Mengenal Ismet Raja Tengah Malam, Musisi Penyambung Lidah Orang Rimba

Catatan perkenalan dengan seniman dari tanah surga #LokalIDN

Sore itu, saya mengunjungi kedai makanan Rambu House di kawasan Telanaipura, Kota Jambi, tepatnya di belakang kampus UIN Sultan Thaha Syaifuddin. Kedatangan saya ke tempat ini untuk berjumpa dengan seorang musisi sekaligus aktivis lingkungan, Ismet Raja Tengah Malam. Kami memang telah membuat janji beberapa hari sebelumnya.

Saya disambut hangat oleh Ismet Raja dan istrinya yang mempersilakan saya duduk di salah satu sudut kedai makanan ini. Meski tidak terlalu luas, Rambu House dipenuhi beberapa kelompok anak muda yang sedang makan sembari berbincang, beberapa juga sibuk dengan laptop mereka. Rambu House mengingatkan saya dengan suasana Jatinangor, Jawa Barat tempat saya menimba ilmu beberapa tahun lalu. Di tempat-tempat sederhana seperti ini, dari obrolan-obrolan ringan, ide dan pergerakan besar biasanya lahir.

Nama Ismet Raja Tengah Malam mungkin masih asing di telinga masyarakat Indonesia. Namun, di kota kecil ini, ia termasuk musisi lokal yang diperhitungkan. Saya beruntung mendapat kesempatan bertemu dengan Ismet Raja di tengah kesibukannya manggung di dalam dan luar kota. Apalagi di perkenalan kami ini, ia membagi cerita pengalamannya bermusik khususnya di aliran folk yang saat ini ia geluti.

1. Panggung pertamanya adalah jalanan   

Mengenal Ismet Raja Tengah Malam, Musisi Penyambung Lidah Orang Rimbainstagram.com/genpi.jambi

Dunia musik bukan hal baru bagi Ismet Raja. Sejak 2004, ia memulai mimpi besarnya dari jalanan. Dari satu bus ke bus lain, ia menghibur dengan suara dan gitarnya. Satu hal yang membuat saya sedikit kaget, di masa mudanya, Ismet Raja sempat bergabung dalam komunitas punk. Bermodal tumpangan gratis dari truk-truk kosong, ia dan komunitasnya hidup berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain, istilahnya nyetreet.

Oleh sebagian besar masyarakat, punk masih dianggap sebelah mata. Gaya serampangan dan kehidupan bebas membuat kelompok ini identik dengan anak-anak nakal. Namun, tidak bagi Ismet Raja. Punk dan jalanan memberinya kesempatan untuk mengenal dan memaknai arti kehidupan.

Ketertarikannya pada dunia musik semakin besar saat ia menjadi mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Jambi. Di sela jam perkuliahan, ia menyambangi kantin-kantin tiap fakultas untuk bernyanyi. Uang yang dihasilkan ia gunakan untuk memenuhi kebutuhannya yang berstatus mahasiswa rantau.

Perjalanan Ismet Raja mengantarkannya pada satu titik saat ia bertanya pada dirinya sendiri. Apa yang sebenarnya ia inginkan dari musik? Apakah cukup sekadar bernyanyi? Hingga akhirnya, ia merasa terpanggil menekuni genre musik folk. Berasal dari bahasa Jerman, Volk berarti rakyat. Musik folk identik dengan lagu-lagunya yang menggambarkan alam semesta beserta kehidupan makhluk di dalamnya.

Pada 2018 pula, ia mulai menggunakan nama panggung Ismet Raja Tengah Malam. Ismet diambil dari nama lahirnya, sementara Raja adalah akronim Rakyat Jantan. Sementara, Tengah Malam ia artikan sebagai waktu yang paling baik dari waktu lainnya. Suasana tenang di tengah malam melahirkan banyak hal, yang baik dan buruk, yang positif dan negatif. Di antara dua pilihan ini, manusia memilih mana yang akan ia jalani. Begitulah Ismet memaknai nama panggungnya, Raja Tengah Malam.

2. Lagu-lagu yang berangkat dari kekhawatiran  

https://www.youtube.com/embed/C9Hrh3wStqQ

Pada 37 tahun lalu, Ismet Raja lahir di Desa Sekaladi, Kecamatan Batang Asai, Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi. Untuk mencapai desa ini, butuh waktu 5 jam perjalanan menggunakan kendaraan roda dua dari ibu kota kabupaten. Medan yang harus dilalui adalah jalanan terjal dan berlumpur yang lebih cocok menjadi lintasan trail ketimbang akses menuju pemukiman.

Sekaladi adalah tanah surga di balik rimbunnya hutan. Alam yang asri dan keramahan penduduk akan menyambutmu kala menginjakkan kaki di tempat ini. Di tanah inilah, Ismet lahir dan tumbuh besar dalam kesederhanaan.

Kabupaten Sarolangun yang memiliki luas 6.174 km² itu juga tak kalah surga. Tuhan buktikan kemurahan hati-Nya dalam bentuk keindahan dan kekayaan alam. Ia titipkan pepohonan rindang, bukit-bukit hijau, air yang jernih, udara yang bersih, lengkap dengan "harta" yang tertimbun di dasar bumi sebagai nikmat yang harus dijaga.

Namun, tanah surga itu perlahan tinggal cerita. Hutan disulap menjadi lahan tambang. Pepohonan hijau berganti alat berat yang tak henti mengeruk jutaan ton batu bara. Suara daun bergesekan dan jangkrik yang bersautan diganti bisingnya mesin yang bekerja siang malam. Air yang dulu jernih kini berangsur menghitam. Belum lagi lalu-lalang truk meninggalkan debu pekat yang mau tak mau jadi makanan sehari-hari masyarakat. Begitulah wajah Sarolangun hari ini, daerah penghasil batu bara dan emas terbesar di Jambi.

Keadaan tanah kelahirannya ini mengusik hati Ismet Raja. Kekhawatirannya akan kelestarian alam dituangkan dalam lagu-lagu yang ia ciptakan. Melalui lirik-lirik sederhana, ia mengajak masyarakat untuk memperhatikan kelestarian alam semesta beserta makhluk hidup yang ada di dalamnya.

Alam semesta ini diciptakan jauh lebih dulu sebelum manusia. Namun, kadang manusia lupa bahwa Tuhan menghadirkannya ke muka Bumi untuk menjaga alam. Manusia diberi akal pikiran agar ia bisa memanfaatkan kekayaan alam ini dengan baik guna bertahan hidup. Tindakan merusak alam sama saja dengan tidak mensyukuri nikmat Tuhan.

Kelestarian alam bukan hanya tanggung jawab manusia kepada Sang Pencipta, tetapi juga kepada anak cucunya. Di mana anak cucu berlindung bila hutan telah gundul? Apa yang akan anak cucu minum bila air telah kotor? Keadaan alam hari ini begitu ironi. Manusia telah menjadi budak dari hawa nafsu. Keserakahan ini adalah bom waktu yang akan meledakkan manusia sendiri. Melalui lagu-lagunya, Ismet Raja bukan bermaksud menggugat penguasa dan pengusaha. Tujuannya sungguh mulia, ia mengajak kita semua untuk sama-sama mengembalikan alam semesta seperti seharusnya. 

3. Belajar dari Orang Rimba  

https://www.youtube.com/embed/0tJzwL7uJSc

Bicara soal hutan di Provinsi Jambi tidak bisa lepas dari kehidupan Suku Anak Dalam. SAD atau yang dikenal dengan sebutan Orang Rimba adalah suku lokal yang sejak dulu mendiami kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas di sepanjang Kabupaten Batanghari, Sarolangun, Bungo, Tebo, hingga Merangin. Kehidupan Orang Rimba bergantung pada alam. Bagi Orang Rimba, hutan bukan sekadar tempat tinggal dan mencari makan. Lebih sakral lagi, hutan adalah warisan turun-temurun dari nenek moyang yang harus dijaga. Tanpa kita sadari, Orang Rimba menjadi kelompok manusia pertama yang terdampak kerusakan hutan.

Sejak kecil, Ismet Raja hidup berdampingan dengan Orang Rimba. Di kelompok SAD, Ismet dikenal dengan nama Rajo Rimbo. Kehidupan Orang Rimba menginspirasi Ismet Raja menulis lagu berjudul "Suku Anak Dalam" yang menjadi satu dari dua belas lagu di album pertamanya bertajuk Hijau dan Biru.

Ismet Raja kini tengah disibukkan dengan persiapan album keduanya. Kalau biasanya ia tampil dengan gitar dan harmonika, di album kedua ini ia akan menambah dua alat musik lagi: gambang dan gong. Sebagai musisi folk, alat musik yang ia mainkan merupakan alat yang berkembang di kehidupan rakyat.

Gambang adalah alat musik khas dari Kabupaten Muaro Jambi yang biasanya ditampilkan di acara adat seperti pernikahan. Gambang terdiri dari sebelas bilah kayu mahang yang disusun sejajar dan dimainkan dengan cara dipukul menggunakan bambu. Sementara, gong adalah simbol identitas Provinsi Jambi. Orang Rimba mengenalnya dengan nama tatawak, sebuah alat yang digunakan untuk berkomunikasi. Orang Rimba akan naik ke atas bukit lalu membunyikan tatawak dengan jumlah pukulan tertentu untuk mengabarkan berita penting, seperti kematian atau orang sakit.

"Orang Rimba itu cerdas, saya banyak belajar dari mereka," ungkap Ismet Raja.

dm-player

Di sela obrolan kami, Ismet Raja sesekali bersenandung. Rupanya, senandung indah itu adalah bagian dari ritual yang umum dilakukan Orang Rimba. Hingga hari ini, Orang Rimba masih menjunjung tinggi adat istiadat yang diturunkan oleh leluhur mereka. Ritual adat tidak hanya dilakukan di momen sakral pernikahan, kelahiran, dan kematian, tetapi juga dalam melakukan rutinitas sehari-hari, seperti berburu dan mengambil madu. Orang Rimba memohon keselamatan dan bermuja kepada Tuhan sebagai bentuk rasa syukur atas kekayaan alam.

Benar kata Ismet Raja, banyak hal yang patut dipelajari dari kehidupan Orang Rimba. Berkaca pada diri sendiri, saya merasa sangat malu dengan mereka. Bayangkan, untuk sekadar mengambil madu saja, Orang Rimba bermuja sebagai ungkapan terima kasih atas nikmat Tuhan. Sementara, saya yang lahir dan besar di kota serta memiliki akses ke pendidikan tinggi justru sering lupa untuk bersyukur, bahkan tidak jarang saya mengeluh.

Baca Juga: 6 Musisi Legendaris Indonesia yang Berasal dari Sumatra Utara

4. Bernyanyi sambil mengenalkan budaya  

Mengenal Ismet Raja Tengah Malam, Musisi Penyambung Lidah Orang Rimbainstagram.com/literacycoffee

"Sehari-hari, penampilan saya seperti inilah, saat nyanyi di panggung, bertemu orang, dan datang ke undangan sama saja," kata Ismet Raja sambil menunjuk ke pakaiannya.

Saat saya menemuinya, ia mengenakan kaos oblong hitam dipadu dengan kain yang dililit menyerupai sarung. Kain bercorak oranye itu adalah batik Jambi bermotif durian pecah yang menggambarkan dua bagian buah durian yang bertautan di pangkal batang. Menelisik maknanya, bagian pertama menyimbolkan kesalehan dan fondasi keimanan, sementara bagian kedua menyimbolkan ilmu pengetahuan. Jika digabungkan, motif durian pecah mengartikan bahwa langkah hidup ini harus berlandaskan pada kebijaksanaan dan iman, lalu diperkuat lagi dengan ilmu pengetahuan.

Saya juga tertarik dengan gelang yang melingkar di tangan kanannya. Dijelaskannya, gelang tersebut adalah gelang sebalik sumpah yang merupakan aksesori asli Orang Rimba. Sebalik sumpah berasal dari nama pohon yang menghasilkan buah dan di dalam buah tersebut terdapat biji-biji yang digunakan untuk membuat aksesori. Orang Rimba menggunakan sebalik sumpah sebagai penangkal bala. Anak-anak yang baru lahir akan dipakaikan gelang dan kalung sebalik sumpah di tangan, kaki, dan lehernya. Mereka meyakini siapa pun yang memaki dengan sumpah serapah, hal buruk itu akan kembali kepada orang yang mengucapkan.

Bagi Ismet Raja, cara berpenampilan menjadi bukti totalitasnya sebagai seorang seniman asli Jambi. Di mana pun ia bernyanyi, orang-orang bukan hanya akan mengenal Ismet Raja dan lagu-lagunya, tetapi juga mengenal khazanah budaya Jambi.

5. Bernyanyi adalah berdoa dua kali sehingga lantunkanlah kebaikan

Mengenal Ismet Raja Tengah Malam, Musisi Penyambung Lidah Orang Rimbainstagram.com/ismet_raja

Saat seorang muslim mengerjakan salat, ia telah melaksanakan satu perintah Tuhan. Ia menutup ibadahnya dengan berdoa dan memohon kebaikan pada Sang Pencipta. Lalu, ia bernyanyi lirik-lirik kebaikan sehingga ia sama saja dengan berdoa dua kali. Begitulah Ismet Raja mengartikan nyanyian.

Lagu-lagu Ismet Raja adalah ungkapan rasa cintanya kepada alam semesta. Lirik-lirik yang ia tulis adalah doa dan harapan. Tujuannya bernyanyi bukan untuk mendapat tepuk tangan. Ia pun tak pernah memperhitungkan berapa banyak penonton yang hadir menyaksikan penampilannya. Yang terpenting baginya adalah pesan yang ia bawa sampai ke hati pendengar.

Atas dasar tujuannya ini, Ismet Raja selalu menyisipkan sesi talk show di setiap panggungnya. Ia mengajak hadirin mendiskusikan isu pelestarian alam, hutan, dan kehidupan Orang Rimba. Ia ingin orang-orang tidak sekadar menikmati musik, tetapi juga meresapi makna pesan dan mengaplikasikannya dalam kehidupan. Harapannya agar lebih banyak lagi orang yang sadar akan pentingnya pelestarian alam, turut menjaga hutan, dan mencintai Orang Rimba.

Saya rasa apa yang dilakukan Ismet Raja adalah sebuah langkah brilian. Mengampanyekan kelestarian alam melalui pendekatan seni bisa menjadi sebuah solusi konkret. Sebab, pada dasarnya, seni berlandaskan keindahan dan rasa cinta. Secara alamiah, saat hati seseorang telah tertanam rasa cinta. Ia akan lebih mudah untuk digerakkan melakukan suatu hal, dalam hal ini menjaga kelestarian alam.

6. Selalu ada cerita di setiap perjalanan   

Mengenal Ismet Raja Tengah Malam, Musisi Penyambung Lidah Orang Rimbainstagram.com/ismet_raja

Seperti yang saya ceritakan di awal, Ismet Raja pernah hidup sebagai punker yang berpindah dari satu ke kota lainnya. Di setiap perjalanannya, ia selalu mendapat pelajaran yang membentuknya menjadi ia hari ini, begitu pula saat ia memutuskan terjun ke aliran folk.

Ismet Raja telah menyelesaikan beberapa tur di Provinsi Jambi, Pulau Sumatra, dan di kota-kota lain di luar Pulau Sumatra. Di setiap tempat yang ia singgahi, Ismet Raja selalu bertemu orang baru yang memberinya pengalaman berharga.

Satu lagi hal yang membuat saya heran, Ismet Raja lebih banyak bernyanyi di daerah-daerah yang audiensinya bukanlah orang-orang yang mengikuti perkembangan dunia musik. Mayoritas pendengarnya adalah orang desa, petani, bahkan Orang Rimba itu sendiri.

Suatu hari, saat Ismet Raja bernyanyi, seorang Temenggung (kepala suku Orang Rimba) sengaja datang untuk menonton penampilannya. Lebih mengejutkan lagi, di acara itu, sang Temenggung melelang sebuah kalung sebalik sumpah yang hasilnya diserahkan untuk membantu biaya perjalanan tur Ismet Raja. Saya yang mendengar cerita ini tidak bisa banyak berkata-kata. Betapa Orang Rimba menaruh harapan besar pada sosok Ismet Raja.

Bermodalkan gelar Sarjana Hukum, sebenarnya Ismet Raja bisa saja berkarier di sebuah perusahaan bonafide atau kembali ke Sarolangun dan mengabdi di instansi pemerintahan. Soal penghasilan, tentu saja pekerjaan itu lebih menjanjikan daripada dunia yang saat ini ia tekuni. Namun, bagi Ismet Raja, tidak semua hal diukur dari nominal uang. Inilah jalan yang telah ia pilih, yaitu menyuarakan kebenaran, kelestarian alam, dan kesejahteraan Orang Rimba melalui musik dengan suka dan duka beserta risiko yang akan terus mengikutinya.

Perkenalan saya dengan Ismet Raja mengajarkan banyak hal. Ia telah menyadarkan saya akan rasa syukur dan memberi pandangan baru mengenai alam semesta.

Jika dakwah adalah menyampaikan kebaikan, Ismet Raja telah melakukannya meski ia tidak berdiri di sebuah mimbar.

Ismet Raja Tengah Malam, terima kasih atas kegigihanmu menjadi penyambung lidah bagi banyak orang yang suaranya tak didengar. Saya percaya Tuhan selalu bersama orang-orang yang melangkahkan kaki membela kebenaran.

Baca Juga: Bertahan di Tengah Pandemik, Musisi Lokal Harus Jual Alat Musik

Ratumas Ovvy Photo Verified Writer Ratumas Ovvy

Find me on Instagram @ratumasovvy

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yudha

Berita Terkini Lainnya