Menilik Minat Baca Tunanetra dari Perpusnas RI, Masih Terkendala Akses

Mereka pun penyuka horor!

Apabila kita bertanya tentang minat baca masyarakat, barangkali sudah biasa dan tertebak jawabannya. Tapi, pernahkah kamu mencoba menilik minat baca tunanetra? Dalam keadaan yang terbatas, bagaimana tingkat literasinya? Untuk menjawabnya, tim IDN Times sempat mewawancarai Indah Eka Putri dan tim lainnya dari Perpusnas RI Layanan Lansia dan Disabilitas sebagai berikut.

1. Menurut Indah Ekaputri, jumlah kunjungan tunanetra dalam kurun waktu sebulan berkisar di antara 1-2 orang

Menilik Minat Baca Tunanetra dari Perpusnas RI, Masih Terkendala AksesIDN Times/Febriyanti Revitasari

Indah Ekaputri (Pustawakan & Ketua Kelompok Layanan Lansia dan Disabilitas Perpusnas RI) mengatakan jika jumlah pengunjung layanan lansia jauh lebih banyak dibandingkan dengan tunanetra. "Untuk ke sini, mereka membutuhkan usaha ekstra. Setiap bulan ada paling tidak satu atau dua orang ada," katanya.

Meski begitu, jumlah kunjungan tunanetra ke Layanan Lansia dan Disabilitas memang tidak dapat diprediksi. Indah mengucapkan, sesekali kunjungan bisa sangat ramai sekali tanpa terduga. "Ketika ramai, ya ramai banget. Satu bulan bisa 10 kali kunjungan," tutur dia. Tahun 2018 sendiri, jumlah kunjungan tunanetra mencapai 30 kunjungan. Sementara dalam periode Mei, Juni, dan Juli 2019, jumlahnya mencapai 18 kunjungan.

Sayangnya, Indah tidak dapat melacak pola atau kecenderungan kunjungan tersebut. "Dalam mendata kunjungan, kita hanya dengan kartu anggota ya. Di kartu ini, tidak tercatat apakah itu lansia atau disabilitas. Hanya anggota dan non anggota. Jadi kalau untuk memperkirakan, saya agak susah," tambahnya.

2. Meski tampak sedikit, statistik tersebut terbilang banyak mengingat anyarnya umur layanan. Di sisi lain, aksesibilitas bisa jadi salah satu penyebabnya

Menilik Minat Baca Tunanetra dari Perpusnas RI, Masih Terkendala AksesIDN Times/Febriyanti Revitasari

Diketahui, Layanan Lansia dan Disabilitas pada Perpusnas RI telah berdiri selama 1,5 tahun. Tepatnya, pada September 2017. Sejauh ini, promosi layanan masih belum menjadi fokus. Namun Indah berharap hal ini dapat mulai dicanangkan pada tahun depan.

"Ketika kita berbicara tentang disabillitas, masih banyak stigma negatif dari orang-orang. Apalagi dari masyarakat Indonesia," tutur Indah soal keengganan tunanetra menikmati fasilitas layanan perpustakaan khusus disabilitas yang sebenarnya sudah cukup canggih. Hal ini pada akhirnya, membuat tunanetra sungkan berbaur dengan masyarakat normal.

"Yang kedua itu, hambatannya aksesibilitas. Jangankan di sini, jangankan di perpustakaan ini. Di jalan umum, itu ada guiding block untuk tuna netra kan? Tapi itu tidak bisa digunakan. Bukan udah tipis lagi, tapi jalurnya itu tidak sesuai seharusnya. Kadang-kadang udah kepotong, kan? Gimana mereka bisa jalan?" katanya lagi.

Karena itu, Indah menyiasati hal tersebut dengan layanan jemput bola. Yang dimaksud jemput bola di sini adalah ketika seorang pemustaka tunanetra terdeteksi datang, ia dan timnya berkoordinasi melakukan penjemputan dari lobby. Usai mengakses layanan pun, pemustaka diantarkan hingga lobby. Ini mengingat posisi Layanan Disabilitas terletak di lantai tujuh.

Salah satu Tenaga Teknis Perpusnas RI Layanan Lansia dan Disabilitas, Ivan Suswandar pun setuju jika layanan yang masih baru itu, belum cukup terpromosikan. "Dalam kurun waktu hampir 2 tahun, belum cukup untuk layanan difabel itu terpublikasi. Pernah terpikir, kenapa kunjungan sedikit? Perlu adanya sosialisasi pemasyarakatan gemar membaca," kata laki-laki yang termasuk salah satu tenaga disabilitas di Perpusnas RI tersebut.

3. Biasanya, motivasi kunjungan tunanetra ke Layanan Lansia dan Disabilitas Perpusnas RI, tak ubahnya dengan lansia, tujuannya leisure

Menilik Minat Baca Tunanetra dari Perpusnas RI, Masih Terkendala AksesIDN Times/Febriyanti Revitasari

"Kalau tunanetra itu, hiburan juga sih ke sini. Lebih banyak ke hiburan," ujar Indah. Sementara kunjungan tunanetra dalam rangka tugas sekolah atau kuliah, masih jarang terjadi. Oleh karena itu, wajar saja apabila buku-buku yang dipilih adalah novel. Menurutnya, novel seperti Dilan 1990 dan kisah-kisah besutan Tere Liye turut menjadi tren.

"Kebanyakan novel, ya. Kalau lansia, cenderung ke buku kesehatan, sejarah, hobi, dan agama juga. Untuk tunanetra, balik lagi ke selera masing-masing. Tapi kebanyakan yang di sini, mendengarkan audio books-nya itu fiksi," kata dia.

4. Selain novel populer Dilan 1990, ternyata horor cukup diminati oleh pemustaka tunanetra. Di mana ini diperdengarkan lewat audio book player

Menilik Minat Baca Tunanetra dari Perpusnas RI, Masih Terkendala AksesIDN Times/Febriyanti Revitasari

"Mbak, ada horor gak? Ada. Mau pilih?" Indah menirukan permintaan pemustaka tunanetra saat ingin mendengarkan audiobooks yang cukup banyak diminati tersebut. Ya! Genre horor yang dikenal menyeramkan, menegangkan, dan membuat bergidik itu membawa sensasi sendiri buat tunanetra saat didengarkan.

"Yang paling sering dicari itu, horor sama Dilan. Karena masih baru kan itu, masih hot. Terus novelnya Tere Liye juga. Mereka senang bacanya," kisah Indah dengan sumringah. Terkadang, pemustaka yang sama akan kembali lagi keesokan harinya dan meminta genre horor kembali.

Biasanya, pemustaka yang sedang bertugas akan membacakan judul audiobooks yang dimiliki. Setelah pemustaka memilih, ia akan membantu mencarikannya. Tak lama kemudian, pemustaka sudah tenang dan larut dalam kisah yang dipilihnya lewat bantuan headset.

Baca Juga: Kisah Ivan Suswandar, Tenaga Perpustakaan Tunanetra yang Luar Biasa

5. Perpusnas RI memiliki koleksi buku Braille dan audio book. Masih ada juga perangkat teknologi lain yang membantu tunanetra untuk membaca

Menilik Minat Baca Tunanetra dari Perpusnas RI, Masih Terkendala AksesIDN Times/Febriyanti Revitasari
dm-player

Tak ubahnya pemustaka biasa yang bisa lebih suka buku cetak atau pun ebook, pemustaka tunanetra juga boleh memilih jenis buku mana yang ia sukai. "Begitu pula dengan tuna netra. Banyak yang lebih memilih audio book. Karena apa? Mereka hanya mendengarkan aja. Anteng gitu," kata dia.

Selain ada jenis buku tersebut, pemustaka tunanetra dapat menemukan sejumlah perangkat yang memandu dalam menikmati buku dan informasi. Sebut saja, CCTV Low Vision. Untuk tunanetra yang masih mampu melihat namun terbatas, perangkat ini akan sangat membantu. Bagiannya terdiri dari layar serta scanner khusus.

"CCTV Low Vision kameranya di atas scanner. Layarnya bisa berubah warna karena low vision ada warna tertentu yang lebih jelas terlihat. Mereka bisa pilih sendiri warnanya. Bisa zoom in, zoom out. Bisa di-lock biar bukunya gak gerak-gerak. Ada fitur penggaris sebagai pembatas buku," tutur Lana Yurisa Ayodya, Pemustaka Perpusnas RI Layanan Lansia dan Disabilitas.

Lalu, ada pula komputer bicara. "Kita punya komputer bicara yang sudah diinstalkan software NVDA (NonVisual Desktop Access) di dalamnya. Jadi, bisa konversikan huruf jadi suara," jelas Indah. Lana pun menambahkan, "Intinya sama saja dengan komputer biasa. Tapi dia ngomong. Terus untuk tunanetra, ada rumus keyboard. Full keyboard, tidak pake mouse. Yang beda itu."

Selain itu, ada pula perangkat audio book player yang digunakan untuk memutar audio book. Mirip seperti telepon duduk tanpa gagang, terdapat celah untuk menyusupkan keping CD. "Sebenarnya audio book adalah data MP3. Kalau di luar negeri, sudah banyak. Benar-benar booming. Kalau di Indonesia, penerapannya cuma buat tunanetra. Ini bisa disetel di komputer juga kok!" jelas Lana lagi.

6. Setidaknya, di Indonesia sudah dikenal dua produsen buku Braille. Meski begitu, jumlah ini masih terbilang sedikit dibandingkan di luar negeri

Menilik Minat Baca Tunanetra dari Perpusnas RI, Masih Terkendala AksesIDN Times/Febriyanti Revitasari

Di Indonesia, terdapat Balai Penerbitan Braille Indonesia (BPBI) “Abiyoso” dan Yayasan Mitra Netra sebagai produsen buku-buku Braille. BPBI Abiyoso adalah lembaga di bawah Kementerian Sosial Republik Indonesia yang bertugas menyediakan bacaan bagi penyandang tunanetra.

Di samping itu, lembaga yang berkedudukan di Cimahi ini, juga mengkaji dan menyiapkan standarisasi sarana dan prasarana, mencetakan dan menerbitkan buku-buku Braille, memberikan informasi, sampai mengadakan koordinasi serta kerja sama dengan instansi terkait.

Sementara Yayasan Mitra Netra adalah organisasi nirlaba yang fokus programnya adalah meningkatkan kualitas dan partisipasi tunanetra di bidang pendidikan dan lapangan kerja. Berdiri sejak 1991, yayasan ini juga memiliki fasilitas berupa perpustakaan khusus tunanetra.

"Di sini, yang memproduksi buku Braille dan audio book masih sedikit dibandingkan di luar negeri. Yang saya tahu, untuk produsen koleksi Braille itu, masih Abiyoso dan Mitra Netra. Masih terbatas, ya. Dari sekian jumlah penduduk indonesia yang menyandang tunanetra dengan koleksi yang ada, masih belum mencukupi," tambah Indah.

7. Meski ke depannya sangat mungkin berprospek bagus, keberadaan perpustakaan untuk tunanetra di Indonesia masih belum memadai

Menilik Minat Baca Tunanetra dari Perpusnas RI, Masih Terkendala AksesIDN Times/Febriyanti Revitasari

Walaupun dari poin pertama, jumlah kunjungan tampak sangat sedikit, prospek perpustakaan khusus tunanetra di masa depan bisa sangat berkembang dan baik. Bukan sekedar untuk membaca buku Braille atau audio book saja, melainkan juga sebagai pusat informasi, penelitian, dan rekreasi.

"Selama ini, kita masih belum ada pemustaka yang bilang, “Mbak, mau belajar di sini dong!” Seperti yang saya bilang tadi, lebih leisure ya. Lebih ke hiburan. Mudah-mudahan bisa jadi pusat penelitian, pusat rekreasi, dan pusat informasi," Indah sekaligus menyampaikan harapannya.

"Kalau menurut saya, masih kurang ya. Pertama untuk aksesibilitas. Memang beberapa perpustakaan di Jakarta sudah mulai banyak yang ramah untuk difabel. Tetapi masih belum sempurna. Ada beberapa hal lagi yang masih perlu disempurnakan," kata Indah soal sudah mencukupi atau tidaknya perpustakaan untuk tunanetra di Indonesia.

Memang letak perpustakaan yang cukup jauh, bisa menjadi penghalang yang kentara. Seharusnya, layanan yang bersifat jemput bola bisa ditingkatkan di setiap daerah. Selain masalah aksesibilitas, masih ada perkara koleksi atau produsen buku Braille seperti yang disampaikan pada poin sebelumnya.

8. Dari hasil wawancara di atas, tampak jelas bahwa kita sebagai lingkungan sekitar tunanetra wajib mendorongnya meski dari cara sederhana

Menilik Minat Baca Tunanetra dari Perpusnas RI, Masih Terkendala AksesIDN Times/Febriyanti Revitasari

Pertama, mulailah menghentikan stigma negatif kita pada tunanetra. Sebaliknya, minimal berikan pujian, saran, kritik membangun, atau rekomendasi ketika mereka berkarya. Beri juga sebagian ilmu yang kamu miliki pada mereka. Percayalah, bukan keinginan mereka menjadi tunanetra! Karena itu, sesungguhnya mereka pun jengah apabila hanya diberi rasa kasihan terus-terusan.

"Coba lihat kami, libatkan kami. Jangan belas kasihan mulu yang dibuat," tutur Ivan.

Kedua, bantulah mereka ketika bertemu di jalan atau fasilitas publik. Meski pemerintah telah berusaha membantu mereka, upayanya belum maksimal. Kita sebagai orang yang ada di sekelilingnya, yang seharusnya memiliki kepekaan dan kesadaran.

Kelak jika semua orang bisa seperti ini, tak ada lagi keengganan untuk berbaur. Termasuk mengunjungi perpustakaan.

Menilik Minat Baca Tunanetra dari Perpusnas RI, Masih Terkendala AksesIDN Times/Muhammad Rahmat Arief

Baca Juga: Kisah Haru Abdul Manan, Si Tuna Netra Penghafal Alquran dalam 8 Bulan

Topik:

  • Febriyanti Revitasari
  • Pinka Wima

Berita Terkini Lainnya