Akademisi Berbicara Mengenai RUU Ketahanan Keluarga yang Bermasalah

Ada logical fallacy dalam proses pembuatan

Pada peringatan Women's March Surabaya, akademisi dan pemerhati kesetaraan gender mendiskusikan RUU Ketahanan Keluarga yang dinilai bermasalah. Acara diskusi publik ini dilaksanakan pada Jumat (6/3) di Colabspace Surabaya. 

Putri Aisyiyah R.D selaku Dosen Komunikasi UNESA dan Rinta Yusna sebagai Community Organizer Gender Watch Gresik, membagikan alasan kenapa RUU Ketahanan Keluarga perlu mendapat perhatian lebih dari semua orang.

1. Putri Aisyiyah R.D selaku Dosen Ilmu Komunikasi UNESA, mengutarakan kejanggalan pada RUU Ketahanan Keluarga

Akademisi Berbicara Mengenai RUU Ketahanan Keluarga yang BermasalahDiskusi publik Women's March Surabaya. 6 Maret 2020. IDN Times/Fajar Laksmita

Putri Aisyiyah R.D berbicara tentang adanya kejanggalan pada RUU Ketahanan Keluarga. "Seluruh permasalahan Indonesia dipandang sebagai akibat dari rusaknya sistem keluarga. Dua partai pengusung, PAN dan PKS melegitimasi pandangan tersebut dengan menggunakan dalil akademik teori Struktural-Fungsional Talcott Parson. Mereka menganggap solusi dari semua permasalahan yang ada adalah membentuk ketahanan keluarga," ujar wanita yang juga menjadi dosen Ilmu Komunikasi di UNESA tersebut. 

2. Putri mengatakan bahwa ada logical fallacy dalam pembuatan RUU yang dibuat secara substansial tersebut

Akademisi Berbicara Mengenai RUU Ketahanan Keluarga yang BermasalahDiskusi publik Women's March Surabaya. 6 Maret 2020. IDN Times/Fajar Laksmita

Putri menambahkan bahwa terdapat logical fallacy dalam pasal-pasal yang terkandung pada RUU Ketahanan Keluarga. Selain itu, para pembuat RUU memanfaatkan tingginya problematika yang ada sebagai alasan untuk menunjukkan bahwa ketahanan keluarga penting.

Adanya kasus-kasus yang menunjukkan kekerasan dan kejahatan seksual dalam keluarga, melatarbelakangi pandangan bahwa seakan-akan RUU ini urgen.

Ia menyebutkan bahwa pembuatan RUU Ketahanan Keluarga dibuat dengan pendekatan yang sangat substansial seperti pendekatan sosial, ekonomi, atau psikologis. Pada pasal di dalamnya, terdapat simplifikasi persoalan dan menimpakan semua kesalahan pada sistem unit paling mikro yaitu keluarga.

3. Pembuat kebijakan (DPR) mengaburkan aspek penting yang seharusnya dibahas dalam RUU Ketahanan Keluarga

Akademisi Berbicara Mengenai RUU Ketahanan Keluarga yang BermasalahDiskusi publik Women's March Surabaya. 6 Maret 2020. IDN Times/Fajar Laksmita

Pembuat kebijakan yang dalam hal ini adalah DPR, dinilai lalai dalam memetakan permasalahan sehingga solusi yang ditawarkan rancu. Misalnya, seperti pengusul RUU melihat perpisahan suami-istri selalu sebagai biang segala kerentanan.

Pada pasal 24 ayat (1) RUU Ketahanan Keluarga menyebutkan bahwa, "Setiap suami istri yang terikat dalam perkawinan yang sah, wajib saling mencintai, menghormati, menjaga kehormatan, setia, serta memberi bantuan lahir dan batin yang satu kepada yang lain."

"Data BPS yang menunjukkan angka perceraian karena perselisihan, mencapai 48,83 persen. Bagi pembuat kebijakan, seyogianya suami istri saling menerima, tidak bertengkar, saling cinta, sehingga keluarga menjadi kokoh. Padahal dalam beberapa kasus nyata, perceraian menjadi solusi terbaik bagi sebuah keluarga," pungkas Putri.

dm-player

Ada permasalahan penting yang sengaja ditinggalkan, seperti kasus korupsi yang berhenti dan memilih membahas perceraian, serta pola pengasuhan keluarga agar terhindar dari korupsi.

Problem kesehatan bukan dilihat dari sistem jaminan kesehatan yang buruk atau fasilitas kesehatan yang tidak merata, melainkan menyalahkan lingkungan tempat tinggal keluarga.

Baca Juga: RUU Ketahanan Keluarga Dianggap Jiplak Orde Baru untuk Isolasi Wanita

4. Peran perempuan dan laki-laki dalam rumah tangga, juga diatur pada RUU Ketahanan Keluarga dengan alasan isu moralitas

Akademisi Berbicara Mengenai RUU Ketahanan Keluarga yang BermasalahDiskusi publik Women's March Surabaya. 6 Maret 2020. IDN Times/Nena Zakiah

Perempuan yang memiliki peran ganda sebagai ibu sekaligus pegawai, dinilai sebagai salah satu ancaman bagi ketahanan keluarga.

"Preventif dari masalah moralitas ini adalah mengenakan kewajiban pada laki-laki untuk menjadi kepala keluarga, agar perempuan fokus merawat rumah tangga. Lantas bagaimana nasib dari 56,13 persen perempuan desa dan 65,26 persen perempuan kota yang menjadi kepala keluarga?" tambah Putri.

Pada pasal 25 ayat (3) berbunyi bahwa kewajiban istri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), antara lain : wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya; menjaga keutuhan keluarga; memperlakukan suami dan anak secara baik serta memenuhi hak-hak suami dan anak sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Pasal ini secara tersirat menunjukkan bahwa perempuan seolah-olah hanya boleh melakukan peran pada ranah domestik. Perempuan dibatasi sehingga kurang bisa berkembang dalam karier. 

5. Rinta Yusna, selaku pemerhati kesetaraan gender, memberi alternatif dengan menempatkan perempuan di jabatan tinggi negara

Akademisi Berbicara Mengenai RUU Ketahanan Keluarga yang BermasalahDiskusi publik Women's March Surabaya. 6 Maret 2020. IDN Times/Nena Zakiah

Rinta Yusna sebagai Community Organizer Gender Watch Gresik menjelaskan, apabila pemerintah terlalu masuk ke ranah privat keluarga yang diatur dalam RUU Ketahanan Keluarga. Selain itu, RUU terlalu mendasarkan pada peran agama.

Pembuat kebijakan melakukan marginalisasi minoritas secara tidak langsung. "Salah satu solusi yang bisa dilakukan dalam hal ini adalah perempuan harus dikasih kuota yang lebih besar di DPR," terang Rinta.

Sementara Putri menyarankan bahwa 30 persen anggota DPR harus diisi oleh orang-orang yang paham betul dengan pembuatan kebijakan dan bisa memosisikan diri dalam demokrasi yang masih bersifat transaksional.  

Itulah hasil diskusi publik terhadap RUU Ketahanan Keluarga. Kesimpulan diskusi dari acara Women's March Surabaya ini adalah kita semua diharapkan mengawal pasal yang masih bermasalah, sehingga tak terjadi kesewenang-wenangan terhadap hak perempuan.

Baca Juga: RUU Ketahanan Keluarga Potensial Langgengkan Ketidakadilan Gender

Topik:

  • Febriyanti Revitasari

Berita Terkini Lainnya