[INFOGRAFIS] Fenomena Menikah Muda, Apa Pendapatmu?

Yang belum menikah juga perlu tahu, lho

Memasuki usia dewasa awal, apa yang terlintas di bayangmu? Apakah kamu ingin mengejar karier hingga sukses atau membangun biduk rumah tangga bersama sang pujaan hati? Apa pun yang menjadi pilihanmu, pasti ada banyak pertimbangan yang harus kamu putuskan.

Belakangan ini, kamu tentu sering mendengar kabar bahagia dari publik figur hingga kerabat terdekat yang memutuskan untuk mengingat janji pernikahan. Tak jarang, kamu pasti mendengar banyaknya publik figur yang menikah di usia muda, seperti Lesti Kejora dan Aurel Hermansyah. Walau pandemik, pernikahan tetap menjadi momen bahagia yang dinanti-nantikan.

Nyatanya, pernikahan gak melulu tentang kebahagiaan, lho. Ada banyak faktor yang menjadi konsekuensi dalam pernikahan, seperti berkurangnya waktu untuk diri sendiri hingga banyaknya tanggung jawab baru yang harus diemban. Apabila konsekuensi ini tidak dapat diatasi dengan baik dapat merujuk pada kondisi-kondisi terburuk seperti perceraian.

Dilansir Buku Statistik Pemuda Indonesia 2020, data Badan Pusat Statistik tahun 2020 memaparkan kondisi bahwa masih ada 38,85 persen pemuda yang menikah di tahun 2020. Sebanyak 1,33 persen di antaranya mengalami perceraian di usia 16-30 tahun.

Sejalan dengan fenomena tersebut, IDN Times melakukan survei terdiri dari 471 responden yang tersebar di seluruh Indonesia. Survei bertemakan “Fenomena Pernikahan Muda, Apa Pendapatmu?” dilakukan sepanjang bulan Oktober-Desember 2021. Berikut ini pemaparannya temuan kami.

1. Hasil survei menunjukkan bahwa banyak responden usia dewasa awal yang tertarik dengan fenomena pernikahan muda

[INFOGRAFIS] Fenomena Menikah Muda, Apa Pendapatmu?infografis fenomena menikah muda (IDN Times/ Aditya Pratama)

Survei dilakukan kepada responden yang sudah menikah dan belum menikah untuk mengetahui pandangan mereka terhadap pernikahan muda. Riset diikuti oleh 77,7 persen responden perempuan dan 22,3 persen responden laki-laki.

Mayoritas responden berdomisili di kawasan metropolitan seperti DKI Jakarta (17 persen), Jawa Timur (21 persen), dan Jawa Barat (20 persen). Di antaranya sudah mengenyam pendidikan Sarjana sebanyak 51,1 persen. Tertinggi keduanya hanya lulusan SMA/SMK/STM/sederajat sebanyak 32,7 persen.

Menariknya, survei ini didominasi oleh gen z berusia 19-25 tahun dengan persentase sebesar 51,8. Sisanya, ada 32,9 persen responden berusia 25-30 tahun, dan 15,3 persen responden berusia di atas 30 tahun.

2. Salah satu alasan yakin menikah muda ialah keinginan beribadah. Daripada pacaran, lebih baik menikah untuk menghindari zina

[INFOGRAFIS] Fenomena Menikah Muda, Apa Pendapatmu?infografis fenomena menikah muda (IDN Times/ Aditya Pratama)

Pernikahan merupakan momen sakral dan bagi beberapa orang dianggap sebagai tujuan akhir dari sebuah hubungan. Tentunya, ketika seseorang memutuskan untuk memasuki jenjang atau fase baru kehidupan ini, ada banyak faktor yang melatarbelakangi keputusan tersebut. Namun, alasan setiap orang pastinya tak mungkin sama.  

Hasil survei menunjukkan ada 29,7 persen responden yang sudah menikah dengan beragam kategorisasi usia saat menikah. Total responden yang menikah di usia muda atau di bawah 25 tahun sebesar 52,8 persen. 

Sebagian besar responden ini memutuskan untuk menikah muda karena faktor agama, yaitu diniatkan sebagai ibadah. Tujuannya menghindari fitnah karena pacaran sehingga mereka lebih memilih menghalalkan hubungan dalam ikatan pernikahan yang sah agar tidak zina.

“Kalau dalam agama Islam memang menikah itu kan diniatkan untuk ibadah, daripada kita pacaran dan makin banyak dosanya. Mungkin menurutku aku belum siap, tapi menurut Tuhan aku siap,” ungkap salah seorang responden berinisial NP (22).

Hal yang sama juga diutarakan dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Rudi Cahyono M. Psi., Psikolog, bahwa menikah adalah hak setiap orang. Bila dilatarbelakangi oleh niatan agama untuk menghindari zina maka keyakinan itu juga harus diikuti oleh perencanaan yang baik.

“Aku percaya mungkin emang udah jodohnya dateng. Ya udah aku niatin bismillah semoga pilihanku tepat. Ya udah aku putuskan untuk menikah karena emang tujuannya untuk ibadah, daripada aku pacaran terus putus nyambung. Aku merasa ada laki-laki yang nyambung, yang cocok, sepemikiran. Rasanya udah nemu teman hidup yang pas, terus mau cari apalagi?” ujar responden survei berinisial NV (22).

Nyatanya, alasan-alasan itu saling berkaitan hanya saja berbeda prioritas. Yang terpenting adalah melegalkan hubungan secara hukum dan agama. Namun, didukung juga oleh kecocokan antar pasangan (17,6 persen), serta mampu secara finansial (13,5 persen).

3. Ada banyak hal positif yang dirasakan oleh pasutri muda. Sebesar 22,9 persen merasa senang ada partner untuk berbagi dalam segala hal

[INFOGRAFIS] Fenomena Menikah Muda, Apa Pendapatmu?Ilustrasi Menikah (IDN Times/Arief Rahmat)

Ada temuan menarik tentang pernikahan dan kesehatan mental pada dewasa muda. Jeremy E. Uecker dari University of North Carolina melakukan riset pada 20,745 pemuda asal Amerika dari single, tunangan, hingga sudah menikah. Hasil riset menunjukkan bahwa pemuda yang menikah di usia 22-26 tahun berpotensi rendah mengalami tekanan psikologis. 

Sejalan dengan temuan tersebut, kami melihat bahwa responden juga merasa lebih bahagia (6,8 persen), banyak waktu untuk berkembang dengan pasangan (17,6 persen). Menurut Jeremy, hal tersebut mungkin dipengaruhi oleh fase transisi pernikahan baru atau fase honeymoon sehingga excitement vibes-nya masih sangat terasa. 

Dalam riset ilmiah tersebut, ditemukan juga fakta bahwa pasangan muda yang baru menikah justru merasa lebih "puas" dengan hidup mereka daripada orang lain yang belum menikah. Status sosial dan ekonomi, parenthood, kestabilan hubungan, perjalanan spiritual adalah beberapa faktor yang berkaitan dengan kepuasan hidup.

Jeremy dalam risetnya mengatakan bahwa sisi emosional dan dukungan sosial dari pasangan mendukung individu untuk lebih “puas”. Berbeda dengan individu yang belum menikah, mereka masih fokus pada permasalahan pribadi. Artinya, kehadiran pasangan membuat seseorang merasa lebih nyaman karena bisa berbagi, mendapatkan dukungan, dan perhatian secara personal.

Terkait keuntungan saat menikah muda, kami melihat ternyata ada banyak hal positif yang dirasakan para responden, lho. Di posisi pertama, sebesar 24,3 persen responden setuju bahwa pernikahan muda membuat jarak usia dengan anak tidak terlalu jauh. Selain itu, 22,9 persen responden merasakan senangnya memiliki seseorang yang mendukung dan menemani.

Seperti pendapat yang diutarakan NP (22), ibu muda dengan satu anak ini membagikan pengalaman bahwa dirinya bersyukur punya partner hidup yang bisa saling membantu dan sharing. NP juga mengungkapkan bahwa orangtua merasa lebih tenang tahu bahwa anaknya sudah ada yang menjaga atau mengayomi.

Opini lain juga diutarakan oleh AR (30) yang setuju bahwa pernikahan muda itu memberikan peluang untuk punya anak di usia produktif. Alhasil, jarak usia antar anak dan orangtua tidak akan terlampau jauh sehingga tidak ada kesenjangan dalam pola pengasuhan anak.

Baca Juga: [INFOGRAFIS] Seberapa Efektif Dating App untuk Mencari Jodoh?

4. Selain hal baik, pernikahan muda juga membawa konsekuensi. Salah satunya banyak tuntutan dan kurangnya waktu untuk diri sendiri

[INFOGRAFIS] Fenomena Menikah Muda, Apa Pendapatmu?infografis fenomena menikah muda (IDN Times/ Aditya Pratama)

Sejumlah responden yang menikah muda mengutarakan beberapa konsekuensi yang harus dialami ketika sudah menikah. Setidaknya ada 33,8 persen responden merasa tidak sebebas saat lajang. Diikuti oleh konsekuensi peringkat kedua tertinggi, yaitu banyaknya tuntunan atau tanggung jawab yang dipegang (31 persen). Kemudian, sebanyak 17,6 persen responden lainnya merasa waktu untuk diri sendiri semakin berkurang.

dm-player

Dalam survei ini, kita bisa melihat bahwa setiap fase kehidupan memiliki risiko masing-masing. Perkara membangun biduk rumah tangga bukanlah jaminan bisa hidup bahagia tanpa permasalahan. Apalagi di usia yang tergolong muda, psikolog klinis Retno Dwiastuti berpendapat bahwa seseorang diharapkan memiliki kematangan di berbagai aspek.

Retno memaparkan bahwa kematangan menjadi salah satu faktor yang jadi pertimbangan untuk menikah. Pasalnya, kematangan ini akan berpengaruh pada hubungan itu sendiri. Individu yang dikatakan sudah “matang” mampu mempertimbangkan banyak hal sebelum mengambil keputusan.

Artinya, mereka yang memilih untuk menikah di usia muda ini idealnya paham akan konsekuensi yang dihadapi. Terkait dengan konsekuensi ini, responden IS (22) yang baru 1,5 tahun menikah dan baru memiliki anak menceritakan kendalanya dalam berumah tangga.

“Kalau memang kamu belum siap, jangan coba-coba (menikah_red). Kayak berasa dituntut gitu, ada peran baru sebagai istri. Terus tiba-tiba hamil, ada peran baru lagi sebagai ibu. Nikah juga baru, masih belum beradaptasi terus sekarang jadi ibu tuh susah juga, kan. Apalagi kalau gak ada yang kasih contoh,” paparnya.

Ada pun konsekuensi lainnya adalah kondisi psikologis yang belum matang (6,8 persen). Akibatnya, sebanyak 5,4 persen responden lainnya setuju bahwa konsekuensi buruk dalam pernikahan muda adalah perceraian.

Sejalan dengan data tersebut, psikolog Retno kembali mengingatkan bila kondisi psikologis yang belum matang itu akan berdampak pada ketidakmampuan suami dan istri untuk menemukan jalan keluar dari suatu permasalahan. Kalau terjadi secara intens, masalah ini bisa lebih kompleks dan mengarah pada perceraian sebagai dampak buruk dari konflik dalam pernikahan.

5. Ditemukan fakta bahwa 52,4 persen responden menganggap pernikahan muda memiliki banyak risiko

[INFOGRAFIS] Fenomena Menikah Muda, Apa Pendapatmu?Ilustrasi hamil (IDN Times/Mardya Shakti)

Kami menanyakan beberapa pandangan responden terhadap konsep pernikahan muda ini dengan skala likert. Skala 1 menunjukkan respons sangat tidak setuju, 2 tidak setuju, 3 netral, 4 setuju, dan 5 sangat setuju. Diperoleh data sebesar 52,4 persen yang menyatakan kesetujuan responden bahwa pernikahan muda membawa banyak risiko yang harus dihadapi.

“Risikonya itu besar. Jika perempuan harus siap risiko hamil, melahirkan, mengurus anak, mengurus suami. Seolah perempuan tidak boleh capek. Jika laki-laki, harus siap pola hidupnya berubah. Apalagi menikah di usia muda memungkinkan banyak orang akan lupa dengan status bahwa mereka sudah menikah,” tutur IF (24).

Psikolog Retno mengungkapkan bahwa ada banyak faktor yang memengaruhi kondisi pernikahan baik itu dari segi fisik, mental, sosial, finansial, maupun pendidikan. Bahkan usia juga tidak bisa dijadikan tolak ukur.

Masih dalam skala likert 1 hingga 5, responden banyak yang kurang setuju dengan konsep menikah muda, memperoleh persentase sebesar 35,5 (207 responden). Seiring dengan hal tersebut, ada fakta menarik bahwa 36,1 persen berada di posisi netral dengan 234 responden tidak setuju ketika ditanya perihal apakah menikah muda lebih baik dilakukan.

“Tidak dianjurkan (menikah muda_red) karena individu dengan usia muda memiliki tahapan perkembangan psikologis yang lain (bukan menikah) di mana ketika tidak dipenuhi dengan baik bisa berimplikasi pada impairment di tahap perkembangan usia berikutnya. Selain itu, individu dengan usia muda memiliki kondisi biologis yang belum siap sepenuhnya untuk memiliki anak sehingga butuh penyesuaian yang ekstrim apabila menikah di usia muda,” ucap DAN (26).

6. Diperlukan persiapan yang tepat sebelum memutuskan masuk ke jenjang yang lebih serius

[INFOGRAFIS] Fenomena Menikah Muda, Apa Pendapatmu?Ilustrasi Menikah (IDN Times/Arief Rahmat)

Berdasarkan UU Nomor 16 Tahun 2019 memang disebutkan bahwa usia minimal untuk menikah bagi perempuan dan laki-laki adalah 19 tahun. Jika menengok aturan ini, maka setiap orang berhak dan diperbolehkan untuk menikah asalkan sudah di atas usia 19 tahun. Namun, usia tidak bisa menjadi indikator kesuksesan suatu hubungan.

Menurut psikolog Retno, kita tidak bisa mengatakan bahwa individu yang usianya sudah lebih banyak maka secara fisik, mental, sosial, finansial lebih matang daripada yang usianya lebih muda. Walaupun usia sudah layak untuk menikah, tetapi kita juga perlu menengok kesiapan secara psikologis.

Ia menyarankan agar pasangan saling terbuka dan bersiap untuk "berjuang" lebih keras. Apabila ada yang secara mental belum siap, maka pasangan harus lebih bijak dalam membangun komunikasi.

Hal ini dikarenakan pernikahan tidak hanya melibatkan dua pihak, melainkan ada peran dari lingkungan sosial. Kondisi ini yang membuat individu harus bijak menjaga diri agar kondisi sekitar atau masukan dari orang lain tidak menimbulkan konflik dalam hubungan.

Senada dengan pernyataan tersebut, psikolog Rudi Cahyono mengungkapkan bahwa kesiapan secara mental itu bisa terlihat dari cara mereka mempersiapkan pernikahan itu sendiri. Selain persiapan mental, misalnya ada pula persiapan pekerjaan, intensi untuk memiliki anak, dan bagaimana pola asuh yang akan diterapkan.

Beberapa responden yang belum menikah pun sudah memiliki pandangan ke depan, apa saja yang perlu dilakukan untuk mempersiapkan diri sebelum menikah. Berikut opini mereka:

“Kita harus bisa mandiri dan sering melakukan self reward. Explore ke hal-hal yang diinginkan saat masih single. Coba berpikir dewasa, harus memiliki toleransi, komunikasi yang baik, dan bertanggung jawab,” ucap DA (23).

 

“Ikut kelas pranikah untuk mengukur kecocokan dan kesiapan pasangan sebelum menikah. Ikut kelas financial planning agar sama-sama paham bagaimana cara mengelola uang dengan baik agar tidak terjerat hutang. Ikut kelas parenting supaya ada bekal ilmu buat mendidik anak,” tambah PC (30).

 

"Punya pekerjaan yang minimal stabil dulu. Sudah tidak kekanak-kanakan, atau mental sudah siap. Sudah punya tabungan jangka panjang sepenuhnya" tegas ANJ (24).

7. Kebahagiaan belum tentu bisa didapatkan dengan pernikahan. Sudah yakinkah kamu untuk menikah di usia muda?

[INFOGRAFIS] Fenomena Menikah Muda, Apa Pendapatmu?infografis fenomena menikah muda (IDN Times/ Aditya Pratama)

Hasil survei menunjukkan rata-rata responden bersikap netral perihal menikah dapat meningkatkan taraf kebahagiaan hidup. Hasil skala rata-rata 2,8 responden perempuan tidak setuju bahwa bahagia bisa didapatkan dari pernikahan. Saat perempuan banyak yang kurang setuju, justru respons dari laki-laki lebih mengarah positif sebesar 3,2.


“Mencari kebahagiaan dengan menikah itu salah besar. Menikah bukan soal pencapaian hidup yang harus segera diraih dan bisa dibanggakan, lho. Semuanya pilihan masing-masing orang, ada yang memilih hidup sendiri dan butuh pasangan untuk menemani. Yang terpenting, kamu harus sadar dulu kalau bahagia itu ada di dalam diri kita. Jadi.. kamu harus bahagia dulu,” pungkas NP (22).


Sementara baik perempuan dan laki-laki, sama-sama menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap konsep pernikahan muda, yang mana meraih rata-rata 2,7 dan 2,8. Tentu, hal ini didominasi oleh kenyataan bahwa pernikahan di usia muda memiliki beragam risiko.


“Pernikahan di usia muda itu pilihan. Gak ada masalah selama segala konsekuensi sudah dipertimbangkan dan sudah mempersiapkan bekal pernikahan dengan baik. Kenapa? Risiko itu pasti terjadi pada aspek fisik atau mental. Jadi harus benar-benar dipahami, dikomunikasikan, dan dipersiapkan,” tegas SN (24) seraya menyimpulkan.


Dari pernikahan muda, kita bisa mempelajari bahwa kematangan diri dan proses “mematangkan diri” adalah dampak positif.

“Kalau dimaknai secara positif bisa jadi tantangan bagi individu untuk belajar, mengembangkan diri, dan mengasah kemampuan dalam menyelesaikan persoalan atau mengambil keputusan,” tutup Retno, Dosen Institut Ilmu Kesehatan Bhakti Wiyata Kediri.

Tim Penyusun :

Tyas Hanina, Adyaning Raras, Febriyanti Revitasari, dan Pinka Wima

Baca Juga: [INFOGRAFIS] Bagaimana COVID-19 Memengaruhi Persiapan Pernikahan?

Topik:

  • Pinka Wima

Berita Terkini Lainnya