Memikat Wisatawan dengan Warna-Warni Kampung Ketupat 

Mencoba menjaga tradisi ratusan tahun

Samarinda, IDN Times - Kedua mata Sri Mita nyaris tak berkedip, mengerling lembaran daun nipah. Saat menyimpul, jemari kirinya lihai memasukkan helai ke dalam rongga yang sebelumnya dibuat, hingga membentuk pola unik. Sementara jemari kanannya cekatan menahan agar desain itu tak berantakan. Dalam hitungan detik, satu ketupat ukuran jumbo pun jadi.

Ibu dua anak itu, sudah dua dekade menekuni kerajinan membuat ketupat ini. Tepat awal tahun 1999 dia mencoba kali pertama. Lazimnya pemula, dia juga lamban dalam menganyam helai nipah menjadi ketupat. Ukuran besar lebih gampang, tapi bentuk kecil terkadang sukar.

“Ini hanya terbiasa saja,” ucapnya saat ditemui IDN Times di Kampung Ketupat, Jalan Mangkupalas, Kelurahan Masjid, Kecamatan Samarinda Seberang, Kota Samarinda.

1. Sebagian besar pengrajin ketupat adalah perempuan

Memikat Wisatawan dengan Warna-Warni Kampung Ketupat IDN Times/Yuda Almerio

Terletak di sepanjang rukun tetangga 14, Kampung Ketupat adalah surga bagi pembuat ketupat. Nyaris sepanjang jalan beton yang sudah dipugar itu, pembuat ketupat berjejer rapi di sebelah kanan, seolah menyambut kedatangan pengunjung sedangkan sisi kiri ada Sungai Mahakam.

Tak jauh dari kediaman Sri Mita, panggung warna-warni disertai monumen ketupat, disediakan bagi pelancong yang hendak mengabadikan gambar di  kampung wisata tersebut. “Rata-rata yang bikin ketupat itu ibu-ibu,” katanya.

Dalam hitungan jam, Sri mengaku bisa membuat puluhan ketupat. Dari pagi sampai sore, bisa ribuan. “Itu bisa dibikin kalau pekerjaan rumah sudah beres. Ya, mencuci dan masak,” sebutnya.

Ketika siang atau senja tiba, pembeli langganan Sri akan datang mengambil pesanan ketupat. Biasanya mereka adalah penjual soto banjar atau coto makkassar. Harganya beragam, satu ketupat besar atau kecil dinilai Rp500. Taksiran berubah ketika ketupat dipesan dalam partai besar. Misal, 100 ketupat kecil Rp 25 ribu, sedangkan yang besar degan jumlah sama dijual dengan harga Rp30 ribu.

“Ya, alhamdulillah selalu ada yang beli,” kata bungsu sembilan saudara ini.

Baca Juga: 7 Fakta Unik tentang Ketupat, Bukan Sekadar Makanan Khas Lebaran

2. Hujan jadi rintangan saat membuat ketupat

Memikat Wisatawan dengan Warna-Warni Kampung Ketupat IDN Times/Yuda Almerio

Hujan adalah kendala terbesar pengrajin ketupat. Ketika butiran air itu datang membasahi bumi, matahari tak bisa lagi menyengat daun nipah yang akan dibentuk atau sudah dibentuk menjadi ketupat. Saat itu terjadi, biasanya daunnya tak keras dan cepat hancur. Warnanya juga berubah krem.  

“Ya, rugilah. Kan daun nipah ini juga dibeli,” sebutnya.

Biasanya jelang Hari Raya Iduladha atau Idulfitri permintaan ketupat meningkat berkali lipat. Terkadang jika tak sanggup, dia harus meminta bantuan kawan atau keluarganya. Saat itulah pundi-pundi keuntungan Sri ikut terkerek naik. Walaupun tak hari raya, pengrajin tetap membuat ketupat karena permintaan dari penjual makanan.

3. Berasal dari tradisi ratusan tahun

Memikat Wisatawan dengan Warna-Warni Kampung Ketupat IDN Times/Yuda Almerio

Di tempat terpisah, Ketua RT 14, Kasdul Pamungkas mengaku jika pembuat ketupat sudah lama berdiam di kawasan Mangkupalas, Samarinda Seberang. Bisa jadi ratusan tahun lalu sudah ada, sebab ketupat bukan hal baru.

Dari kisah sesepuh, ketupat itu tak akan ada jika warga tak menggunakan daun nipah sebagai atap rumah. “Saya, ke sini (Samarinda Seberang) tahun 1985, sudah ada itu pembuat ketupat,” katanya.

Sebenarnya daun nipah ini, kata dia, diambilnya jauh. Bukan di kawasan Sungai Mahakam sekitar Samarinda, tapi di kawasan Handil, Muara Jawa, Kabupaten Kutai Kartanegara. Jaraknya puluhan kilometer.

“Yang biasa ngambil juga sudah tua, belum ada regenerasi. Semisal tak ada nipah, bagaimana jadinya Kampung Ketupat. Kami harap pemerintah bisa berikan solusi,” tegasnya.

Sejak diresmikan Januari 2019, kawasan RT 14 ini ramai dikunjungi pelancong.  Sebelum disulap menjadi salah destinasi wisata oleh pemerintah, Kampung Ketupat merupakan permukiman padat dan terbilang kumuh. Sekarang citra itu berubah semenjak mendapat sentunan warna-warni, jalur yang dulunya jembatan kayu pinggir sungai juga sudah dibeton.

“Dari sini (Kampung Ketupat) bisa lihat kerlap-kerlip lampu Jembatan Mahkota 2 kalau malam,” terangnya.

Sekilas, potret Kampung Ketupat mirip dengan Kampung Warna-warni Jodipan, Klojen, di Malang, Jawa Timur. 

4. Rencana membangun Kampung Deret

Memikat Wisatawan dengan Warna-Warni Kampung Ketupat IDN Times/Yuda Almerio

Kasdul menambahkan, selain Kampung Ketupat, bersama Pemkot Samarinda pihaknya hendak mengusahakan pengembangan Kampung Deret. Nantinya akan bersanding dengan Kampung Ketupat.

Rencananya akan menata kedai di pinggiran sungai. Pedagang, pengrajin ketupat, penjual makanan dan penjual oleh-oleh bisa menggunakan tempat tersebut.

“Biar lebih tertata dan wisatawan tak kesulitan mencari tempat makan kemudian membeli kenang-kenangan,” pungkasnya.

Baca Juga: 5 Tips Agar Ketupat Tahan Lama & Tidak Gampang Basi

Topik:

  • Mela Hapsari

Berita Terkini Lainnya