9 Tahun Pakai Kutubaru dan Batik, Ini Cara Wisni Tunjukkan Jati Diri

Nyaris tak ada baju lain di lemarinya

Di tengah derasnya arus tren fashion, ternyata masih ada orang yang begitu peduli dengan warisan bangsa. Pasalnya, Millennial dan Gen Z kerap dihadapkan dengan banyaknya tren fashion kekinian sehingga belum banyak orang yang konsisten mengenakan batik. Nyatanya, hal ini tidak berlaku untuk Wisni Indarto.

Kecintaannya pada kutubaru dan batik, membawa Wisni menempuh perjalanan mencari jati diri sebagai perempuan Indonesia. Berawal dari memakai kutubaru dan batik sebagai baju sehari-hari, akhirnya Wisni melebarkan sayapnya dengan membuka bisnis Saung Batik WDrupadi.

Pernahkah menemukan seseorang yang hanya mengenakan kutubaru dan batik setiap hari? Itulah yang dilakukan Wisni untuk menanamkan kecintaan terhadap batik pada masyarakat Indonesia. Melalui diskusi hangat dengan IDN Times pada Senin (21/3/2022), Wisni Indarto pun berbagi pandangannya tentang batik dan kisah inspiratif di balik bisnisnya.

1. Komplain dari suami membuat Wisni akhirnya menjatuhkan hati pada kebaya kutubaru

9 Tahun Pakai Kutubaru dan Batik, Ini Cara Wisni Tunjukkan Jati DiriWisni Indarto, Founder Saung Batik WDrupadi (instagram.com/wisni_wdrupadi)

Apa yang dilakukannya saat ini tentu gak lepas dari keresahan di masa lalu. Awal mula Wisni berlabuh pada kebaya kutubaru dan jarit batik, karena ia selalu merasa salah kostum dalam setiap kesempatan.

“Permasalahannya, saya sering merasa salah kostum kalau pakai baju ke mana-mana. Apalagi mau berangkat pergi terus merasa udah rapi dan bagus. Tapi pasangan minta saya untuk ganti baju, katanya ini gak bagus. Suami saya sebenarnya sangat peduli terhadap apa yang saya pakai,” tuturnya.

Ketika beralih ke kutubaru dan batik, justru Wisni merasa lebih nyaman dan mendapatkan pujian dari suami. Akhirnya, ia merasa semakin tertarik dengan kutubaru berkat kesederhanaan cutting dan pola baju. Banyak orang yang menganggapnya aneh tapi Wisni meyakini bahwa ini cuma persoalan kenyamanan saja

Wisni juga menyadari bahwa kutubaru ini adalah pakaian tradisional perempuan Indonesia yang sebenarnya bisa digunakan pada segala momen. Dengan cutting yang simpel, kutubaru mudah disesuaikan dengan jarit warna apa pun.

“Kalau kita pergi dari acara formal dan langsung ke non formal juga masih oke. Dari kesederhanaan cutting dan polanya, itu yang bikin saya tertarik dan lebih nyaman. Saya merasa perempuan Indonesia ini punya potongan baju yang mudah dikenali dan menarik,” ujarnya.

Saat ini, sudah terhitung 9 tahun Wisni memadukan kebaya kutubaru, jarit batik, dan sneakers sebagai busana sehari-harinya. Entah itu di rumah, bekerja, atau sesederhana ke pasar, Wisni tetap tampil percaya diri dengan gaya klasik ini. Bahkan, lemari bajunya nyaris gak ada baju lain.

“Kalau boleh jujur sejak tahun 2013, di lemari saya hanya ada kutubaru, jarik, dan pakaian olahraga karena memang saya suka olahraga,” ucapnya.

“Saya merasa lebih percaya diri dan merasa gak terlihat tua. Saya menghadirkan kutubaru tidak terlihat kuno. Orang kalau belum siap pake jarit, kutubaru itu bisa dipadukan dengan jeans. Itu masih terlihat bagus, kasual. Beda dengan potongan kebaya yang penuh payet. Itulah kenapa saya memutuskan memilih benang merahnya kutubaru karena gak lekang oleh waktu,” imbuh Wisni.

2. Perjalanan karier Wisni menunjukkan bahwa apa yang kita pelajari dengan apa yang kita temui di lapangan itu bisa saja berbeda

9 Tahun Pakai Kutubaru dan Batik, Ini Cara Wisni Tunjukkan Jati DiriWisni Indarto, Founder Saung Batik WDrupadi (instagram.com/wisni_wdrupadi)

Kalau kamu berpikir Wisni memiliki latar belakang dalam dunia fashion, maka jawabannya adalah tidak. Sebagai seorang yang berkecimpung dalam industri kreatif, sebelumnya Wisni sudah menjajaki berbagai bidang.

Perempuan yang lahir di Sukabumi ini merupakan lulusan Sarjana Akuntansi. Selama dua tahun, Wisni justru berkesempatan menjadi HRD. Pada tahun 2018, ia memutuskan untuk menikah hingga akhirnya memilih rehat dan resign.

Setahun setelahnya, Wisni mulai membuka bisnis aksesori yang ternyata kurang diminati dan tidak berjalan optimal. Tak menyurutkan semangatnya, ia bertekad mencari tahu bagaimana caranya bisa ada di rumah tapi tetap melakukan kegiatan positif.

“Saya kursus jahit setelah berhenti kerja. Pada saat kursus jahit itu saya kesulitan. Bahan apa yang bisa saya jadikan sesuatu?” ceritanya.

Founder Saung Batik WDrupadi ini mengaku sempat mengalami kesulitan saat pertama kali mengenali dunia jahit menjahit. Hal ini pula yang membuatnya tidak menyangka akan bergelut dengan dunia baru. Ia menyadari bahwa terkadang apa yang kita pelajari dengan apa yang kita kerjakan itu sangat berbeda.

“Tahun 2010 saya memutuskan untuk memakai kain-kain tradisional sebagai bahan dasar yang akan saya buat dan mulai menggeluti batik. Saya berpikir produk atau kain apa yang bisa saya gabungkan dengan batik. Atau bisa terlihat bagus untuk perempuan Indonesia pada umumnya. Saya melihat kutubaru, maka dari situ saya mulainya,” ungkap Wisni.

Walau terjun ke dunia baru, tekad Wisni untuk menciptakan suatu karya berbuah manis. Selama 3 tahun, ia tetap menjahit baju-baju yang dipakai sendiri. Hingga akhirnya di tahun 2013, Wisni sudah menemukan jati dirinya untuk fokus pada produksi kutubaru dan batik.

3. Pandemik menempanya terus menjadi pribadi yang tangguh dan kreatif

9 Tahun Pakai Kutubaru dan Batik, Ini Cara Wisni Tunjukkan Jati DiriWisni Indarto, Founder Saung Batik WDrupadi (instagram.com/saung_batik_wdrupadi)

“Memang segala sektor, terutama fashion itu kan agak menurun karena jarang melakukan aktivitas di luar. Akhirnya kami berinisiatif dan mencari peluang apa yang bisa saling support,” jelas Wisni.

Sebagaimana pelaku bisnis lain, Saung Batik WDrupadi juga terdampak pandemik. Hal ini menuntut Wisni untuk tangkas dalam beradaptasi dengan keadaan. Untuk itu, ia kemudian mencari alternatif lain dengan mengeluarkan produksi produk rumahan seperti apron, pakaian yang bisa dipakai untuk zoom meeting, diberi nama Logos Indonesia.

“Perjalanan kami memang gak langsung naik. Warga negara kita itu udah mulai sedikit demi sedikit mengenal batik. Apalagi sejak UNESCO memasukkan batik sebagai warisan budaya dunia. Jadi, pembelinya tidak terlalu banyak tapi selalu ada. Kemudian, terdampak pandemik sehingga orang-orang jarang keluar dan hanya berkegiatan di rumah,” keluh Wisni.

Meski begitu, perempuan berambut gelombang ini mampu melihat sisi positif dari pandemik ini. Menurut Wisni, pandemik mengajarkannya untuk terus berkreasi. Ada banyak hal yang bisa digali ketika kita mampu beradaptasi dengan kondisi itu.

“Ketika kita gak mengeluh, justru kreativitas itu semakin berkembang,” ucapnya.

Buktinya, Wisni dan suami yang menyukai tanaman wijaya kusuma ini akhirnya membuka usaha tanaman karena melihat tren tanaman yang sedang meningkat. Uniknya, konsumen tanaman wijaya kusuma berkaitan erat dengan konsumen kutubaru. Hal ini tentu saja jadi peluang Wisni untuk mendongkrak kembali penjualannya.

Baca Juga: Kisah Tangguh Founder Little Heroes Asuh Anak Berpenyakit Langka

dm-player

4. Dalam membangun bisnis ini, Wisni menekankan pada nilai positif yang ingin ia tanamkan pada pengrajin dan pembel

9 Tahun Pakai Kutubaru dan Batik, Ini Cara Wisni Tunjukkan Jati DiriWisni Indarto, Founder Saung Batik WDrupadi (instagram.com/wisni_wdrupadi)

Ketika ditanya perihal proses tersulit sepanjang menjalankan bisnisnya, Wisni menjelaskan bahwa mempertahankan atau menjaga para pengrajin merupakan hal tersulit. Pengrajin adalah pekerja seni yang bekerja menggunakan rasa. Gak menutup kemungkinan, pengrajin juga bisa merasa jenuh.

“Jadi saya lebih memacu ‘kalian kalau mau dapat penghasilan banyak ya kerjanya harus banyak’. Dengan begitu, akhirnya mereka juga terpacu. Saya juga tetap memperhatikan kalau misalnya ada keluarga yang sakit atau dianya sakit,” pungkasnya.

Wisni juga bercerita bahwa Saung Batik WDrupadi ini memiliki sentuhan yang berbeda. Khususnya untuk teknik menjahit dan pemilihan kain, semuanya menggunakan teknik dan bahan yang klasik. Ia mengatakan bahwa setiap kebaya kutubaru produksinya itu limited edition.

Selain itu, ia juga berusaha mempertahankan keutuhan kain karena tergolong kain lawasan atau langka. Katanya, "Ini saya mencoba untuk mempertahankan keutuhan kain. Kalau kain tulis dipotong itu rasanya gimana gitu.. Akhirnya saya berpikir keras bagaimana caranya saya desain untuk bisa jadi bagus seperti dipotong padahal utuh. Saya sedang mencoba terus cari inovasi produk dari kain batik yang tanpa dipotong. Atasannya masih mempertahankan kutubaru."

Beberapa kutubaru produksinya juga terinspirasi dari gaya busana Ibu Tien Soeharto. Istri presiden Soeharto ini memang terlihat selalu memakai kutubaru dalam berbagai kesempatan. Hal ini mendorong Wisni untuk mencari kain batik dengan motif yang serupa.

Hanya ada satu kutubaru untuk setiap size. Kain yang dipilih pun juga kain yang betul-betul terlihat klasik dan berbahan chiffon. Material chiffon ini merupakan kain tekstil yang bertahan lama dan bisa wariskan ke anak cucu. Sampai sekarang, Wisni juga masih mengenakan kebaya milik neneknya yang sudah bertahun-tahun.

Teknik jahit yang digunakan untuk finishing adalah teknik sum atau teknik jahitan tersembunyi. Teknik ini dikerjakan dengan tangan sehingga jahitan terlihat rapi dan tidak keluar dari kain. Potongan bajunya pun pasti ada kerah setali ke atas sebagaimana kutubaru pada umumnya.

Kata Wisni, “Jadi ketika pembeli membeli kutubaru dari kami itu ada sentuhan tangan yang dikerjakan satu per satu. Ada jahitan mesin tapi akhir jahitannya itu di-sum. Memang teknik klasik, tapi saya ingin mengajarkan bahwa dengan sum ini kita dilatih soal kesabaran dan ketekunan. Nah, kedua hal itu yang saya ingin tanamkan ke para pengrajin. Bukan hanya sekadar menjual, tapi ada value dalam proses pembuatan yang kita tanamkan."

Dalam perjalanan mengenal kutubaru dan batik ini, Wisni juga belajar tentang kesabaran dan ketelatenan. Ia melihat bahwa orang yang membuat batik adalah orang yang belajar tentang kedua hal tersebut. Sebabnya, kini ia lebih menghargai proses suatu karya itu tercipta.

5. Kutubaru dan batik punya filosofi yang mendalam melalui tagline “KAS” yang berarti Klasik, Anggun, dan Sporty

9 Tahun Pakai Kutubaru dan Batik, Ini Cara Wisni Tunjukkan Jati DiriWisni Indarto, Founder Saung Batik WDrupadi (instagram.com/wisni_wdrupadi)

Sebagai pelaku usaha lokal, mimpinya tidak terlalu besar. Ia hanya ingin menanamkan kecintaan pada kutubaru dan batik pada masyarakat Indonesia. Untuk itu, Wisni menggabungkan gaya klasik ini dengan sneaker sebagai aksen modern.

Wisni menjelaskan, “Akhirnya ketemu dengan tagline KAS (Klasik, Anggun, Sporty). Kenapa? Seorang perempuan yang memakai kutubaru itu terlihat anggun. Kemudian klasiknya saya mengambil batik yang klasik dan tak lekang oleh waktu. Sporty, saya ambil dari sneaker yang menggambarkan bahwa perempuan Indonesia itu harus memiliki keanggunan, klasik, dan sportivitas. Itu sih yang menjadi tagline-nya WDrupadi.”

Namun, realitanya masih ada pandangan negatif yang datang kepadanya. Awalnya, Wisni masih mendapati beberapa bully-an dari orang-orang yang merasa aneh melihatnya berpenampilan seperti itu. Namun, kesetiaannya terhadap batik dan kutubaru justru semakin menarik perhatian dan memberikan inspirasi bagi banyak orang.

Karenanya, Wisni memiliki mindset “Kalau kita punya ciri khas dan terus melakukan itu maka orang akan berpikir ‘oh iya ya bagus’. Sejauh ini saya belum berpikir untuk merubah ciri khas WDrupadi. Ada beberapa yang komen coba pakai high heels. Terima kasih atas masukannya tapi saya tetap berprinsip pada apa yang saya lakukan saat ini. Bukan tidak mau mencari yang baru, tapi saya ingin mengembangkan apa yang selama ini sudah saya bangun. Saya juga ingin bilang ke anak muda sekarang kalau kutubaru itu gak kolot, gak kuno.”

Gak melulu negatif, Wisni mampu membuat orang lain bernostalgia berkat gaya berpakaiannya. Hal ini didapatinya ketika belanja di pasar, ia selalu dinanti oleh salah satu penjual sayuran. Tanpa risih, ia semakin percaya diri menonjolkan gaya khasnya yang membuat orang lain mengenang masa lalu dan sejarah.

“Ketika bisa bikin orang lain senang, kitanya juga senang. Jadi momen bahagianya disitu, sih” kata Wisni seraya mengingat momen-momen menyenangkan ketika memakai kutubaru dan batik.

6. Wisni berpesan agar perempuan tidak hanya anggun dalam berpenampilan dan berperilaku, tetapi juga anggun dalam bertutur kata

9 Tahun Pakai Kutubaru dan Batik, Ini Cara Wisni Tunjukkan Jati DiriWisni Indarto, Founder Saung Batik WDrupadi (instagram.com/wisni_wdrupadi)

Wisni yakin bahwa perempuan yang hebat adalah perempuan yang bisa menata tutur kata dan memiliki kreativitas. Menurutnya, perempuan seharusnya gak banyak mengeluh. Melainkan mampu bekerja keras dengan diimbangi oleh bekerja cerdas.

Yang terpenting, Wisni menekankan perempuan untuk memiliki identitas atau jati diri dengan mempertahankan apa yang memang jadi identitas ini. Inilah yang juga sedang dilakukan Wisni dengan menjaga warisan bangsa dan terus menyebarkan insight tentang batik.

Makna yang begitu dalam ini juga tertuang dalam batik produksi WDrupadi. Batik bergambar seorang wanita bersanggul ini terinspirasi dari tokoh pewayangan, yakni Dewi Drupadi. Merujuk pada kisah pewayangan versi Indonesia, Drupadi ini hanya memiliki satu suami yaitu Yudistira.

“Katanya Drupadi ini memiliki tampilan yang anggun, cantik, sederhana, gak pake perhiasan yang banyak. Tapi dia lebih mengutamakan kecantikan dalam hatinya. Itu yang ingin saya tanamkan terus pada produk kami,” sambungnya.

Berdasarkan logo tersebut, Wisni berharap agar perempuan itu cepat mendengar, cepat melihat, tapi lamban dalam berbicara. Keanggunan yang terpancar bukan hanya dari cara berpakaian saja.

“Ada sanggul, ada hidung, tapi mulutnya gak ditampakkan. Kemudian, kupingnya saya perjelas. Filosofinya perempuan itu sebaiknya cepat mendengar, cepat meliht, namun lamban berbicara. Dalam artian, perempuan itu dijaga mulutnya, jangan sampai mengeluarkan kata-kata yang kurang baik. Setiap ucapan kan doa,” tuturnya sambil terkekeh.

Begitulah kisah Wisni Indarto yang berbagi insight seputar batik dan filosofi di baliknya. Pembeli produk batiknya memang tak hanya kalangan domestik saja. Namun, Wisni justru sangat merindukan masyarakat Indonesia menggunakan produk-produk lokal yang mencerminkan budaya bangsa ini.

“Tujuan saya gak terlalu jauh untuk orang luar negeri harus pakai kutubaru. Saya lebih bangga ketika ada orang Indonesia menggunakan produk lokal sendiri. Nanti ketika orang Indonesia sudah banyak, maka nanti mereka yang menyebarkannya,” tutup Wisni.

Baca Juga: Kisah Maurilla Sophianti Selamatkan Bumi dengan Gaya Hidup Nol Sampah

Topik:

  • Pinka Wima

Berita Terkini Lainnya