Awas Bias, 7 Hal Toksik Ini Kerap Muncul dari Perkara Baik
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Segala sesuatu pasti memiliki sisi baik dan buruk. Bahkan, perkara yang lazimnya dianggap sebagai kebaikan pun pada suatu titik dapat menjelma hal buruk nan toksik.
Nah, hal-hal toksik yang muncul dari perkara baik ini perlu diwaspadai. Jangan sampai kita terjerumus ke dalamnya gara-gara bias menganggap hal tersebut (masih) baik.
Apa saja, sih, hal toksik yang sering menjelma dari sesuatu yang baik? Berikut kami paparkan tujuh di antaranya!
1. Toxic Positivity
Pertama, ada toxic positivity (positivitas toksik) yang sering digaungkan dewasa ini. Toxic positivity merupakan kondisi seseorang yang selalu beranggapan bahwa semua masalah harus selalu dilewati dengan berpikir positif.
Orang yang memiliki perilaku ini biasanya akan terus mendorong orang lain yang sedang bermasalah untuk melihat sisi baik dari kehidupan, tanpa mempertimbangkan perasaan atau memberi kesempatan untuk meluapkan perasaannya, dan justru menolak mentah-mentah emosi negatif.
Kalimat-kalimat yang mengandung toxic positivity antara lain: jangan menyerah, kamu pasti bisa; kamu harus bersyukur; positive thinking, semua pasti akan baik-baik saja."
2. Toxic Productivity
Selanjutnya, ada toxic productivity atau produktivitas toksik. Perilaku ini digambarkan sebagai keinginan yang tidak sehat untuk terus menjadi produktif setiap saat dengan cara apa pun. Bahkan, mereka sampai tidak peduli dengan kesehatan mereka pribadi.
Orang yang berperilaku toxic productivity merasa bersalah jika tidak produktif barang satu jam. Selain itu, mereka juga tidak mengenal istirahat, memiliki ekspektasi yang tidak realistis, tidak pernah puas, dan terobsesi untuk produktif.
3. Toxic Masculinity
"Laki-laki enggak boleh cengeng!", "Yang tegas, dong, jadi cowok!", "Jangan mau kalah, kan, kamu cowok!". Kalian pernah mendengar atau bahkan melontarkan kalimat demikian? Jika iya, sauang sekali, kalian berada di lingkungan yang kental akan toxic masculinity.
Toxic masculinity dapat didefinisikan sebagai perilaku sempit terkait peran gender dan sifat laki-laki. Maskulinitas yang dimaksud di sini melekat pada sifat pria yang diidentikkan dengan kekerasan, agresif secara seksual, dan tidak boleh menunjukkan emosi.
Baca Juga: 5 Tanda Kamu Berada dalam Toxic Family
Editor’s picks
4. Toxic Femininity
Berseberangan dengan toxic masculinity tadi, ada juga toxic femininity. Kalian pastinya sudah dapat menebak bagaimana maksud istilah ini, kan? Yup, feminitas toksik adalah standar yang dianggap normal oleh masyarakat tentang hal-hal yang seharusnya dilakukan atau dimiliki perempuan.
Toxic femininity berdampak buruk karena dapat menghambat perempuan untuk maju dan berkembang. Contoh-contoh yang marak di kehidupan sehari-hari di antaranya anggapan perempuan harus bisa memasak, pandai bersih-bersih dan mengurus rumah, tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, dan selalu lemah lembut.
5. Toxic Guilt
Toxic guilt jika diterjemahkan menjadi rasa bersalah yang toksik. Sebelumnya, kita sama-sama mengetahui bahwa rasa bersalah penting dimiliki seseorang. Dengan adanya sifat itu, orang akan lebih mudah berintrospeksi dan tidak akan merasa paling benar.
Namun, nyatanya guilt yang baik ini tidak luput dari ketoksikan. Toxic guilt diartikan sebagai suatu perasaan bersalah yang berlebihan atas sesuatu yang sudah berada di luar kendali kita. Rasa bersalah yang beracun ini hanya akan berdampak buruk karena menghabiskan energi dan pikiran untuk hal yang tidak semestinya.
6. Toxic Kindness
Secara umum orang-orang percaya bahwa kebaikan selalu baik. Namun, seperti halnya perkara lain, kebaikan yang berlebih adalah sesuatu yang harus dihindari. Kebaikan yang berlebih kepada orang lain secara tidak sadar akan membuat kita mengabaikan kebutuhan sendiri dan hal itu jelas tidak baik.
Inilah yang disebut toxic kindness. Contoh nyata dari perilaku ini adalah sulit mengatakan tidak kepada orang lain. Dampak kebaikan toksik ini tidak hanya dirasakan pelaku, tetapi juga orang lain. Sang penerima kebaikan berisiko terhambat perkembangan dirinya. Mereka terlalu dilenakan oleh kebaikan yang selalu membantu untuk memenuhi kebutuhan.
7. Toxic Success
Terakhir, ada istilah toxic success yang pertama kali dimunculkan oleh psikolog bernama Paul Pearsall pada 2002. Ia mendefinisikan perilaku toksik yang satu ini sebagai rasa tidak pernah puas meskipun telah mencapai banyak kesuksesan dalam hidup.
Ciri-ciri toxic success mirip dengan toxic productivity. Mereka yang terjerumus lembah kesuksesan toksik akan memiliki ambisi besar meraih kesuksesan, menggantungkan kebahagiaan hanya pada kesuksesan, serta tidak pernah puas dan kurang bersyukur.
Nah, itu dia ketujuh hal toksik yang menjelma dari perkara-perkara baik. Semoga kita bisa terhindar dari semuanya dan dapat berbuat baik sesuai kapasitas dan kebutuhan.
Baca Juga: Jangan Diabaikan, Ini 5 Tips Berhenti Berhubungan dengan Orang Toxic
IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.