hati-hati, jangan memaksa korban dan tetap mengutamakan keinginan korban. Tetaplah mendengar dan menghormati apa yang korban inginkan.

Selain itu, Veda juga menyampaikan pesannya untuk para korban kekerasan seksual maupun pendamping korban di luar sana. Pertama, segera cari informasi mengenai pengacara terdekat, lalu tanya dirimu sendiri apakah di dalam kasus yang melibatkan dirimu ini, kamu berdiri sebagai korban atau pelaku?

“Kedua, jangan jadi bystander (pengamat_red), karena kita bisa jadi penyelamat orang lain,” pungkasnya.

Semoga kisah inspiratif Veda tadi bisa memberikan banyak pelajaran berharga untukmu, ya!

Baca Juga: 5 Upaya Elmi Sumarni Ismau Kenalkan GARAMIN pada Publik, Salut!

Nara Yana Photo Verified Writer Nara Yana

Dog lover

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Izza Namira

Berita Terkini Lainnya