Kathleen Azali: Menumbuhkan C2O Library Layaknya Membesarkan Anak

#AkuPerempuan Butuh usaha 10 tahun lebih untuk seperti ini

Di beberapa telinga orang, khususnya orang Surabaya, nama C2O Library adalah sesuatu yang awam. Perpustakaan independen tersebut, menjadi tempat mencari buku sekaligus berkumpul untuk saling bertukar pikiran, menambah ilmu hingga mencari jaringan baru.

Banyak diskusi asyik dan buku langka yang bisa dipinjam pada perpustakaan yang berlokasi di Jalan Dr. Cipto 22 tersebut. Adalah PERIN+1S, sebuah kolektif di bidang informasi, teknologi dan sosial, yang mengatur dan menjalankan C2O Library.

Salah satu tokoh di balik PERIN+1S tersebut, tidak lain dan tidak bukan adalah Kathleen Azali. Perempuan dengan tinggi berkisar 160 cm tersebut sering wira-wiri di beberapa sudut Surabaya.

Dirinya sering menjadi pembicara yang membahas praktik suatu budaya di masyarakat serta praktik teknologi dan media. Tidak kaget mengingat Kathleen sendiri dikenal sebagai seseorang yang berpikiran dalam dan punya sudut pandang berbeda dari masyarakat.

Mungkin, hal tersebut bisa tampak dari salah satu jurnalnya yang berjudul Pataya: Suatu Tinjauan Konstruksi Tempat Ngeber Komunitas Gay di Surabaya. Jurnal yang mengulik tentang perkumpulan LGBTIQ ini, bisa ditemukan lewat Google.

Terlepas dari semua itu, Kathleen lebih dikenal sebagai orang penting di C2O Library yang berhasil mengenalkan perpustakaan itu kepada publik. Namun, itupun tak mudah.

Ada perjalanan panjang yang harus dilalui Kathleen sampai bisa mengenalkan C2O Library menjadi seperti ini. Sedikit banyak, itu berhubungan dengan dirinya yang menjadi sosok perempuan.

1. C2O dibangun atas kumpulan keresahan akan susahnya mengakses buku di Indonesia

Kathleen Azali: Menumbuhkan C2O Library Layaknya Membesarkan AnakIDN Times / Abraham Herdyanto

Berbicara tentang C2O Library, maka sedikit banyak harus mengetahui sejarahnya terlebih dahulu. Perpustakaan independen Surabaya ini dibangun sejak 2008. 11 tahun yang lalu, perpustakaan ini tidak terletak di Dr. Cipto 20, tetapi di rumah yang masih bertetangga dengan lokasi sekarang.

Salah satu alasan perpindahan tersebut adalah jumlah buku yang semakin banyak. Setidaknya, ada lebih dari 7.000 buku yang sudah tertampung di perpustakaan kecil tersebut.

Kemunculan C2O sendiri datang dari keresahan Kathleen yang melihat perpustakaan di Indonesia kebanyakan susah diakses. Padahal sebagai seseorang yang berprofesi sebagai peneliti, mau tak mau Kathleen memerlukan buku-buku dalam perpustakaan itu sebagai bahan referensinya.

“Waktu C2O berdiri, di Surabaya, perpustakaan itu hanya ada di Rungkut dan perpustakaan daerah. Itu pun bukanya waktu jam kerja, sedangkan posisi saya kerja fulltime di kantor lain. Jadi, gak bisa mengakses. Di sisi lain, saya ada freelance sebagai peneliti. Jadi, dari saya sendiri juga merasakan kesusahannya,” terangnya.

Bahkan Kathleen sempat menyeletuk jika mengakses buku Indonesia di Singapura, jauh lebih baik daripada di Indonesia sendiri.

Lebih dari itu, Kathleen juga melihat kalau buku bukanlah sesuatu yang dikonsumsi terus. “Umumnya, orang beli buku dan membacanya satu kali. Setelah itu, tidak pernah menyentuhnya lagi,” sebut dia.

Alasan ini menjadi pondasi dasar terbentuknya C2O Library. Lewat bootstrapping atau menggunakan dana sendiri, Kathleen dan kawan-kawannya mulai membangun C2O Library dan berhasil mendirikannya pada pertengahan 2008.

Setelah itu, tinggal permainan mereka memasarkan C2O ke masyarakat luas. “Karena dulu, di 2008, media sosial belum populer, ya kita mainnya di Facebook doang. Paling Twitter kecil-kecilan. Tapi, lebih dari itu sebenarnya ada cara ‘nakal’ yang kami lakukan hahaha.”

2. Apa yang dilakukan Kathleen sempat mendapat penolakan oleh orang tuanya

Kathleen Azali: Menumbuhkan C2O Library Layaknya Membesarkan AnakIDN Times / Abraham Herdyanto

Tidak seperti bisnis pada umumnya, membangun perpustakaan tentu saja tidak tampak menguntungkan di kemudian hari. Itu bukan sesuatu yang bisa membuatmu menjadi kaya atau membeli rumah.

Dengan berbekal pemikiran macam itu, tidak mengagetkan jika orangtua Kathleen tidak menyetujui apa yang dilakukannya. Apalagi, Kathleen sendiri mengakui kalau kendala utama C2O sendiri adalah masalah pendapatan.

“Di awal-awal, banyak berantemnya malah. Gak kaget juga karena keluarga saya merupakan keluarga pedagang. Mereka juga tidak memiliki pendidikan tinggi-tinggi banget, jadi tidak paham untuk hal-hal macam ini. Cuman setelah beberapa tahun, mereka sudah gak khawatir lagi karena saya bisa hidup dari situ,” ujarnya.

Salah satu kekhawatiran terbesar yang datang dari orangtua Kathleen adalah kala C2O mendapatkan penggerebekan. Pada Jumat, 7 Februari 2014, C2O akan melakukan diskusi bedah buku berjudul Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia.

Acara tersebut dibubarkan oleh FPI dan dari pihak kepolisian pun, menyarankan meniadakan diskusi tersebut untuk alasan keamanan. “Ibu saya tahu berita itu dan tentu saja khawatir,” celetuk Kathleen.

Belum lagi, keputusan Kathleen sendiri yang memilih untuk tidak menikah. Ya, Kathleen memantapkan dirinya untuk terus menjadi lajang sejak kecil.

“Untung saja, kakak-kakak saya sudah punya anak. Jadi, beban memiliki keturunan itu sudah cukup berkurang. Saya gak perlu nanggung. Hahaha,” jelasnya akan status personal itu.

Beruntung pula, acara C2O tak melulu mengenai bahasan politik dan hal yang menurut pandangan masyarakat kontroversial, namun juga ada acara yang ringan dan menyenangkan. Salah satunya adalah Pasar Sehat.

Acara macam inilah yang berhasil melunakkan hati orangtua perempuan yang berdarah Tiong Hoa tersebut, akan pilihan hidup anaknya tersebut. “Mereka senang kalau pulang dibawain sayuran segar,” lanjutnya.

Baca Juga: Andien: Bagiku, Setiap Hari Adalah Hari Ibu Tanpa Terkecuali

dm-player

3. Stereotip gender dirasakan oleh Kathleen selama ini

Kathleen Azali: Menumbuhkan C2O Library Layaknya Membesarkan AnakIDN Times / Abraham Herdyanto

Di mana ada hal positif, maka di situ ada pula omongan orang. Sebagai pengelola C2O, Kathleen ternyata banyak mendapat anggapan remeh orang sekitar.

Beberapa orang yang ditemui Kathleen, sering tidak percaya jika perempuan berkacamata tersebut adalah sosok yang membuat situs C2O Library. Mereka mengira situs itu menggunakan tenaga luar atau outsourcing.

Stereotip seksual itu dirasa Kathleen menjalar ke mana-mana. Dia memberikan contoh lewat para perempuan yang sering keluar malam.

“Masyarakat masih sering melabeli teman-teman perempuan yang keluar malam dengan anak nakal atau sebagai pekerja seks komersial. Padahal, tidak semuanya seperti itu," ujar dia.

"Kalau pun itu pekerja seks, ya tidak masalah. Kan mereka bekerja. Ya sudah, jangan dianggap aneh. Padahal risikonya tinggi lho menjadi pekerja seks itu: barang dicuri, penyakit, perkosaan. Minta bantuan juga susah,” komentarnya.

Lebih lanjut, Kathleen melihat stereotip ini begitu merekat ke masyarakat hingga turut mengekang kebebasan para perempuan. Kathleen kembali memberikan sebuah contoh.

Dia melihat para pembawa acara berita dan mengamati para perempuan di layar kamera tersebut, rata-rata berumur di bawah 40 tahun. Tidak ada penyiar berita yang di atas umur tersebut, mengindikasikan bagaimana kualitas perempuan masih dilihat secara penampilan.

“Di Indonesia itu, ketika perempuan itu sudah semakin menua, nilaimu itu berkurang. Jadi, ya seperti itu. Komentar-komentarnya ke penampilan. Kalau di luar, pembawa berita di atas umur 40 tahun itu ya wajar-wajar saja.”

Beruntung, seksisme macam ini tidak berlaku di C2O. “Mungkin karena di C2O sendiri, saya sebagai perempuan berada di posisi tinggi. Sehingga teman-teman perempuan merasa lebih aman. Sementara kalau tempat lain yang penguasanya laki-laki, ya beda lagi. Itu keuntungan saya di C2O Library.”

4. Ada banyak hal yang menyebabkan seksisme itu terjadi

Kathleen Azali: Menumbuhkan C2O Library Layaknya Membesarkan AnakIDN Times / Abraham Herdyanto

Mengulik cerita dari seorang Kathleen Azali itu menyenangkan, tetapi mendapat ilmu darinya sebenarnya jauh lebih mengasyikkan. Faktanya, Kathleen berbagi lebih jauh mengenai apa yang menjadikan budaya seksisme cukup melekat di Indonesia.

Salah satu aspek paling berpengaruh adalah penanaman paham yang sudah ada sejak jaman dahulu: kasur, sumur, dapur. Pemahaman ini melekatkan perempuan Indonesia bahwa letak mereka seharusnya berada di dalam rumah dan berkutat di ketiga lokasi itu.

Lebih dari itu, perempuan yang melakukan di luar hal tersebut dianggap sebagai pembangkang dan melawan tatanan masyarakat.

“Sebenarnya, banyak buku-buku sejarah di Asia Tenggara yang menuliskan bagaimana perempuan di area ini berada di posisi pemimpin. Bukan cuma sekedar menjadi ibu rumah tangga itu saja. Sayangnya, memang di Indonesia sendiri pemahaman kasur, sumur, dapur masih diterapkan dengan kuat. Belum lagi, ada penggambaran di media,” ucap Kathleen.

Semua itu ditambah dengan adanya pemahaman manut (menurut) yang difamiliarkan semenjak kita kecil. “Ini diberikan kepada semua gender, tetapi menurutku ke perempuan tekanannya lebih tinggi lagi. Apalagi di beberapa daerah: Padang sama Aceh, ditambahkan faktor agama.”

Namun demikian, mau tidak mau, Kathleen juga mengakui dirinya bisa menentang budaya seperti ini dikarenakan kondisi keluarganya yang berada. Ia juga bukan seorang anak sulung atau tunggal.

“Bayangkan kalau anak cewek ini anak satu-satunya, keluarganya beragama ketat. Atau anak cowok. Anak pertama. Itu kan juga dituntut. Tapi, kalau saya pribadi, saya merasa posisi saya cukup beruntung karena tidak dalam kondisi demikian.”

5. Terlepas dari semua itu bagi Kathleen, C2O sudah seperti anaknya sendiri

Kathleen Azali: Menumbuhkan C2O Library Layaknya Membesarkan AnakIDN Times / Abraham Herdyanto

Kerja keras Kathleen selama ini, sudah mulai terbayarkan. Beberapa organisasi lain, seperti Aliansi Jurnalis Indonesia, bergabung dan bermarkas di C2O Library.

Penyewaan ruangan terhadap organisasi -organisasi macam ini, membuat adanya pendapatan yang lebih jelas terhadap C2O. Belum lagi, C2O sudah mulai memiliki banyak acara lantaran banyak orang menyewa tempat tersebut.

Entah itu untuk pameran dan lain sebagainya. Tidak salah lewat proses panjang ini, Kathleen menganggap C2O sudah seperti anak sendiri.

“In a way, tidak memiliki anak memang pilihan. Tapi, itu memang tidak memungkinkan dengan waktu yang saya miliki: kerja, mengajar dan lain-lain. Itu sudah menyita banyak waktu. Kira-kira, ibaratnya waktu yang saya keluarkan ke C2O, sudah seperti waktu seorang ibu yang bekerja dan membesarkan anak,” tutup dia.

Sebagai petinggi dari C2O Library, Kathleen memberikan beberapa rekomendasi buku bacaan. Buku tersebut bisa menambah ilmu untuk mengerti situasi perempuan di Indonesia.

Yang pertama adalah Perempuan di Titik Nol karya Nawal El Saadawi. Walaupun bukan penulis Indonesia, namun penggambaran sosok perempuan di buku ini bisa cukup menyentil. 

Buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer juga bisa dijadikan referensi karena penggambaran karakter perempuannya sangat kuat. Sedangkan non-fiksinya bisa mencoba membaca buku State Ibuism karya Julia Suryakusuma

Baca Juga: Nitchii: Perempuan Hebat Itu Tidak Menjatuhkan Perempuan Lain

Topik:

  • Febriyanti Revitasari
  • Pinka Wima

Berita Terkini Lainnya