Analogi Kucing dan Ikan Asin: Sebab Rape Culture Subur di Indonesia

Kucing kalau dikasih ikan asin pasti nggak bakal nolak lah!

Kucing kalau dikasih Ikan asin pasti nggak bakal nolak lah!

Kalimat di atas adalah analogi rendahan yang sering dipakai orang untuk membuat penggiringan opini yang salah ketika berhadapan dengan kasus pelecehan seksual. Biasanya perempuanlah yang seringkali mendapat stigma buruk dan dampak negatif karena sebagian besar korban pelecehan seksual adalah perempuan. Dalam analogi tersebut, laki-laki digambarkan sebagai kucing dan ikan adalah perempuan. Ungkapan itu menggambarkan bahwa laki-laki akan "mau" saja untuk melakukan tindak asusila menjorok kearah seksual jika si perempuan (dianggap) dengan sengaja atau tanpa sengaja menggodanya.

Analogi seksis ini tak ayal selalu menjadi dalih untuk melakukan tindak pelecehan terutama verbal pada korban dan diamini oleh banyak orang. Menjadikan korban bulan-bulanan tanpa memikirkan apa dampak yang akan terjadi dan dengan skeptis menyalahkan bahwa semuanya dimulai oleh korban itu sendiri.

Jangan kaget, sebenarnya ejekan seksis bisa ditemukan sejak di bangku sekolah dasar sekali pun

Analogi Kucing dan Ikan Asin: Sebab Rape Culture Subur di Indonesiastudybreaks.com

Bangku sekolah yang paling polos dan menyenangkan adalah Sekolah Dasar. Di sana anak-anak adalah sebenarnya anak-anak, bermain tanpa tahu batasan karena belum mengerti. Siswa SD biasanya adalah subjek yang tanpa sadar sering dan sudah melakukan tindakan seksis baik itu verbal, non verbal maupun fisik dan korbannya juga biasanya tidak sadar, karena bagi mereka dunia adalah tempat bermain-main.

Maka berbeda hasilnya jika oknum Guru lah subjek yang melakukan pelecehan. Di Inggris pada tahun 2014 sedikitnya ada 245 kasus pelecehan seksual yang diproses secara hukum, di Indonesia sendiri setidaknya pada awal 2018 Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyampaikan catatannya pada trimester pertama 2018 ada 72 persen pengaduan terkait kekerasan fisik guru terhadap murid disusul 13 persen kasus pelecehan seksual guru terhadap murid.

 Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa sekolah masih belum bisa menjadi tempat yang aman bagi orangtua untuk menitipkan anak-anaknya.

Banyak yang tidak melaporkan kasusnya. Alasannya? Malu, tentu saja

Analogi Kucing dan Ikan Asin: Sebab Rape Culture Subur di Indonesiaunsplash.com/@jigz94

Malu, takut, diancam dan penyalahgunaan wewenang biasanya adalah faktor yang membuat korban tidak mau melaporkan kasusnya. Selain mendapat ancaman, para korban biasanya akan berpikir dua kali untuk melaporkan kasusnya, entah itu mencari jalur aman atau malu jika nanti orang-orang tahu kalau ia korban pelecehan seksual.

Melansir Rifka Annisa, sebuah lembaga di Yogyakarta yang berfokus pada penghapusan kekerasan terhadap perempuan, setidaknya mendapat 11 surel pengaduan pelecehan seksual pada lingkungan kampus, 7 diantaranya dilakukan oleh dosen terhadap mahasiswanya setiap bulan. Dari Tirto.id melalui serial laporan Pelecehan Seksual di Kampus didapati bahwa mereka menerima belasan surel pengaduan tentang pelecehan seksual yang mereka alami.

Ironisnya, dari total pengaduan yang diterima oleh lembaga Rifka Annisa dan Tirto.id, hanya ada satu orang yang telah melaporkan kasusnya ke pihak berwajib, dengan susah payah dan nyaris sendirian mengurusnya tanpa ada bantuan selain keluarganya. Sisanya yang memilih untuk tidak melapor mengaku ketakutan, trauma serta malu bahkan untuk sekedar berbagi identitas.

Adanya penyalahgunaan kuasa dan wewenang membuat rape culture diam-diam semakin subur

Analogi Kucing dan Ikan Asin: Sebab Rape Culture Subur di Indonesiaunsplash.com/@keaneyefoto
dm-player

Merunut dari dua poin di atas, sekolah dan kampus adalah tempat yang mendukung berkembangnya rape culture atau budaya pelecehan seksual, dan pelaku sendiri didominasi oleh oknum guru ataupun dosen yang mana mereka secara tidak langsung memiliki kuasa dan peranan penting.

Ancaman berupa permainan nilai atau manipulasi kelulusan pada mata kuliah yang bersangkutan menjadi ladang subur bagi oknum dosen untuk berbuat asusila, permintaannya pun tidak main-main mulai dari jadi pacar sampai berhubungan badan menjurus ke budak seks.

Malu, jijik, trauma dan benci adalah yang dihasilkan dari perkara asusila tersebut. Sedikit sekali yang memilih untuk melapor, katanya banyak resiko mulai dari nama baik yang rusak sampai jadi bahan cibiran orang-orang. Tapi, lebih banyak lagi yang memilih diam. Memilih untuk memendam dan menanggung aib dan malu seumur hidupnya, pilihan itu secara tidak langsung melanggengkan kesewenangan kuasa yang dimiliki oknum tersebut. Membuat korbannya bertambah dari waktu ke waktu.

Baca Juga: [OPINI] Feminisme: Mencari Keadilan atau Balas Dendam?

Hukum yang lemah dan budaya patriarki sosial yang masih mengakar membuat kasus-kasus perkosaan ini bagai biduk patah kemudi

Analogi Kucing dan Ikan Asin: Sebab Rape Culture Subur di Indonesiaunsplash.com/@spacemonkey

Dalam perkembangan budaya, kita mengenal adanya istilah patriarki. Budaya patriarki menganggap bahwa laki-laki punya posisi yang lebih tinggi dibanding perempuan sehingga perlakuan masyarakat terhadap perempuan itu sendiri mendapat konotasi diskriminatif yang jelas merugikan perempuan. Budaya patriarki memunculkan stereotip di mana perempuan cenderung lemah, penakut, dan memang sudah seharusnya menjadi warga kelas dua, di bawah laki-laki. Melalui proses yang sangat panjang, kini perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan seolah menjadi ketentuan Tuhan atau kodrat yang tak dapat diubah.

India, negara yang terkenal sangat tidak ramah pada perempuan adalah contoh bagaimana praktik patriarki mutlak berlangsung bahkan hidup dan terus mendarah daging. Laporan BBC News pada tahun 2015 menyebutkan bahwa ada 36.651 kasus pemerkosaan terjadi di tahun tersebut atau tiap 20 menit sekali ada satu perempuan yang diperkosa disana. 2.113 kasus di antaranya adalah pemerkosaan beramai-ramai atau Gang Rape, di mana rasio tersebut sudah meningkat 7.5 persen dari tahun 2010.

Kasus pemerkosaan seorang suster bernama Aruna Shanbaug pada tahun 1973 adalah kasus yang paling terkenal dari India, ia diperkosa secara brutal oleh Bhartha Walmiki dilantai bawah sebuah rumah sakit, membuatnya buta permanen dan mengalami kerusakan otak sehingga ia koma selama 40 tahun dan meninggal pada tahun 2013. Pelakunya tidak dipenjara pada saat itu karena hukum India menganggap sodomi bukanlah tindak kekerasan seksual. Sampai Aruna meninggal, pelakunya tak pernah tertangkap.

Kemudian ada kasus Jyoti Singh pada Desember 2012 juga menjadi perhatian dunia setelah Jyoti diperkosa oleh 6 orang di dalam sebuah bus, ususnya ditarik dan ia ditinggalkan telanjang diluar bus. Saat ditemukan Jyoti berada dalam keadaan kritis, 13 hari kemudian Jyoti meninggal di rumah sakit di Singapura.

Berkaca di negeri sendiri, tragedi Mei 1998 dinilai sebagai kasus pemerkosaan terbesar di Indonesia. Sampai tahun 2016, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) mencatat ada 85 kasus kekerasan seksual yang terjadi di tragedi Mei 98, 52 kasus diantaranya merupakan pemerkosaan dalam bentuk Gang Rape. TGPF sendiri yakin ada banyak sekali kasus yang belum tersentuh hukum dan media, hal ini karena banyaknya korban yang lebih memilih tutup mulut.

Jadi bagaimana caranya agar kasus-kasus seperti ini tak terulang lagi?

Analogi Kucing dan Ikan Asin: Sebab Rape Culture Subur di Indonesiaunsplash.com/@ihadissafari

Kehormatan masyarakat juga harus dijaga melalui etika kemanusiaan, tidak dengan menempatkan tubuh perempuan sebagai standar. Pun, kehormatan masyarakat harus ditegakkan melalui suara keadilan, bukannya dengan perlindungan terhadap pelaku pemerkosaan.

Baca Juga: Catcall: Cara Laki-laki Rendahan untuk Mencari Perhatian Perempuan

Berli Rizkiandi Photo Writer Berli Rizkiandi

Masih Mahasiswa...

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya