Tita Djumaryo: Seni Itu Mengubah Mindset dan Bukan Pemanis Saja!

Founder Ganara Art ini bangun gerakan Mari Berbagi Seni

Berbagi peran sebagai istri dan ibu yang bekerja, bukanlah hal yang mudah seperti membalikkan telapak tangan. Namun, Tita Djumaryo berhasil membuktikan bahwa perempuan juga bisa menjadi sumber inspirasi untuk perempuan lainnya.

Sebagai pendiri Ganara Art Studio and Space, Tita mendedikasikan waktunya dengan menyediakan ruang eksplorasi agar setiap orang berkesempatan untuk mengasah kemampuan mereka lewat seni. Melalui seni pula, ada banyak pelajaran hidup dan inspirasi yang justru timbul dari setiap keresahan maupun tantangan yang ia lalui.

IDN Times berkesempatan melakukan wawancara eksklusif bersama Tita Djumaryo pada Jumat (15/7/2022). Penasaran gak dengan perjalanan karier, keresahan, hingga pandangan Tita Djumaryo terhadap seni dan perempuan? Baca artikelnya sampai habis dan semoga bisa menginspirasimu juga.

1. Orangtua menjadi tonggak awal Tita Djumaryo mengenal dan mencintai dunia seni

Tita Djumaryo: Seni Itu Mengubah Mindset dan Bukan Pemanis Saja!Tita Djumaryo, founder Ganara Art (instagram.com/titadjumaryo)

Tita merupakan perempuan yang berkesempatan tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang mencintai seni. Semua berawal dari almarhum ayahnya yang selalu menanamkan hal-hal berbau seni sejak ia masih kecil. Meski berprofesi sebagai wartawan dan pendiri majalah interior, Tita mengaku bahwa ayahnya sangat menyukai dunia fotografi, melukis, dan lain sebagainya.

Di saat anak seumurannya asyik bermain dengan teman sebaya, Tita justru ikut sang ayah ke tempat kerja di usia empat tahun. Saat itu, Tita hanyalah anak kecil yang kagum melihat seseorang yang hamil.

Kekagumannya ini membuatnya banyak menggambar ibu-ibu hamil di berbagai tempat di rumah. Nyatanya, hal ini membukakan mata sang ayah bahwa Tita memiliki bakat menggambar.

“Bapakku lihatin satu-satu dan semua dikomentari satu-satu. Ada yang pakai tas ada bunganya, ada yang pakai sepatu, ada yang pakai sandal. Kan aku detail gambarnya, maksudnya untuk ukuran anak umur empat tahun lah. Terus bapakku bilang gini, ‘Kamu itu gambarnya bagus banget deh Tita, gedenya harus jadi seniman ya.’ Jadi aku umur empat tahun, sudah tahu aku mau jadi seniman,” ceritanya.

Sejak saat itu, ia mulai mengenal dan mempelajari banyak teknik menggambar. Bahkan, ayahnya sudah mengajari Tita bagaimana cara membuat portofolio sejak ia berada di bangku Sekolah Dasar. 

“Dari kecil, dari SD, aku sudah diajari gimana cara bikin portfolio, sudah diajak ke pameran lukisan, dan kan bapakku juga yang dulu bantu pameran-pameran lukisan seniman besar ya kayak Jeihan, Nyoman Nuarta, gitu-gitu. Jadi, memang dari bapak sendiri sudah membiasakan aku melihat langsung profesi seniman itu seperti apa,” jelasnya.

Didikan dan keinginan sang ayah agar Tita terjun ke dunia seni, berbuah baik. Ia berhasil masuk ke fakultas dan kampus impiannya. Namun, tak lama setelah itu, Tita harus menerima kenyataan bahwa ayahnya berpulang ke rumah Tuhan.

Justru, kesedihannya ini dimanfaatkan Tita untuk menjadikan sang ayah sebagai sumber inspirasi. Semua karya Tita semasa kuliah tentang ayah. Tugas terakhirnya pun dibuat begitu spesial dengan menyelipkan puisi untuk ayah dalam Bahasa Jawa karena ayahnya sering mengucapkan "sugeng sare" kepada Tita. 

“It is magical, the things that you hear from your parents. Pada saat Bapak ngomong gitu, aku tuh merasa bukan kayak gak punya pilihan lain. tapi ngerasa kayak ‘Oh, iya. Harusnya memang ini jalan yang harus aku ambil dan memang karena didukung terus.' Jadinya, hasilnya pun juga, akhirnya pun, jadi ngerasa bahwa ‘Oh iya, ini adalah profesi dan ini tuh aku kejar cita-citaku.'" tuturnya.

2. Ganara Art menjadi awal mimpi besar Tita Djumaryo untuk mengenalkan seni ke seluruh lapisan masyarakat

Tita Djumaryo: Seni Itu Mengubah Mindset dan Bukan Pemanis Saja!Tita Djumaryo, founder Ganara Art (instagram.com/titadjumaryo)

Sebagai seorang seniman, Tita Djumaryo melihat bahwa seni memiliki dampak yang besar bagi kehidupan manusia. Sayangnya, belum banyak orang yang menyadari ini. Itu sebabnya, Tita dan suami, Ranald Indra, memutuskan untuk memulai Ganara Art, sekolah seni yang mewadahi anak kecil hingga orang dewasa dengan beragam kegiatan seru.

Tita dan suami dipertemukan saat berkuliah. Jika Tita mendalami seni rupa, suami memilih tekstil dan Magister Manajemen. Namun, keduanya merasa klop hingga akhirnya menikah dan dikaruniani tiga anak saat ini.

Nama Ganara pun sesungguhnya terambil dari singkatan ketiga nama anaknya, yaitu Gadra, Nalagra, dan Ralanggana. Selain itu, Ganara juga memiliki makna lain dalam Bahasa Spanyol yang berarti saya menang.

Menengok sekilas perjalanan kariernya, Tita sempat merasakan terputus dari aktivitasnya sebagai seniman karena harus mengurus buah hati. Namun, ada suatu momen yang kemudian membuatnya menyadari dan merasa terpanggil untuk berkarya di bidang pendidikan dan seni.

“Pas anakku masuk pre-school, satu setengah tahun di sekolah nasional plus, aku diwawancara sebagai orangtuanya. Pas ditanya profesi, aku bilang bahwa aku seniman. Kepala sekolah itu ya bilang, ‘Oh, tertarik gak kalau jadi guru lukis di sini?’. Malah jadi ditawari kerjaan gitu kan. Terus dari situ malah dapat kerjaan, aku juga mulai ngajar. Pas mulai ngajar itu, masih sedikit awalnya, cuma dua kali seminggu, lama-lama jadi makin banyak, makin banyak. Selama lima tahun aku ngajar di situ, akhirnya itu yang dimulai dari cuma lima belas murid, itu jadi seratus lima puluh murid. Sepuluh kali lipat lah ya dan itu tuh betul-betul kalau yang aku lihat, jadi ‘Oh, iya. Ini calling aku yang lain.’. Yang tadinya hanya berkesenian aja ya, bikin pameran segala macam, tapi ternyata ada calling yang lain di pendidikan seni gitu,” ujarnya.

Itulah mengapa Tita akhirnya membuat Ganara dengan mimpi besarnya untuk memberikan pendidikan seni yang accessible kepada seluruh rakyat Indonesia. Ia merasa memiliki kewajiban untuk mendorong setiap anak bebas berkreasi.

Pandemik jadi faktor kuat yang menyadarkannya bahwa ternyata orang-orang justru menemukan ketenangan dalam berkarya. Tita ingin mengajarkan pada banyak orang bahwa kebahagiaan bisa didapatkan melalui seni. Awalnya, Ganara ditargetkan untuk anak-anak. Tetapi, Tita melihat kalau orang dewasa pun ingin dan membutuhkan kelas seni.

Untuk itu, ia membaginya ke dalam beberapa kelas dengan usia dan materi yang berbeda. Ganara Art Studio khusus untuk anak-anak, sementara remaja dan dewasa tergolong dalam Ganara Art Space. Ada pula Ganara Pottery yang bisa diikuti oleh siapa saja dan berhubungan dengan kerajinan dari tanah liat. 

3. Pandemik menuntutnya beradaptasi dengan keadaan, blessing in disguise

Tita Djumaryo: Seni Itu Mengubah Mindset dan Bukan Pemanis Saja!Ganara Art Space (instagram.com/ganaraartspace)

Bicara soal kesulitan, tentu berdirinya Ganara Art ini gak lepas dari tantangan yang harus dihadapi Tita. Ia menggambarkan kondisinya seperti seseorang yang berlari dan membutuhkan stamina yang kuat, tetapi gak pernah istirahat.

Untuk bisa bertahan, maka seorang pelari harus bisa menjaga pace atau ritmenya dalam berlari. Itulah yang menjadi tantangan Tita selama membangun Ganara Art. Mau tidak mau, perempuan dengan peran ganda harus bisa beradaptasi dengan perubahan waktu dan kegiatan yang berubah drastis.

Semula frekuensinya bertugas ke luar kota cukup tinggi hingga akhirnya ia lebih sering berada di rumah. Namun, kondisi ini merupakan blessing in disguise untuk Tita. Pandemik makin mengajarkannya untuk mengerti bagaimana cara memprioritaskan diri dan bersikap lebih mindful.

“Jadinya kendala terbesarnya sebelum di titik ini, itu sih, karena aku juga dulunya tidak memprioritaskan diri sendiri,” katanya.

Bersyukurnya, Tita memiliki waktu lebih banyak bersama keluarga kecilnya. Menurutnya, ia jadi sangat pemilih. Terutama soal kapan waktu yang tepat untuk pergi dan ada secara fisik di luar atau memilih di rumah bersama anak-anak. Ada banyak hal yang akhirnya jadi pertimbangan Tita sebelum ia memutuskan suatu hal.

Bila pandemik memutuskan sektor perekonomian pada beberapa bisnis, Tita justru melihat pandemik sebagai batu loncatan Ganara Art untuk meluncurkan inovasi baru. Berkat pandemik, ia memutuskan untuk mengubah sistem pengajaran secara online.

“Pas kita sudah tahu bahwa kita harus online, yang kita lakukan langsung adalah purchase aplikasi video conference for bisnis. Kita buka kelas online dan langsung bikin video-video tutorial yang kita upload secara gratis di YouTube Ganara Art. Bisa diakses oleh siswa-siswi dan guru-guru seni budaya di seluruh Indonesia untuk mereka jadikan contoh pelajaran gitu. Itu sih yang waktu itu kita lakukan dan ada juga on going project dengan donor asing. Akhirnya kan langsung berubah total jadi online. Yang kita lakukan adalah mengubah sistemnya. Sistemnya menjadi full online. Kurikulumnya diubah total sedemikian rupa sehingga akhirnya semuanya jadinya bisa ikutan,” jelas Tita.

4. Di mata Tita, seni berperan penting dalam kehidupannya. Art is life!

Tita Djumaryo: Seni Itu Mengubah Mindset dan Bukan Pemanis Saja!Tita Djumaryo, founder Ganara Art (instagram.com/mari_berbagi_seni)

Berdekatan dengan dunia kreatif sejak kecil, membuatnya memiliki kelekatan yang lebih dengan seni. Dari seni, ia menemukan banyak hal yang berbeda dan baru.

“Peran seni dalam hidup aku itu besar sekali, ya. Jadi, peran seni dalam hidup aku itu, I think, art is life,” ungkapnya.

Sekecil persoalan angka enam dan sembilan, bila dilihat dari sudut pandang yang berbeda, maka akan tercipta nilai yang berbeda pula. Itulah seni di mata Tita Djumaryo.

dm-player

“Nah, sebenarnya seni itu, kita bisa melihat dari berbagai sudut pandang. Kita bisa melihat dari sudut pandang orang lain dan bisa menyadari bahwa sebetulnya gak semua salah dan gak semua benar. Tergantung sekarang kita bicara sama siapa dan ini gak ada di ilmu lain menurutku,” lanjutnya.

Baginya, seni juga mengajarkan caranya mengasah empati. Sayang sekali, Tita memandang bahwa pendidikan di Indonesia belum bisa mengakomodasi hal ini karena kurikulum untuk pelajaran seni pun terbilang sedikit. Guru seni di lapangan sangat dikit dan gak cukup untuk menampung seluruh kreativitas siswa.

“Nah, yang aku lihat, perbedaannya seni musik, seni tari, seni rupa adalah lack of empathy. Anak jadi gak terasah rasa dan karsa. Mereka gak bisa melihat bahwa sebenarnya semua itu gak cuma hitam di atas putih. Sebenarnya ada warna lain yang bisa kita lihat dari orang lain. Mungkin kita merasanya itu gak bener, tapi orang lain bisa merasa itu bener. Jadi kayak perbedaan itu mudah sekali disampaikan lewat seni gitu. Gak usah jauh-jauh, kalau misalnya melihat demografi Ganara gitu, peserta Ganara itu sangat sangat beragam. Kita gak dominan dari suku atau agama mana dan seterusnya. Jadi kita bener-bener dari orang-orang yang berbeda,” tuturnya menambahkan.

Baca Juga: Farid Mardhiyanto: Pandemik Sukses Bikin Tour Guide Harus 'Putar Otak'

5. Namun, sisi diskrimatif terhadap seni dan profesi seniman masih sering ditemui

Tita Djumaryo: Seni Itu Mengubah Mindset dan Bukan Pemanis Saja!Tita Djumaryo, founder Ganara Art (instagram.com/ganaraartspace)

Kurangnya pengetahuan atau pemahaman menimbulkan sisi diskriminatif, baik terhadap seni itu sendiri maupun profesi seniman. Hal ini pula dirasakan oleh Tita Djumaryo. Banyak miskonsepsi yang ia temukan selama menyelami dunia ini.

Miskonsepsi simpel seperti ketidaktahuan seseorang mengenai hubungan art dengan mind. Menurut Tita, seni itu menyatu dan sudah pasti berhubungan dengan pikiran karena apa yang akan dituangkannya nanti, merupakan hasil dari suatu perencanaan. Selain itu, banyak orang tidak mengetahui bahwa seniman juga entrepreneur.

“Seniman itu kan sedari awal dia berkarier, dari kuliah pun, sudah mengetahui kalau dia itu harus jadi bosnya dirinya sendiri gitu kan. Dia harus disiplin berkarya, disiplin nyari koneksi, disiplin nyari galeri, disiplin hadir di berbagai kegiatan yang dia bisa tersambung dengan komunitas seni ini, komunitas seni itu. Itu kan kedisiplinan yang dimiliki, memang sudah wajib dimiliki entrepreneur  dan memang seniman itu entrepreneur. Jadi, bayangan bahwa seniman itu kayak melukis di depan karya, bengong, kayak mencari inspirasi, gak ngapa-ngapain, itu sih diskriminasi ya menurut aku ya,” pungkasnya.

Sebagai seorang aktivitis yang tergabung dalam koalisi seni, Tita melihat bahwa sebenarnya seni rupa di Indonesia itu paling bagus se-Asia Tenggara. Banyak pula seniman yang akhirnya berhasil dan dikenal di mancanegara.

Sayangnya, antusiasme dan ketertarikan terhadap seni ini kurang berkembang di Indonesia sehingga timbul banyak sekali keraguan terhadap profesi seniman. Tita juga beranggapan bahwa fenomena ini timbul karena kurangnya wawasan seseorang sehingga akhirnya melihat seni sebagai pemanis saja.

6. Mari Berbagi Seni merupakan inisiatifnya untuk bisa menyebarkan pendidikan seni sejak dini kepada anak-anak di Indonesia

Tita Djumaryo: Seni Itu Mengubah Mindset dan Bukan Pemanis Saja!Tita Djumaryo, founder Ganara Art (instagram.com/titadjumaryo)

Berkaitan dengan isu diskriminatif yang melekat pada dunia seni, Tita menjelaskan bahwa kunci utamanya ada di pendidikan. Isu tersebut ada karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman individu terhadap seni. Itu sebabnya pendidikan terhadap anak usia dini akan berperan sangat penting dalam membawa perubahan yang positif.

“Kita mendidik mereka sekarang ini, 20 tahun lagi, mereka yang akan memimpin di kotanya dan mereka yang akan membuat perubahan yang bisa mengadvokasikan peraturan-peraturan yang lebih bisa mendukung kesenian dan kebudayaan kan,” tegasnya.

Untuk itu, kakak dari Giring Nidji ini, menciptakan gerakan baru untuk bisa memperkenalkan pendidikan seni lebih dalam kepada seluruh anak di Indonesia. Ide ini berangkat dari keresahannya terhadap anak-anak yang ada di pelosok pulau, anak jalanan, anak panti asuhan yang gak bisa mengakses pendidikan seni dari Ganara. Hasil diskusinya dengan suami membuahkan hasil, yaitu gerakan Mari Berbagi Seni.

“Kenapa namanya Mari Berbagi Seni? Itu esensi bahwa sebenarnya bukan hanya berbagi seni ke anak-anak yang mungkin gak punya privilege untuk bisa mengikuti kegiatan seni, melainkan anak-anak ini atau orang-orang yang kita temui ini, bener bener ikut kita. Jadi, Mari Berbagi Seni itu bareng-bareng, bukan one hand to another gitu. Dari dulu, konsepnya gak pernah gitu. Kita jalan sama-sama untuk berbagi seni sehingga seluruh anak di seluruh Indonesia itu bisa merasakan ini dan itu,” ceritanya.

Melalui gerakan ini akan ada banyak guru yang bisa diberikan pelatihan untuk bisa mengajar secara kreatif dengan bahan-bahan yang ada di sekitar mereka. Jadi, gak perlu menunggu bahan dari kota untuk bisa memberikan pelajaran berharga bagi anak-anak.

“Nah yang kita ajari itu ibu-ibu, mama di sana manggilnya. Mama bisa pakai pasir, pasir di sana warnanya putih kan. Pasir dicampur dengan pewarna makanan, jadi satu gundukan pasir warna merah, satu gundukan pasir warna kuning, diaduk nanti jadi orange. Terus, anak-anaknya melihat perubahan warna di depan mata itu experience. Anak-anaknya kan jadi anteng ya, mengeksplorasi gitu, dan itu semua bahan-bahan ada di sekitar mama-mama semua. Jadi, mereka kita bantu dari 2015-2018. Kita dorong, kita kirimi video-video kurikulum. Mereka bisa belajar bikin cat, bikin macam-macam, terus akhirnya mereka bisa mengeksplorasi sendiri dan akhirnya bisa bikin kurikulum sendiri gitu,” terangnya saat menjelaskan proyek pertama Mari Berbagi Seni di Maluku.

Apa yang dilakukannya, memberikan insight bagi Tita Djumaryo. Perempuan lulusan Institut Teknologi Bandung ini, menyadari bahwa seni ternyata memiliki pengaruh yang sangat besar. Semangat ini mendorongnya untuk tidak berhenti memberikan ilmu sampai seluruh Indonesia bisa merasakannya.

“Ini sebetulnya bisa mengubah Indonesia. Kalau mereka sudah diajari kreatif sejak kecil, maka problem solving-nya kuat. Kalau mereka diajari empati dari kecil, mereka akan bisa menghargai perbedaan. Itu semuanya berujung baik,” lanjutnya.

Sampai saat ini, Yayasan Mari Berbagi Seni sudah memiliki lebih dari 50 ribu penerima manfaat di sekitar 25 kota di Indonesia. Ganara juga memiliki Immersive Art Healing Gallery di mana individu bisa mengelilingi galeri dan mengalami momen healing di dalamnya dari apa yang disuguhkan.

7. Seni, parenting, dan diri sendiri itu saling berhubungan

Tita Djumaryo: Seni Itu Mengubah Mindset dan Bukan Pemanis Saja!Tita Djumaryo, founder Ganara Art (instagram.com/titadjumaryo)

Jika seni bisa membawa perubahan besar yang lebih positif apabila diajarkan sejak dini, lalu bagaimana kaitannya dengan parenting? 

"Art is experiential, always remember something that you do, instead of something you just see or you just hear,” ucap perempuan berambut ikal ini.

Hal itu yang diterapkan oleh almarhum ayahnya semasa kecil. Secara tidak langsung, Tita juga mengajarkan hal yang sama pada anaknya melalui praktek. Dengan tidak langsung pula, orangtua akan peka terhadap tumbuh kembang anak.

Anak keduanya mengalami speech delay sehingga memerlukan latihan sensori integrasi. Tita bercerita, “Waktu itu, tahun 2013 itu, belum ada bahasan sama sekali tentang sensori ya. Waktu itu, akhirnya aku bikin kelas khusus untuk Nalagra, namanya Early Art Sensory Class. itu tuh akhirnya sampai sekarang ya muridnya lumayan banyak karena ternyata banyak sekali orangtua yang membutuhkan itu untuk membantu anaknya. Jadi, ternyata anak-anak itu harus diajari sensori untuk melatih terus sensor otaknya. Sensornya itu dengan bahan-bahan kayak gel, tanah liat, atau apa pun yang lengket-lengket, atau bahkan bulu-bulu. Jadi mereka merasakan sensori itu di telapak tangan, di telapak kaki. Nah, nanti di situ, mereka akan eksplor di bahan-bahan itu, terus dijadikan artwork. Nah, jadi mereka merasakan kebanggaan tersendiri bikin karya sendiri dari usia sedini itu,” ungkapnya.

Tentunya, semua gak terlepas dari kemampuan seorang ibu untuk bisa mendidik anaknya. Untuk itu, seorang ibu juga harus bisa mengerti dirinya sendiri terlebih dahulu.

“Ntar kalau kita gak ada waktu buat diri sendiri, itu sih ujungnya lumayan banyak merugikan orang-orang di sekitar kita kan. Jadi gini, waktu buat diri sendiri itu bukan kayak ‘wah me time, apa-apa me time’, bukan itu. Tapi maksudnya yang perlu disadari itu self care dulu, sih. Self worth, kita itu berharga lho. Maka dari itu, karena kita berharga, kita tuh harus dirawat. Makanya self care. Kalau kita sudah bisa merawat diri sendiri, baru kita bisa memimpin diri sendiri. Jadinya self leadership. Dari self leadership itu, makanya kita bisa menemukan life balance,” jelasnya.

8. Apa arti perempuan hebat bagi Tita Djumaryo?

Tita Djumaryo: Seni Itu Mengubah Mindset dan Bukan Pemanis Saja!Tita Djumaryo, founder Ganara Art (instagram.com/titadjumaryo)

Menutup obrolan hangat, Tita Djumaryo menyampaikan pandangannya tentang sosok perempuan yang hebat. Baginya, perempuan yang hebat adalah perempuan yang bisa memberikan manfaat untuk perempuan lainnya.

Hal ini pun dilakukan Tita dengan menerima staf perempuan sejak tahun 2021. Langkah tersebut bertujuan untuk menguatkan teman-teman yang berada di industri pendidikan, seni, desain kreatif, atau ekonomi kreatif untuk tetap berdaya. Pasalnya, setengah penduduk Indonesia adalah perempuan, tapi malah perempuan belum menjadi prioritas.

“Aku merasa perempuan itu memang tugasnya empowering other woman. Udah terlalu lama kita berada di dunia yang memang perempuan itu selain dijatuhkan oleh laki-laki, tapi juga dijatuhkan oleh perempuan lain. Nah, kalau misalnya kita gak come together gitu, ya siapa lagi sih yang gerak?” tutupnya.

Kini, Tita berhasil membuka tiga studio yang tersebar di Jakarta. Bukan hanya seni rupa, Ganara Art juga merambah kelas tari hingga ada musikalisasi puisi. Sebagai pendiri Ganara Art, aktivis perempuan, hingga penulis buku panduan seni untuk guru SMA/SMK, Tita berusaha menekankan bahwa seni bisa mengubah pandangan atau mindset seseorang tentang hidup dan keberagaman.

Demikian cerita singkat kisah hidup Tita Djumaryo yang inspiratif dalam menyebarkan seni. Semoga menginspirasi kamu juga untuk bisa berbagi banyak hal positif, ya!

Baca Juga: Cara Nia Sugihrehardja Hidupkan Limbah Karton Susu Jadi Makin Berkelas

Topik:

  • Febriyanti Revitasari

Berita Terkini Lainnya