Nia Umar, Perempuan yang Tak Lelah Dorong Para Ibu Perjuangkan ASI

Ibu yang bahagia juga memberikan kebahagiaan untuk anaknya

Kesulitan menyusui tak lantas membuat Rahmah Housniati menyerah. Sebagai ibu, ia merasa bertanggung jawab memberikan yang terbaik untuk anaknya, sekecil memberikan ASI (Air Susu Ibu) sejak sang buah hati hadir ke dunia. Perempuan yang dikenal dengan nama kecilnya, Nia Umar, justru kini mendedikasikan sebagian dari hidupnya dengan mendorong banyak orang memperjuangkan ASI eksklusif bagi bayi mereka.

Dalam wawancara daring bersama IDN Times pada Kamis (24/11/2022), Nia membagikan kisah perjuangannya menyusui dan perjalanannya membangun AIMI (Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia). Bukan sekadar berbagi cerita, Nia juga menyampaikan hal-hal yang penting diketahui oleh para ibu, lho. Menurut Nia, gak ada yang lebih baik daripada ASI, bahkan formula pun tetap memiliki risiko pada bayi.

1. Pengalaman magang membukakan mata Nia Umar tentang pentingnya menyusui

Nia Umar, Perempuan yang Tak Lelah Dorong Para Ibu Perjuangkan ASINia Umar sebagai Speaker di World Breastfeeding Week Conf 2019 Rio (dok. Nia Umar)

Perjalanannya mengenal dunia laktasi bermula dari bangku perkuliahan di tahun 2001 akhir. Sebagai mahasiswa semester akhir di Universitas Padjadjaran, Nia mendapatkan kesempatan untuk magang di Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Kebetulan, ia bertugas untuk menghadiri rapat di Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Kala itu, tampak dr. Utami Roesli, yang juga merupakan aktivis serta konselor laktasi, juga hadir untuk membahas peringatan Pekan Menyusui Dunia.

“Dulu tuh gak kebayang nyusuin karena aku anak paling kecil, gak pernah lihat ibuku nyusuin. Gak pernah lihat orang lain nyusuin, tante-tanteku semua gak ada yang nyusuin. Bahkan ada keluarga yang pendapatannya pas-pas'an tapi sampe belain beli susu yang mahal karena dia yakin itu baik buat anaknya, jadi gak nyusuin. Jadi aku mikir ‘oh nyusuin itu ya ndeso’, kayak orang-orang di desa gitu, kalau kita yang keren itu gak nyusuin,” ceritanya.

Namun, semua persepsi Nia terpatahkan seketika oleh paparan dr. Utami Roesli yang berapi-api menjelaskan tentang manfaat menyusui hingga risiko tidak menyusui. Sejak momen itu, Nia mulai tertarik mengenal lebih dalam dunia menyusui. Bahkan usai menikah dan melahirkan putri pertamanya di tahun 2005, ia bertekad untuk terus memberikan ASI eksklusif kepada anaknya.

“Pulang dari situ ngobrol sama pacarku, belum jadi suami, ‘Katanya tuh penting lho menyusui. Jadi nanti kalau punya anak nanti kita harus nyusuin.’ Eh untung kawin, itu terjadi 2001 akhir, aku 2003 nikah, 2005 punya anak pertama. Pas hamil mikir nyusuin itu gampang. Ah, tinggal taruh aja di payudara pasti keluar. Jadi udah gak mikir apa-apa pokoknya minta nyusuin," lanjutnya.

Sewaktu hamil, perempuan yang pernah menjadi General Manager di salah satu perusahaan penerbit ini, berpikir bahwa menyusui itu mudah. Ternyata menyusui gak semudah apa yang dibayangkannya. Hari-hari pertamanya melahirkan justru dipenuhi tangisan karena ia merasa bayinya gak mau melekat. 

2. Perjalanan menyusui tiap anak berbeda-beda, tapi membawa cerita dan kebahagiaan tersendiri sebagai ibu

Nia Umar, Perempuan yang Tak Lelah Dorong Para Ibu Perjuangkan ASINia Umar dan keluarga (dok. Nia Umar)

Sebagai ibu dari empat orang anak, Nia menyadari bahwa temperamen tiap anak juga berbeda. Perjalanan menyusui yang berbeda-beda membuat Nia merasa proses menyusui anak kedua lebih santai karena temperamennya lebih tenang. Saat itu pun, ia sudah menjadi konselor laktasi sehingga jauh lebih siap daripada proses menyusui anak pertama.

“Nah, anak keduaku temperamennya pas masih bayi itu tenang, gak seheboh yang nomor satu. Jadi aku lebih kalem pas anak kedua. Akunya lebih tenang, udah tahu ilmunya, jadi udah lebih nyaman. Lalu, anak ketiga dan keempat lebih santai lagi karena udah biasa,” jelasnya.

Dari jatuh bangunnya berjuang memberikan ASI, Nia merasa kesadarannya pelan-pelan berubah. Lantas, apa yang berbeda? 5 bulan setelah melahirkan anak pertamanya, Nia kembali bekerja. Berbeda dengan anak kedua, ia sudah tidak lagi bekerja tapi terkadang masih pergi keluar dan memberikan ASI perah kepada anaknya.

“Anak ketiga keempat udah gak kejadian. Jadi aku, tuh, ada transisinya belajar. Anak ketiga keempat selalu kubawa anaknya. Jadi gak pernah minum ASI perah. Anak kedua masih punya stok ASI perah. Anak ketiga keempat gak ada karena aku nyusuin terus. Aku menyadarinya pelan-pelan bahwa sebenarnya yang ideal itu menyusuinya. Proses melekatnya itu,” tuturnya.

Nia melanjutkan, “Proses perjalanannya memang diajarkan oleh anak-anakku. Buatku, menjadi ibu itu juga banyak belajar dari anak-anakku. Mereka yang banyak mengajarkan dari anak satu, dua, tiga, empat. Banyak banget pembelajaran yang aku dapat. Buat aku menjadi ibu itu suatu pengalaman yang benar-benar membukakan banyak mata dan hal. Bisa dibilang aku harus berterimakasih pada anak-anakku. Aku bilang, ‘kalo dulu gua ga susah nyusuin lu ya mungkin sekarang gua ga kaya gini.’”

3. Cikal bakal berdirinya Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI)

Nia Umar, Perempuan yang Tak Lelah Dorong Para Ibu Perjuangkan ASIPengurus AIMI (dok. Nia Umar)

Berbekal pengalaman dan keresahan saat menyusui, Nia bersama dengan temannya membuat mailing list ASI for baby. Mailing list itu juga yang mempertemukannya dengan 21 pendiri AIMI lainnya.

“Teman-temanku yang lagi hamil nanya-nanya sama aku, ngobrol. Di situlah kita bikin sesuatu di internet. Kalau di luar negeri kan ada gitu ya. Kita bikinlah mailing list itu, di situ awal mulanya. Nah, membesar mailing list-nya makin banyak member, kita bilang masa kita kerja di internet doang. Masa gak ada sesuatu yang dilakukan di dunia nyata, nih.” lanjutnya.

Akhirnya, ia bersama dengan temannya yang sudah menjadi konselor laktasi, memutuskan untuk mendirikan AIMI pada tahun 2007. Tak tanggung-tanggung, gagasan nama ‘Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia’ pun sebenarnya datang dari dr. Utami Roesli yang antusias dengan ide mereka. Melalui AIMI, penulis buku “Mutlitasking Breastfeeding Mama; Tips & Triks Menyusui dan Kembali Beraktivitas” ini bermimpi bisa memperpanjang cuti melahirkan dari tiga menjadi enam bulan.

Forum yang bermula dari mailing list saja kian menyebar hingga kini ada di 19 provinsi dan 10 kabupaten/kota. AIMI dikenal sebagai organisasi nirlaba berbasis ibu menyusui ini non profit dan murni dikelola oleh relawan yang datang dari berbagai bidang ilmu.

“Mereka ini mendedikasikan waktu, hati, pikiran, di balik semua kegiatan harian. Ada yang ibu bekerja, ada yang PNS, ada yang broker, bidan, dosen, ada yang kayak saya ibu rumah tangga. Anaknya ada yang special needs tapi masih sempet ngurusin AIMI. Jadi kalau saya bisa bilang, keberhasilan AIMI itu memang keberhasilan besar dari banyak perempuan hebat yang memang punya semangat sama ingin sama2 membantu perempuan lain untuk bisa berdaya,” ujarnya penuh semangat.

Nia berharap bahwa tersebarnya AIMI di berbagai daerah bisa menjadi mitra pemerintah untuk meningkatkan awareness terhadap menyusui. Serta menjadi mitra strategis buat pemerintah daerah setempat, untuk bekerja sama melakukan kegiatan2 advokasi, sosialisasi, perlindungan, promosi, dan dukungan menyusui. Ia juga menilai bahwa sebenarnya pemerintah punya peranan besar dalam memberikan perlindungan menyusui, pemberian gizi bayi dan anak, serta munculnya kebijakan-kebijakan terkait menyusui.

Di tahun 2020, AIMI menjadi salah satu finalis Ibu Ibukota Awards 2020 karena dinilai mampu memberikan dampak besar bagi lingkungan sekitar. Gak hanya itu, banyak pencapaian lain seperti penurunan sales susu formula yang menurun di tahun 2015 dalam laporan Euro Monitor, karena gencarnya kampanye menyusui dari pemerintah dan organisasi seperti AIMI. 

4. Bukan sekadar memberikan edukasi, AIMI juga memberikan konseling laktasi hingga membantu para korban bencana alam

Nia Umar, Perempuan yang Tak Lelah Dorong Para Ibu Perjuangkan ASIPekan Menyusui Dunia 2022 CFD (dok. Nia Umar)

Selain pentingnya edukasi laktasi, Nia dan para relawan AIMI juga memperhatikan kebutuhan ibu dan anak ketika mereka tertimpa musibah. Baru-baru ini, Cianjur mengalami gempa bertubi-tubi hingga ada seorang ibu yang terpaksa melahirkan di tenda. Fenomena seperti ini turut menggugah kepedulian AIMI untuk berbagi.

“Teman-teman AIMI Jabar sedang mempersiapkan untuk ikut membantu, turut membuka donasi juga. Karena masuk wilayah Jabar, jadi kami dari pusat akan support. Harapannya bantuannya berupa apa? Kita melakukan konseling, kita bantu juga di dapur umum mempersiapkan makanan untuk anak-anak dan bayi yang sudah mulai makan, dan ibu-ibu menyusui. Kita dampingi ibu-ibu yang lagi nyusuin supaya makin mantep, yang baru melahirkan juga kita dampingi. Kita waktu gempa di Palu juga dan di Lombok bersama dengan UNICEF dan Sentra Laktasi Indonesia juga turun,” kata perempuan kelahiran Houston, Amerika Serikat.

Ketertarikannya terhadap dunia laktasi ternyata gak main-main. Untuk mendalami itu, Nia sempat mengenyam pendidikan S2 Gizi Kesehatan Masyarakat serta mengambil sertifikasi konselor laktasi International Board Certified Lactation Consultant (IBCLC). Selain itu, ia juga merupakan konsultan babywearing dan saat ini aktif sebagai Koordinator International Baby Food Action Network (IBFAN) Regional Asia Tenggara.

Untuk menyampaikan edukasi pun gak bisa sembarangan, Nia mengatakan, “Semua sumber-sumber yang kita pakai dalam edukasi pasti ada evidence based, kita pakai sumber ilmiah. Yang nyusun kebanyakan latar belakangnya banyak, ada nakes dan bukan, jadi gak sembarangan. Kebetulan saya sendiri seorang International Board Certified Lactation Consultant (IBCLC), memang kita di AIMI berusaha melihat kompetensi kita.”

Berkecimpung sebagai lactivist membuat Nia memandang bahwa apa yang dikerjakannya ini seperti lari maraton yang gak ada garis finish-nya. Ia harus menjaga napas dan ritme untuk bisa melewati hari-hari yang panjang. Sebagai Ketua AIMI, Nia paham betul bahwa semua orang harus duduk sama tinggi karena semua pihak juga bersama-sama berjuang.

dm-player

Nia melanjutkan, “Jadi kita harus saling memahami siapa yang bisa memberikan apa dengan kemampuan apa. Itu bisa kita terima dengan legawa dan ada komunikasi terbuka. Yang paling memacu adalah kita mengalami hal yang sama. Kita mengalami tantangan menyusui dan kesulitan-kesulitan itu. Kita tahu betapa menyusui itu menantang. Di situ kita merasa we need to do something supaya menyusui gak sesusah itu. Mungkin emosi seperti itu yang membakar ibu-ibu relawan untuk menolong orang lain. Saya ngerasain kalau kita berhasil mendampingi satu orang ibu aja itu rasanya seneng. Kayak gak bisa dibayar dengan uang, itu happy-nya beda.”

Saat ini, AIMI tetap membuka layanan telecounseling 1:1 selama pandemik. Kalau pun membutuhkan tenaga kesehatan, AIMI akan merujuk pada klinik laktasi atau konsultasi menyusui yang ada di fasilitas kesehatan. 

Guna mengembangkan potensi dan semangat para ibu, AIMI juga mengadakan Sesi Online AIMI (AIMI) yang membahas persiapan melahirkan, hari-hari pertama, persiapan kembali bekerja, serta tantangan menyusui dan menyapih. Ada pula kelas yang memang ditujukan khusus untuk memperkenalkan MPASI dan tantangannya. Tujuannya agar para ibu maupun calon ibu bisa menyiapkan mental atau pun mengajak orang-orang di sekitarnya supaya memiliki pemahaman yang sama.

Baca Juga: Kisah Inspiratif Fery Farhati Selama Jadi Istri Gubernur DKI Jakarta

5. Meskipun mitos menyusui masih ada, tapi awareness dan pemahaman masyarakat terhadap ASI semakin meningkat

Nia Umar, Perempuan yang Tak Lelah Dorong Para Ibu Perjuangkan ASINia Umar, Sosok Penggerak dalam Ibu Ibukota Awards 2022 (dok. Nia Umar)

Terjun ke dunia laktasi belasan tahun silam menyadarkan Nia Umar bahwa awareness masyarakat tentang menyusui cukup meningkat. Sungguh berbeda dengan apa yang dirasakan Nia saat awal ia melahirkan.

Katanya, “Kalau dulu beda banget waktu aku melahirkan anak pertama sama anak yang terakhir di 2018 itu beda banget. Rumah sakit sekarang di kota kota besar banyak yang memberikan pelayanan ramah menyusui, yang tadi aku bilang menjalankan 10 langkah menyusui. Dulu tahun 2005 itu susah banget. Di Jakarta aja aku cuma nemu satu rumah sakit yang menjalankan (menjalankan 10 langkah menyusui_red), sekarang udah mulai banyak.”

Perempuan 44 tahun ini juga menuturkan bahwa, “Tenaga kesehatan juga mulai banyak yang aware dan mulai muncul ke permukaan dan mengadvokasi soal menyusui. Dulu cuma dr. Utami Roesli doang yang kelihatan, sekarang udah lebih banyak dokter muda yang bersuara dan lebih aktif.”

Meski bertugas untuk menyebarluaskan edukasi laktasi, Nia mengakui bahwa ia tetap harus menghargai dan gak bisa memaksa orang lain. Ia hanya bisa menyampaikan informasi yang relevan, sesuai kebutuhan, dan tidak menghakimi. 

Gak bisa dimungkiri, meningkatnya awareness terhadap tren menyusui gak bisa menentukan indikator keberhasilan menyusui. Bahkan, ASI perahan gak bisa menunjukkan bahwa bayi sudah menerima ASI yang cukup. Kecukupan bayi menyusu itu dilihat dari kenaikan berat badan, berapa kali pipis, berapa kali BAB.

“Ada orang yang kalau hasil perahan gak keluar tapi kalau bayinya disusuin itu keluar. Bayinya naik beratnya, itu banyak. Tetapi karena fenomenanya di mana-mana mompa, nunjukin ASI perah berkulkas, jadi bayangannya ASI gua harus berkulkas-kulkas. Anakku ketiga keempat kan gak ada ASI perah sama sekali. Banyak yang kaget, masa sih ketua AIMi gak punya ASI perah? Lha ya ngapain, anakku bareng aku terus. Itu tuh aneh buat sebagian orang. Memang pemahaman-pemahaman seperti ini yang masih banyak orang tidak pahami secara utuh. Penting sekali juga buat kita untuk menyadari bahwa perjalanan menyusui setiap ibu itu beda-beda,” ucapnya.

Dukungan emosional sangat berpengaruh pada ibu hamil dan menyusui. Ada yang mengatakan bahwa 50 persen keberhasilan ibu menyusui juga didukung oleh suami. Itulah mengapa Nia kemudian membuat kelas online sejak pandemik, karena mengingat pentingnya ibu serta orang-orang di sekitarnya untuk belajar hal yang sama.

6. Hari-hari pertama melahirkan menjadi indikator penting terkait menyusui

Nia Umar, Perempuan yang Tak Lelah Dorong Para Ibu Perjuangkan ASINia Umar (dok. Nia Umar)

Persiapan pra melahirkan seperti yoga maupun senam hamil memang dibutuhkan untuk membantu proses persalinan. Namun, Nia juga mengingatkan pentingnya persiapan menyusui. Salah satunya dengan mencari fasilitas kesehatan yang mendukung ibu menyusui.

“Harus IMD minimal 1.5 jam, kontak kulit skin to skin, lalu harus rawat gabung, tidak memberikan dot atau empeng, tidak memberikan formula. Harus didampingi dengan konselor supaya tahu pelekatan yang baik itu kayak gimana. Sebenarnya fasilitas yang sudah tercantum dalam PP 33 tahun 2012, pasalnya itu tentang 10 Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui. Itu harusnya menjadi standar minimum yang dijalankan oleh semua fasilitas kesehatan,” tegas Nia.

Sayangnya, ia kerap menemukan fasilitas kesehatan yang memisahkan ibu dan bayi, tidak melakukan rawat gabung, tidak ada Inisiasi Menyusui Dini (IMD), bayi tidak bisa menyusu semaunya, tidak ada konselor laktasi. Padahal fasilitas-fasilitas tersebut sudah ada dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 2012 tentang pemberian ASI Eksklusif, yang akan menunjang hari-hari pertama melahirkan dan menyusui.

“Bisa IMD, rawat gabung, bayi menyusu semau dia, ada konselor menyusui yang tiap hari dateng. Itu sangat baik untuk proses keberhasilan menyusui karena hari-hari pertama itu sangat penting untuk produksi ASI. Pertama, ketika perempuan melahirkan, itu payudara lagi optimal-optimalnya memproduksi ASI. Kalau 14 hari dirangsang, disusui bayinya semau bayi, dan bayi melekatnya itu bagus, maka produksi ASI juga akan mengikuti kebutuhan anak,” papar Nia.

Lantas, apa yang terjadi apabila seorang ibu tidak mendapatkan dukungan tersebut? Akhirnya, banyak ibu yang kurang mendapatkan pengetahuan menyusui yang baik dan benar. Ibu pun mudah menyerah, ASI tidak bisa keluar, dan memilih memberikan formula. Itulah yang menjadi tantangan besar yang dihadapi Nia sebagai konselor laktasi.

Sewaktu hamil, para ibu seharusnya mendapatkan informasi tentang risiko formula, risiko tidak menyusui buat diri sendiri dan anaknya, dan manfaat menyusui. Sayangnya, kondisi di lapangan menunjukkan data bahwa para ibu jarang mendengar informasi-informasi tersebut.

Nia yang sudah mengikuti beragam pelatihan menjelaskan hubungan menyusui dengan teori perubahan perilaku. Ketika seseorang mau, maka dia akan mencari tahu. Ketika sudah tahu dan mau, maka dia akan menjadi mampu.

Ia kemudian memaparkan, “Jadi mau, tahu, dan mampu itu penting. Kalau dia mau doang tapi gak dikasih tahu caranya, gak dikasih tahu gimana, ya dia gak akan mampu. Tapi dia juga gak akan bisa tahu atau mencari tahu lebih jauh kalau dia gak dikasih tahu dulu penjelasannya. Mau, tahu, mampu adalah satu rangkaian yang saya rasa juga harus diperhatikan. Saya yakin tidak ada perempuan, tidak ada ibu, yang tidak ingin yang terbaik untuk anak dan dirinya sendiri. Kalau mereka dikasih tahu menyusui itu menurunkan risiko kanker payudara, kanker rahim, kanker ovarium, osteoporosis, darah tinggi, obesitas, diabetes. Kira-kira ibu masih tetap gak mau nyusuin?”

Bukan hanya diri sendiri yang perlu belajar. Semua ibu hamil harus mendapatkan informasi ini supaya mereka bisa mempersiapkan diri dan mengajak orang-orang di sekitarnya, suaminya, pasangan, keluarga, semua, untuk juga berkomitmen.

7. Nia berpesan bahwa ibu bukanlah profesi yang mudah, tetapi suatu saat kita bisa berbangga menjadi seorang ibu

Nia Umar, Perempuan yang Tak Lelah Dorong Para Ibu Perjuangkan ASINia Umar, Ketua Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (dok. Nia Umar)

Sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bermanfaat buat orang lain. Itulah prinsip yang diyakini Nia dan mendorongnya untuk terus berkarya dan berdampak buat lingkungan sekitar.

“Bermanfaat gak harus ke orang banyak. Bermanfaat buat satu orang berarti kita udah punya manfaat gitu. Jadi mungkin kayaknya kita menyadari value-value bahwa kita itu hidup bersama dan saling membantu itu memberikan kebahagiaan tak ternilai dan lebih dari materi,” katanya.

Jika berbicara tentang perempuan, Nia memandang bahwa perempuan yang hebat adalah perempuan yang bisa dan berani mengambil keputusan untuk dirinya, keluarga, dan orang-orang sekitar. Perempuan yang hebat juga bisa menghargai perbedaan, memuji perempuan lain dengan tulus, dan bisa melihat keberhasilan orang lain dengan baik.

Apalagi seorang ibu yang pastinya menghadapi banyak tantangan dalam lingkup keluarga, pekerjaan, maupun pertemanan. Di mata Nia Umar, ibu bukanlah sebuah profesi yang mudah, tetapi akan ada suatu titik di mana kita bisa berbangga menjadi ibu karena sudah melewati beragam kesulitan tersebut.

“Tetaplah selalu melihat sisi positif walaupun mungkin di saat yang sangat sulit sekalipun tetap cari sisi positifnya. Ingat cari kebahagiaan untuk diri sendiri juga. Saya yakin kalau ibu yang bahagia juga akan memberikan kebahagiaan juga buat anak-anaknya. Jadi dalam kondisi apa pun, kebahagiaan kecil rayakan untuk diri sendiri sehingga kita bisa menyebarkan kebahagiaannya untuk orang-orang di sekitar kita juga,” imbuhnya seraya menutup obrolan hangat bersama IDN Times.

Perjalanan menjadi ibu merupakan lifelong earning yang tak berujung. Dari kisah Nia Umar ini, semoga bisa memberikan banyak insight dan motivasi untuk tetap semangat memberikan yang terbaik buat lingkungan sekitar, ya!

Baca Juga: Sempat Lumpuh, Stephanie Saing Ceritakan Kegigihannya dalam Berkarier

Topik:

  • Pinka Wima

Berita Terkini Lainnya